Purwokerto, Jateng (ANTARA) - Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Purwokerto Indaru Setyo Nurprojo mengharapkan situasi menjelang Pemilu Serentak 2024 tetap kondusif.
"Saya pikir kalau kita melihat perkembangan, ini tidak seekstrem Pemilu 2019, memang harus diakui. Para pendukung di media sosial manapun juga tidak begitu (ekstrem)," kata Indaru di Purwokerto, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah, Minggu.
Ia mengatakan hal itu disebabkan isu suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) tidak begitu laku lagi untuk "dijual" dalam kontestasi politik menjelang Pemilu Serentak 2024.
Menurut dia, hal itu terlihat pada awal persiapan Pemilu 2024 yang sempat muncul isu nasab habaib dan sebagainya namun dalam perkembangannya tidak mendapatkan respons yang signifikan.
"Isu-isu yang berkaitan dengan SARA itu sengaja diolah dan dibagikan kepada publik, tetapi tidak sampai pertengahan tahun 2023 hal itu sudah selesai. Saya pikir itu ke depan akan lebih redup," jelasnya.
Kendati demikian, dia mengatakan hal yang perlu diwaspadai pada Pemilu Serentak 2024 adalah hal-hal berkaitan dengan aturan main dari Komisi Pemilihan Umum (KPU), saat pemilihan, proses penghitungan suara, dan hasil perolehan suara.
Dalam hal ini, kata dia, kemungkinan terjadinya sengketa hasil perolehan suara Pemilu Serentak 2024 harus diwaspadai.
"Cuma satu hal yang menurut saya perlu diperhatikan terutama penyelenggara karena ini 'kan semuanya memastikan bahwa persiapan itu menjadi prepare termasuk menjelang pendaftaran calon presiden yang kemudian dipercepat," katanya.
Selain itu, kata dia, hal-hal yang berkaitan dengan teknis penyelenggaraan dan sebagainya termasuk daftar pemilih tetap juga harus dipastikan dengan dicek kembali.
"Satu hal yang menurut saya penting bagi partai politik pengusung calon presiden, saya pikir sekarang semuanya menyedotnya ke pilpres (pemilihan presiden), bukan ke dalam konteks partai," ungkapnya.
Menurut dia, isu yang paling banyak dalam pemberitaan selama ini adalah masalah calon presiden, tetapi tidak pernah berbicara tentang bagaimana kesiapan dan program partai maupun calon anggota legislatifnya.
Dalam hal ini, kata dia, partai politik lebih fokus pada masalah calon presiden dan koalisi.
"Nah ini yang saya pikir teman-teman partai ya jangan melupakan, karena yang diutamakan tentu perolehan kursi di DPRD sampai DPR RI. Dan DPD saya pikir juga kalah pamor," katanya.
Ia mengatakan informasi dari KPU mengenai calon anggota DPD RI kurang disampaikan secara tuntas dan masif, sehingga seolah "hilang tertelan bumi" karena lebih fokus pada partai politik dan calon presiden.
Terkait dengan agenda pemilihan presiden, dia menilai masyarakat pemilih cenderung melupakan program dan hasil kerja partai.
Menurut dia, anggota legislatif pun terkesan tidak terlalu perhatian terhadap kerja-kerja partai.
"Bahkan, mereka (anggota legislatif, red.) tidak pernah menawarkan sebuah program apapun dalam baliho mereka, termasuk partai politik, tetapi lebih condong memunculkan capresnya," jelasnya.
Padahal, kata dia, hasil survei terhadap beberapa bakal calon presiden pada bulan Juni hingga Agustus tetap stagnan dan belum menunjukkan perubahan signifikan.
Oleh karena itu, lanjut dia, cara yang efektif untuk menarik perhatian masyarakat pemilih adalah dengan menawarkan program pada baliho sosialisasinya.
Menurut dia, cara lain yang dapat digunakan adalah calon anggota legislatif tersebut menampilkan keberhasilan pembangunan daerah yang kepala daerahnya diusung oleh partainya.
Ia pun mencontohkan jika kabupaten A yang bupatinya diusung oleh partai C alangkah baiknya calon anggota legislatif dari partai tersebut memunculkan keberhasilan pembangunan daerahnya.
Akan tetapi sampai sekarang, kata dia, belum ada yang melakukan sosialisasi dengan mengusung permasalahan tersebut.
Bahkan, lanjut dia, keberhasilan pembangunan selama dua periode kepemimpinan Presiden Joko Widodo pun tidak pernah dimunculkan oleh partai pengusung dan pendukungnya untuk menarik perhatian pemilih pada Pemilu 2024.
"Harusnya 'kan bangga, 'oh bupati pilihan saya periode kemarin' atau 'presiden saya di periode kemarin', 'ini lho (partai) yang berhasil'. Enggak pernah saya melihat tentang hal-hal seperti itu," kata Indaru.
