Semarang (ANTARA) - Pakar keamanan siber Pratama Persadha menilai perlu Pemerintah segera membentuk lembaga perlindungan data pribadi seiring dengan terjadinya kebocoran data belakangan ini, terakhir Biznet, salah satu internet service provider di Indonesia yang menjadi korban serangan siber.
"Karena sering terjadi kebocoran data akhir-akhir ini, Pemerintah harus mengambil langkah yang tegas supaya kebocoran data tidak terus terjadi," kata Dr. Pratama Persadha ketika dikonfirmasi ANTARA di Semarang, Selasa pagi.
Meski pemberlakuan Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2022 tentang Pelindungan Data Pribadi (UU PDP) sejak diundangkan, kata Pratama, ada masa transisi selama 2 tahun, sebagaimana ketentuan dalam Pasal 74, semua pihak mulai menyesuaikan kebijakan internal sesuai dengan ketentuan dalam UU PDP, termasuk salah satunya adalah merekrut petugas pelindungan data (data protection officer).
Namun, lanjut dia, pelanggaran terkait dengan UU PDP selama masa transisi ini sudah dapat dikenai sanksi hukuman pidana. Akan tetapi, sanksi hukuman tersebut hanya dapat dijatuhkan oleh lembaga atau komisi yang dibentuk oleh Pemerintah, dalam hal ini adalah Presiden.
"Jika komisi PDP tersebut tidak segera dibentuk, pelanggaran yang dilakukan tidak akan dapat diberikan sanksi hukuman," kata Pratama yang juga dosen Sekolah Tinggi Ilmu Kepolisian (STIK) PTIK.
Pada bulan Oktober 2024 adalah batas maksimal pemberlakuan UU PDP secara penuh. Namun, kata Pratama, seharusnya bisa lebih cepat jika Pemerintah sudah membentuk lembaganya serta turunan dari undang-undang tersebut.
"Jadi, yang perlu secepatnya dilakukan oleh Pemerintah adalah Presiden segera bentuk komisi PDP sesuai dengan amanat UU PDP Pasal 58 sampai dengan Pasal 60 UU PDP," kata Pratama.
Keberadaan lembaga atau otoritas tersebut, menurut Chairman Lembaga Riset Keamanan Siber CISSReC ini, penting supaya kasus-kasus insiden kebocoran data pribadi dapat diselesaikan dengan baik dan rakyat bisa terlindungi.
Sebelumnya, diungkapkan oleh Lembaga Riset Keamanan Siber Communication & Information System Security Research Center (CISSReC) bahwa Biznet, salah satu penyedia layanan internet di Indonesia, menjadi korban serangan siber yang diindikasikan sebagai insider threat atau serangan dari dalam pada tanggal 10 Maret 2024.
Menurut peretas, penyebaran beberapa data di dark web (web gelap) ini karena tidak setuju dengan kebijakan terkait dengan Fair Usage Policy (FUP) di perusahaan tempatnya bekerja. Biznet telah mengatur FUP dengan membatasi pengguna yang menggunakan data internet lebih dari 1 terabita dalam sebulan.
Peretas juga dengan percaya diri memberikan beberapa petunjuk tentang jati dirinya dan mengancam akan membagikan data Biznet Gio jika Biznet tidak menghapus kebijakan FUP sampai dengan 25 Maret 2024.
CISSReC lantas melakukan investigasi pada laman dark web milik peretas yang menggunakan nama anonim Blucifer. Ditemukan lima tabel yang sudah dibagikan, antara lain, tabel customers (berisi 380.863 baris data), addresses (berisi 1.152.028 baris data), contract accounts (berisi 388.785 baris data), contract (berisi 390.921 baris data), dan tabel products (berisi 800.760 baris data).
Namun, pada saat CISSReC mengakses laman dark web, kata Pratama, peretas sudah menghapus petunjuk terkait dengan jati dirinya. Peretas juga memberikan update bahwa ada penambahan 389 data pelanggan yang melakukan pendaftaran pada tanggal 8 dan 9 Maret 2024.
