Semarang (ANTARA) - Tiga siswa terlihat bercokol di bawah pohon jambu air. Mereka duduk riang sambil berseloroh. Satu di antaranya tiba-tiba memanjat pohon, dipetiknya buah jambu yang sudah ranum-ranum.

“Ini, Bu,” kata yang lainnya sambil memberikannya padaku.

Pohon jambu air di belakang masjid adalah satu dari sekian banyak tanaman di SMP Negeri 27 Semarang yang sudah kujumpai kerap dihampiri para siswa. Antusias memenuhi raut wajah mereka. Mencari dengan teliti buah mana saja yang bisa dinikmati.

Tak jauh dari sana, ada green house, seperti namanya, rumah hijau tersebut difungsikan sebagai sumber lahan penghijauan lingkungan sekolah. Namun, bukan itu yang menarik perhatianku. Melainkan berderet-deret tanaman terong dan cabai yang ditanam di depan ruang kelas 8. Ada beberapa tanaman yang belum bisa kukenali sebab wujudnya masih berupa bibit. Letak lahan tersebut berundak, di bawahnya ada kolam ikan yang lagi-lagi menarik perhatian. Di atasnya tersebar dengan rapi tanaman kangkung.

Berbicara soal kangkung, tak perlu jauh-jauh menelusuri wilayah sekolah hingga belakang. Ketika pertama kali memasuki gerbang, hidroponik berisi kangkung telah siap menyambut siapa saja yang datang. Tidak hanya itu, ada pula pokcoy dan bayam. Semudah itulah menemukan tanaman pangan di wilayah SMP Negeri 27 Semarang.

Upaya penghijauan dan pengadaan sumber pangan di area sekolah tampaknya sudah melampaui tujuan dari sekolah dengan status Adiwiyata. Sekolah bahkan telah mampu menjadi agen urban farming yang sejak awal tahun menjadi salah satu program unggulan Walikota Semarang.

Urban farming atau pertanian di wilayah perkotaan sejatinya diselenggarakan sebagai upaya mengatasi krisis pangan dan menekan inflasi. Warga perkotaan diharapkan dapat berswadaya dengan SDA yang dimiliki, termasuk para siswa. Mereka diajak terlibat langsung dalam pelaksanaan urban farming. Mulai dari penyemaian benih, penanaman, perawatan, hingga panen. Pelibatan dari awal hingga akhir inilah yang kemudian menciptakan rasa kepemilikan bersama (sense of belonging) yang menunjang tumbuhnya sikap sosial, seperti peduli dan bertanggung jawab terhadap sarana prasarana milik bersama.

Kondisi tersebut menjadi awal mula terciptanya kesejahteraan di sekolah atau dikenal dengan istilah school well-being. Kesejahteraan sekolah menjadi aspek penting dalam menciptakan lingkungan belajar yang positif dan bermanfaat besar bagi siswa, guru, dan staf sekolah secara keseluruhan.

Pentingnya kesejahteraan sekolah tidak dapat diremehkan. Ketika siswa merasa diterima, aman, dan didukung di sekolah, mereka cenderung memiliki keterlibatan yang lebih tinggi dalam proses pembelajaran, meningkatkan motivasi, dan hasil akademik yang lebih baik. Begitu pula dengan guru dan staf sekolah. Ketika mereka merasa diperhatikan dan dihargai maka akan cenderung memberikan kinerja terbaik dalam pekerjaan.

Urban farming menjadi alat efektif untuk memperkuat kesejahteraan fisik dan psikologis terhadap siswa. Melalui pengintegrasian pertanian perkotaan di dalam atau dekat dengan lingkungan sekolah, dapat memberikan akses yang lebih baik ke pangan segar dan bernutrisi bagi siswa. Terjadi peningkatan kesadaran tentang pentingnya pola makan sehat dan lingkungan yang berkelanjutan. Secara psikologis, dampak positif terhadap kesehatan mental dan emosional siswa terjadi karena adanya interaksi dengan alam, terlibat dalam kegiatan berkebun, dan menghabiskan waktu di luar ruangan yang dapat mengurangi stress serta meningkatkan suasana hati.

Selaras dengan model pembelajaran aktif mengalami, interaksi, komunikasi, & refleksi (MiKIR) yang digagas oleh Tanoto Foundation, pelaksanaan urban farming memberikan kesempatan belajar yang praktis dan multidisiplin di sekolah. Siswa dapat belajar tentang siklus hidup tanaman, ekosistem, manajemen sumber daya, dan berbagai konsep ilmu pengetahuan, matematika, bahkan seni yang terkait dengan pertanian. Hal ini menciptakan pembelajaran bermakna sebab siswa mendapatkan pengalaman belajar secara langsung melalui keterlibatan aktif mereka.

Tidak kalah pentingnya, yaitu untuk senantiasa memastikan bahwa pelaksanaan urban farming di sekolah tidak mengganggu atau mengabaikan prioritas pendidikan inti. Pengintegrasian harus dilakukan secara bijaksana dan terarah, sehingga tidak mengganggu kurikulum dan tuntutan akademik yang esensial. Pelaksanaan yang baik tidak hanya menjadikan urban farming sebagai cara perwujudan school well-being dan upaya ketahanan pangan. Lebih dari itu, secara global turut berkontribusi dalam pencapaian tujuan pembangunan berkelanjutan – SDG’s, seperti kehidupan sehat dan sejahtera serta pendidikan yang berkualitas. Bak peribahasa, sekali mendayung dua tiga pulau terlampaui.
 

*Martina Puspita R. adalah mahasiswa PPG Prajabatan Pendidikan Bahasa Indonesia Universitas Negeri Semarang

 


Pewarta : Martina Puspita R *
Editor : Achmad Zaenal M
Copyright © ANTARA 2024