Dengan demikian, kata dia, akhirnya kembali ke sebuah tradisi mengandalkan calon presidennya untuk mendulang perolehan suara.
"Saya pikir kalau kita melihat perkembangan, ini tidak seekstrem Pemilu 2019, memang harus diakui. Para pendukung di media sosial manapun juga tidak begitu (ekstrem)," kata Indaru di Purwokerto, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah, Minggu.
Ia mengatakan hal itu disebabkan isu suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) tidak begitu laku lagi untuk "dijual" dalam kontestasi politik menjelang Pemilu Serentak 2024.
Menurut dia, hal itu terlihat pada awal persiapan Pemilu 2024 yang sempat muncul isu nasab habaib dan sebagainya namun dalam perkembangannya tidak mendapatkan respons yang signifikan.
"Isu-isu yang berkaitan dengan SARA itu sengaja diolah dan dibagikan kepada publik, tetapi tidak sampai pertengahan tahun 2023 hal itu sudah selesai. Saya pikir itu ke depan akan lebih redup," jelasnya.
Kendati demikian, dia mengatakan hal yang perlu diwaspadai pada Pemilu Serentak 2024 adalah hal-hal berkaitan dengan aturan main dari Komisi Pemilihan Umum (KPU), saat pemilihan, proses penghitungan suara, dan hasil perolehan suara.
Dalam hal ini, kata dia, kemungkinan terjadinya sengketa hasil perolehan suara Pemilu Serentak 2024 harus diwaspadai.
"Cuma satu hal yang menurut saya perlu diperhatikan terutama penyelenggara karena ini 'kan semuanya memastikan bahwa persiapan itu menjadi prepare termasuk menjelang pendaftaran calon presiden yang kemudian dipercepat," katanya.
Selain itu, kata dia, hal-hal yang berkaitan dengan teknis penyelenggaraan dan sebagainya termasuk daftar pemilih tetap juga harus dipastikan dengan dicek kembali.
"Satu hal yang menurut saya penting bagi partai politik pengusung calon presiden, saya pikir sekarang semuanya menyedotnya ke pilpres (pemilihan presiden), bukan ke dalam konteks partai," ungkapnya.
Menurut dia, isu yang paling banyak dalam pemberitaan selama ini adalah masalah calon presiden, tetapi tidak pernah berbicara tentang bagaimana kesiapan dan program partai maupun calon anggota legislatifnya.
Dalam hal ini, kata dia, partai politik lebih fokus pada masalah calon presiden dan koalisi.
"Nah ini yang saya pikir teman-teman partai ya jangan melupakan, karena yang diutamakan tentu perolehan kursi di DPRD sampai DPR RI. Dan DPD saya pikir juga kalah pamor," katanya.
Ia mengatakan informasi dari KPU mengenai calon anggota DPD RI kurang disampaikan secara tuntas dan masif, sehingga seolah "hilang tertelan bumi" karena lebih fokus pada partai politik dan calon presiden.
Terkait dengan agenda pemilihan presiden, dia menilai masyarakat pemilih cenderung melupakan program dan hasil kerja partai.
Menurut dia, anggota legislatif pun terkesan tidak terlalu perhatian terhadap kerja-kerja partai.
"Bahkan, mereka (anggota legislatif, red.) tidak pernah menawarkan sebuah program apapun dalam baliho mereka, termasuk partai politik, tetapi lebih condong memunculkan capresnya," jelasnya.
Padahal, kata dia, hasil survei terhadap beberapa bakal calon presiden pada bulan Juni hingga Agustus tetap stagnan dan belum menunjukkan perubahan signifikan.
Oleh karena itu, lanjut dia, cara yang efektif untuk menarik perhatian masyarakat pemilih adalah dengan menawarkan program pada baliho sosialisasinya.
Menurut dia, cara lain yang dapat digunakan adalah calon anggota legislatif tersebut menampilkan keberhasilan pembangunan daerah yang kepala daerahnya diusung oleh partainya.
Ia pun mencontohkan jika kabupaten A yang bupatinya diusung oleh partai C alangkah baiknya calon anggota legislatif dari partai tersebut memunculkan keberhasilan pembangunan daerahnya.
Akan tetapi sampai sekarang, kata dia, belum ada yang melakukan sosialisasi dengan mengusung permasalahan tersebut.
Bahkan, lanjut dia, keberhasilan pembangunan selama dua periode kepemimpinan Presiden Joko Widodo pun tidak pernah dimunculkan oleh partai pengusung dan pendukungnya untuk menarik perhatian pemilih pada Pemilu 2024.
"Harusnya 'kan bangga, 'oh bupati pilihan saya periode kemarin' atau 'presiden saya di periode kemarin', 'ini lho (partai) yang berhasil'. Enggak pernah saya melihat tentang hal-hal seperti itu," kata Indaru.
Dengan demikian, kata dia, akhirnya kembali ke sebuah tradisi mengandalkan calon presidennya untuk mendulang perolehan suara.