Purwokerto (ANTARA) - Akademisi Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Dr Indaru Setyo Nurprojo mengatakan empat kabupaten di wilayah Banyumas Raya yang meliputi Banyumas, Cilacap, Purbalingga, dan Banjarnegara membutuhkan sosok pemimpin yang memiliki konektivitas nasional dan kapital yang cukup.
"Intinya di 2024 ini 'kan, akan banyak bermunculan calon-calon pemimpin baru maupun petahana yang akan bertarung dalam pilkada (pemilihan kepala daerah). Artinya, kita perlu melihat dan sepakat bahwa kemudian siapa sih yang harus dicalonkan oleh partai, tentu banyak pertimbangan-pertimbangan," kata Indaru usai diskusi dengan tema "Menakar Kriteria Pemimpin Dalam Pilkada" di Purwokerto, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah, Sabtu.
Ia mengatakan pertimbangan pertama tentunya berkaitan dengan kapabilitas atau kemampuan, baik kemampuan manajerial, manajemen konflik, mengelola birokrasi, menggali persoalan, dan bagaimana menyelesaikan persoalan-persoalan itu termasuk upaya meningkatkan pendapatan asli daerah (PAD) serta anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD)
Oleh karena PAD dan APBD masing-masing kabupaten di wilayah Banyumas Raya masih tergolong rendah, kata dia, tentunya kepala daerah yang dibutuhkan merupakan sosok yang memiliki konektivitas di tingkat nasional.
"Apa pun ya (konektivitas-nya), bisa itu dalam pemerintah pusat, kementerian, atau apa, karena dukungan sistem selain dari dana yang baku dari DAU (Dana Alokasi Khusus) dan sebagainya, perlu adanya konektivitas itu," jelas Ketua Jurusan Ilmu Politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Unsoed itu.
Dalam hal ini, dia mencontohkan Wali Kota Surakarta Gibran Rakabuming Raka yang mendapatkan kucuran dana dari berbagai kementerian untuk mendukung pembangunan di kota itu karena memiliki jejaring atau konektivitas di tingkat nasional
Menurut dia, pertimbangan selanjutnya berupa kemampuan kapital atau finansial yang dimiliki calon kepala daerah itu.
"Makanya seperti yang terjadi di Brebes, yang kemudian orang flexing punya aset A, aset B, aset C, itu 'kan bagian dari mengidentifikasikan bahwa dia itu punya kapital yang cukup besar. Dalam artian bahasa lainnya, selesai, di wilayah itu sudah selesai dengan dirinya sendiri soal finansial," tuturnya.
Dengan demikian, kata Indaru, pencalonan sebagai kepala daerah itu bukan untuk mencari pekerjaan melainkan benar-benar untuk mengabdi dan menyampaikan gagasan-gagasan-nya tanpa berorientasi pada uang untuk mengembalikan modal yang dikeluarkan saat maju dalam pilkada.
Seorang calon seharusnya memang telah selesai dengan dirinya sendiri, sehingga tidak lagi menggantungkan dari jabatan publik.
"Seseorang yang sudah selesai dengan dirinya sendiri tentu saja telah memiliki kapital yang cukup. Dalam bekerja, nantinya benar-benar merupakan pengabdian kepada rakyat," tegas Indaru.
Pilkada Serentak 2024 yang akan digelar di seluruh wilayah Indonesia pada 27 November ditujukan untuk memilih pasangan gubernur dan wakil gubernur serta pasangan bupati/wali kota dan wakil bupati/wakil wali kota.
Baca juga: Akademisi: DPR harus dengarkan suara insan pers terkait RUU Penyiaran
"Intinya di 2024 ini 'kan, akan banyak bermunculan calon-calon pemimpin baru maupun petahana yang akan bertarung dalam pilkada (pemilihan kepala daerah). Artinya, kita perlu melihat dan sepakat bahwa kemudian siapa sih yang harus dicalonkan oleh partai, tentu banyak pertimbangan-pertimbangan," kata Indaru usai diskusi dengan tema "Menakar Kriteria Pemimpin Dalam Pilkada" di Purwokerto, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah, Sabtu.
Ia mengatakan pertimbangan pertama tentunya berkaitan dengan kapabilitas atau kemampuan, baik kemampuan manajerial, manajemen konflik, mengelola birokrasi, menggali persoalan, dan bagaimana menyelesaikan persoalan-persoalan itu termasuk upaya meningkatkan pendapatan asli daerah (PAD) serta anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD)
Oleh karena PAD dan APBD masing-masing kabupaten di wilayah Banyumas Raya masih tergolong rendah, kata dia, tentunya kepala daerah yang dibutuhkan merupakan sosok yang memiliki konektivitas di tingkat nasional.
"Apa pun ya (konektivitas-nya), bisa itu dalam pemerintah pusat, kementerian, atau apa, karena dukungan sistem selain dari dana yang baku dari DAU (Dana Alokasi Khusus) dan sebagainya, perlu adanya konektivitas itu," jelas Ketua Jurusan Ilmu Politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Unsoed itu.
Dalam hal ini, dia mencontohkan Wali Kota Surakarta Gibran Rakabuming Raka yang mendapatkan kucuran dana dari berbagai kementerian untuk mendukung pembangunan di kota itu karena memiliki jejaring atau konektivitas di tingkat nasional
Menurut dia, pertimbangan selanjutnya berupa kemampuan kapital atau finansial yang dimiliki calon kepala daerah itu.
"Makanya seperti yang terjadi di Brebes, yang kemudian orang flexing punya aset A, aset B, aset C, itu 'kan bagian dari mengidentifikasikan bahwa dia itu punya kapital yang cukup besar. Dalam artian bahasa lainnya, selesai, di wilayah itu sudah selesai dengan dirinya sendiri soal finansial," tuturnya.
Dengan demikian, kata Indaru, pencalonan sebagai kepala daerah itu bukan untuk mencari pekerjaan melainkan benar-benar untuk mengabdi dan menyampaikan gagasan-gagasan-nya tanpa berorientasi pada uang untuk mengembalikan modal yang dikeluarkan saat maju dalam pilkada.
Seorang calon seharusnya memang telah selesai dengan dirinya sendiri, sehingga tidak lagi menggantungkan dari jabatan publik.
"Seseorang yang sudah selesai dengan dirinya sendiri tentu saja telah memiliki kapital yang cukup. Dalam bekerja, nantinya benar-benar merupakan pengabdian kepada rakyat," tegas Indaru.
Pilkada Serentak 2024 yang akan digelar di seluruh wilayah Indonesia pada 27 November ditujukan untuk memilih pasangan gubernur dan wakil gubernur serta pasangan bupati/wali kota dan wakil bupati/wakil wali kota.
Baca juga: Akademisi: DPR harus dengarkan suara insan pers terkait RUU Penyiaran