"Jika dilihat pada isi tabel customer memang pada field created_date tanggal terakhir yang sudah masuk adalah tanggal 9 Maret 2024," ungkap dosen pascasarjana pada Sekolah Tinggi Intelijen Negara (STIN) ini.
"Karena sering terjadi kebocoran data akhir-akhir ini, Pemerintah harus mengambil langkah yang tegas supaya kebocoran data tidak terus terjadi," kata Dr. Pratama Persadha ketika dikonfirmasi ANTARA di Semarang, Selasa pagi.
Meski pemberlakuan Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2022 tentang Pelindungan Data Pribadi (UU PDP) sejak diundangkan, kata Pratama, ada masa transisi selama 2 tahun, sebagaimana ketentuan dalam Pasal 74, semua pihak mulai menyesuaikan kebijakan internal sesuai dengan ketentuan dalam UU PDP, termasuk salah satunya adalah merekrut petugas pelindungan data (data protection officer).
Namun, lanjut dia, pelanggaran terkait dengan UU PDP selama masa transisi ini sudah dapat dikenai sanksi hukuman pidana. Akan tetapi, sanksi hukuman tersebut hanya dapat dijatuhkan oleh lembaga atau komisi yang dibentuk oleh Pemerintah, dalam hal ini adalah Presiden.
"Jika komisi PDP tersebut tidak segera dibentuk, pelanggaran yang dilakukan tidak akan dapat diberikan sanksi hukuman," kata Pratama yang juga dosen Sekolah Tinggi Ilmu Kepolisian (STIK) PTIK.
Pada bulan Oktober 2024 adalah batas maksimal pemberlakuan UU PDP secara penuh. Namun, kata Pratama, seharusnya bisa lebih cepat jika Pemerintah sudah membentuk lembaganya serta turunan dari undang-undang tersebut.
"Jadi, yang perlu secepatnya dilakukan oleh Pemerintah adalah Presiden segera bentuk komisi PDP sesuai dengan amanat UU PDP Pasal 58 sampai dengan Pasal 60 UU PDP," kata Pratama.
Keberadaan lembaga atau otoritas tersebut, menurut Chairman Lembaga Riset Keamanan Siber CISSReC ini, penting supaya kasus-kasus insiden kebocoran data pribadi dapat diselesaikan dengan baik dan rakyat bisa terlindungi.
Sebelumnya, diungkapkan oleh Lembaga Riset Keamanan Siber Communication & Information System Security Research Center (CISSReC) bahwa Biznet, salah satu penyedia layanan internet di Indonesia, menjadi korban serangan siber yang diindikasikan sebagai insider threat atau serangan dari dalam pada tanggal 10 Maret 2024.
Menurut peretas, penyebaran beberapa data di dark web (web gelap) ini karena tidak setuju dengan kebijakan terkait dengan Fair Usage Policy (FUP) di perusahaan tempatnya bekerja. Biznet telah mengatur FUP dengan membatasi pengguna yang menggunakan data internet lebih dari 1 terabita dalam sebulan.
Peretas juga dengan percaya diri memberikan beberapa petunjuk tentang jati dirinya dan mengancam akan membagikan data Biznet Gio jika Biznet tidak menghapus kebijakan FUP sampai dengan 25 Maret 2024.
CISSReC lantas melakukan investigasi pada laman dark web milik peretas yang menggunakan nama anonim Blucifer. Ditemukan lima tabel yang sudah dibagikan, antara lain, tabel customers (berisi 380.863 baris data), addresses (berisi 1.152.028 baris data), contract accounts (berisi 388.785 baris data), contract (berisi 390.921 baris data), dan tabel products (berisi 800.760 baris data).
Namun, pada saat CISSReC mengakses laman dark web, kata Pratama, peretas sudah menghapus petunjuk terkait dengan jati dirinya. Peretas juga memberikan update bahwa ada penambahan 389 data pelanggan yang melakukan pendaftaran pada tanggal 8 dan 9 Maret 2024.
"Jika dilihat pada isi tabel customer memang pada field created_date tanggal terakhir yang sudah masuk adalah tanggal 9 Maret 2024," ungkap dosen pascasarjana pada Sekolah Tinggi Intelijen Negara (STIN) ini.