Semarang (ANTARA) - Kementerian Agama tengah mengkaji skema lain dalam memberikan rekognisi terhadap kiprah dan kepakaran alumni pesantren. Selama ini, rekognisi umumnya diberikan dalam bentuk pemberian gelar kehormatan doctor honoris cousa.
Kiprah para kiai dan alumni pesantren di masyarakat dalam berbagai bidang tidak diragukan. Meski tidak memiliki ijazah formal, banyak di antara mereka yang merupakan ahli di berbagai bidang keilmuan, antara lain: fikih, ushul fikih, tafsir, tasawuf, dan ilmu-ilmu lainnya, namun karena tidak memiliki gelar, mereka terkendala masalah administrasi untuk bisa berkiprah lebih luas seperti mengajar di perguruan tinggi.
"Oleh karena itu kami berkomitmen untuk memberikan rekognisi atau pengakuan kepada kiai atau lulusan pesantren yang memiliki keahlian luar biasa," kata Direktur Jenderal Pendidikan Islam Kementerian Agama Muhammad Ali Ramdhani di Jakarta, Rabu (28/2/2024).
Menurutnya, selama ini rekognisi kepada kiai dilakukan perguruan tinggi melalui skema pemberian gelar doktor honoris causa. Kiai Afifuddin Muhadjir, misalnya, mendapatkan gelar doktor honoris causa dari UIN Walisongo Semarang atas jasanya dalam pengembangan Ilmu Fikih dan Ushul Fikih.
Perlu ada skema lain di luar pemberian gelar doktor honoris causa untuk merekognisi kemampuan para kiai. Oleh sebab itu, pihaknya sedang menggodok Rekognisi Pembelajaran Lampau (RPL) bagi lulusan pesantren. Dengan sistem RPL, dia berharap ke depan lulusan pesantren yang hendak melanjutkan studi di perguruan tinggi tidak harus mengikuti seluruh mata kuliah.
"Santri yang di pesantren sudah belajar Ilmu Tafsir dan bahkan sudah mengajarkannya, umpamanya, maka tidak perlu mengikuti lagi mata kuliah Pengantar Ilmu Tafsir di kampus," sebut pria yang akrab disapa Kang Dhani ini.
Kiai pesantren yang sudah mengampu kitab-kitab kategori tinggi dan susah dalam keilmuan tertentu, lanjut Kang Dhani, juga berhak mendapatkan rekognisi gelar setara doktor di bidang ilmu yang digeluti.
"Tentu melalui mekanisme tertentu yang juga sedang kami godok. Bisa jadi sistem RPL ini juga berlaku di institusi pesantren, hanya pesantren tertentu," kata Guru Besar UIN Sunan Gunung Djati Bandung ini.
Menurut Kang Dhani, rekognisi terhadap alumni pesantren sebenarnya sudah termaktub dalam UU No 18 Tahun 2019 tentang Pesantren. Pasal 19 ayat 2 UU Pesantren menyebutkan lulusan pesantren yang telah menyelesaikan pendidikan di pesantren berhak melanjutkan ke jenjang pendidikan lebih tinggi baik sejenis maupun tidak sejenis.
“Alhamdulillah setelah adanya UU Pesantren lulusan Ma’had Aly yang setara dengan S1 bisa melanjutkan ke jenjang S2 di perguruan tinggi di luar pesantren. Bagaimanapun ini capaian yang perlu kita syukuri,” katanya.
Rekognisi ini dinilai penting karena alumni pesantren mempunyai jasa besar dalam mencerdaskan bangsa sekaligus menanamkan ajaran dan nilai Islam yang moderat.
“Sudah saatnya kiai-kiai yang punya kemampuan luar biasa mendapat rekognisi dari negara,” pungkasnya.
Kiprah para kiai dan alumni pesantren di masyarakat dalam berbagai bidang tidak diragukan. Meski tidak memiliki ijazah formal, banyak di antara mereka yang merupakan ahli di berbagai bidang keilmuan, antara lain: fikih, ushul fikih, tafsir, tasawuf, dan ilmu-ilmu lainnya, namun karena tidak memiliki gelar, mereka terkendala masalah administrasi untuk bisa berkiprah lebih luas seperti mengajar di perguruan tinggi.
"Oleh karena itu kami berkomitmen untuk memberikan rekognisi atau pengakuan kepada kiai atau lulusan pesantren yang memiliki keahlian luar biasa," kata Direktur Jenderal Pendidikan Islam Kementerian Agama Muhammad Ali Ramdhani di Jakarta, Rabu (28/2/2024).
Menurutnya, selama ini rekognisi kepada kiai dilakukan perguruan tinggi melalui skema pemberian gelar doktor honoris causa. Kiai Afifuddin Muhadjir, misalnya, mendapatkan gelar doktor honoris causa dari UIN Walisongo Semarang atas jasanya dalam pengembangan Ilmu Fikih dan Ushul Fikih.
Perlu ada skema lain di luar pemberian gelar doktor honoris causa untuk merekognisi kemampuan para kiai. Oleh sebab itu, pihaknya sedang menggodok Rekognisi Pembelajaran Lampau (RPL) bagi lulusan pesantren. Dengan sistem RPL, dia berharap ke depan lulusan pesantren yang hendak melanjutkan studi di perguruan tinggi tidak harus mengikuti seluruh mata kuliah.
"Santri yang di pesantren sudah belajar Ilmu Tafsir dan bahkan sudah mengajarkannya, umpamanya, maka tidak perlu mengikuti lagi mata kuliah Pengantar Ilmu Tafsir di kampus," sebut pria yang akrab disapa Kang Dhani ini.
Kiai pesantren yang sudah mengampu kitab-kitab kategori tinggi dan susah dalam keilmuan tertentu, lanjut Kang Dhani, juga berhak mendapatkan rekognisi gelar setara doktor di bidang ilmu yang digeluti.
"Tentu melalui mekanisme tertentu yang juga sedang kami godok. Bisa jadi sistem RPL ini juga berlaku di institusi pesantren, hanya pesantren tertentu," kata Guru Besar UIN Sunan Gunung Djati Bandung ini.
Menurut Kang Dhani, rekognisi terhadap alumni pesantren sebenarnya sudah termaktub dalam UU No 18 Tahun 2019 tentang Pesantren. Pasal 19 ayat 2 UU Pesantren menyebutkan lulusan pesantren yang telah menyelesaikan pendidikan di pesantren berhak melanjutkan ke jenjang pendidikan lebih tinggi baik sejenis maupun tidak sejenis.
“Alhamdulillah setelah adanya UU Pesantren lulusan Ma’had Aly yang setara dengan S1 bisa melanjutkan ke jenjang S2 di perguruan tinggi di luar pesantren. Bagaimanapun ini capaian yang perlu kita syukuri,” katanya.
Rekognisi ini dinilai penting karena alumni pesantren mempunyai jasa besar dalam mencerdaskan bangsa sekaligus menanamkan ajaran dan nilai Islam yang moderat.
“Sudah saatnya kiai-kiai yang punya kemampuan luar biasa mendapat rekognisi dari negara,” pungkasnya.