Kudus (ANTARA) -
Founder Fathan Center Fathan Subchi menganggap peran para tokoh agama serta dai perlu dioptimalkan dalam memberikan informasi lebih awal terkait ajaran-ajaran yang diduga menyesatkan dan bisa membuat sikap radikal dan ekstrem terhadap pemerintah.
"Saya kira peran para tokoh agama, termasuk pengasuh pondok pesantren, hingga para penceramah sangat penting di masyarakat dalam memberikan pemahaman soal ajaran agama yang benar, sehingga mereka tidak mudah masuk dalam ajaran yang bisa membuat mereka radikal maupun ekstrem terhadap pemerintah," ujar Fatan Subchi yang juga Anggota DPR RI ditemui di sela-sela kegiatan bedah buku Radikalisme, Terorisme, dan Deradikalisasi di Indonesia karya As SDM Polri Irjen. Pol. Dedi Prasetyo dan anggota Kompolnas Mohammad Dawam di Kudus, Sabtu.
Ia mengakui soal ajaran agama memang banyak dan tumbuh berkembang di Tanah Air. Namun, ketika ada yang mencoba menggunakan senjata dan memaksakan kehendak, hingga melakukan langkah-langkah yang ekstrem itulah yang harus diperangi.
Pada umumnya, kata dia, orang-orang yang suka menyendiri dan suka melakukan hal-hal di luar kebiasaan masyarakat, memang perlu didekati lebih intensif dan dialogis. Prinsipnya dialog lebih mengedepankan kepada pencegahan dari pada tindakan.
Untuk itu, Fathan Center bekerja sama dengan Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) dan Polri menggelar acara bedah buku Radikalisme, Terorisme, dan Deradikalisasi di Indonesia ini dengan mengundang para tokoh agama, ulama, dai, serta banyak pihak yang nantinya bisa ikut terlibat dalam upaya memerangi terorisme dan radikalisme.
Menurut dia memang perlu upaya bersama dan pencegahan sejak dini melalui ajaran dan pendekatan lebih dialogis, serta kampanye secara masif.
Buku karya As SDM Polri Irjen. Pol. Dedi Prasetyo dan anggota Kompolnas Mohammad Dawam tersebut, kata dia, memang sangat bagus karena memotret asal usul radikalisme dan terorisme.
"Saya menilai, perang melawan terorisme dan radikalisme merupakan perang yang panjang dan terus menerus," ujarnya.
Bahkan, kata dia, disebutkan bahwa ada beberapa guru saja bisa terlibat dan terpengaruh dengan isu-isu terorisme dan radikalisme itu.
Harapannya dengan upaya pencegahan dini melalui diskusi, dialog, dan silaturahmi bisa membantu semua pihak, termasuk Kepolisian untuk terus bekerja dengan baik dan simultan bagaimana radikalisme dan terorisme diperangi secara terus-menerus.
Irjen. Pol. Dedi Prasetyo dalam sambutannya via zoom mengungkapkan bahwa terorisme biasanya dilakukan perorangan dan kelompok untuk mencapai tujuan dengan kekerasan serta menebarkan teror. Sedangkan motifnya dikutip dari Salahudin Wahid disebutkan, mulai dari soal, agama, ideologi, memperjuangkan kemerdekaan, membebaskan diri dari ketidakadilan, dan adanya kepentingan.
Untuk tujuan aksi terorisme berdasarkan hasil penelitian Alex P. Schmid dan Albert J. Jongman 1988 disebutkan bahwa untuk menciptakan ketakutan dan teror sebesar 51 persen, untuk kepentingan politik sebesar 65 persen, dan terbesar bertujuan untuk kekerasan sebesar 83,5 persen.
"Karena terorisme merupakan extraordinary crime atau kejahatan luar biasa, maka penegakan hukumnya juga dengan cara luar biasa. Sebelum melakukan aksi harus ditindak terlebih dahulu," ujarnya.
Sementara itu, anggota Kompolnas Mohammad Dawam mengungkapkan bahwa kunci utama penanganan deradikalisasi harus dikombinasikan antara aparat penegak hukum dan masyarakat setempat hingga di tingkat level terendah, yakni penyuluh agama, pesantren, pengurus masjid, dan musala.