Semarang (ANTARA) - Tausyiah diselingi retorika dan ungkapan jenaka dari penceramah K.H. Supandi mampu membuat puluhan orang yang menghadiri Halalbihalal dan Silaturahmi PWI Jawa Tengah di Gedung Pers Semarang, Senin (8/5), tertawa terpingkal-pingkal.
Gelak tawa jamaah memang kental mewarnai kegiatan yang diikuti para pengurus PWI Jawa Tengah, IKWI, anggota Assalam, serta para mitra kerja yang hadir.
Semua peserta tampak terhibur dan menikmati guyonan-guyonan kontekstual yang dilontarkan K.H. Supandi.
Dari deretan kursi terdepan yang diisi para mitra kerja PWI Jateng, antara lain, Wakil Ketua DPRD Jawa Tengah Ferry Wawan Cahyono, Kepala Diskominfo Jateng Riena Retnaningrum, Anggota Pembina Yayasan Alumni Undip Ir. Soeharsojo IPU, Rektor USM Dr. Supari, ST, MT, Ketua Umum KONI Jawa Tengah Bona Ventura Sulistiana, Kepala Stasiun RRI Semarang Danang Prabowo, juga terus mengalir tawa.
Supandi dalam tausyiahnya mengaku ketika banyak orang memahami Idul Fitri merupakan momentum kembali suci, dirinya termasuk orang yang tidak setuju dengan pemahaman tersebut.
“Saya orang yang masih berpendapat sama bahwa saya tidak bisa menerima setelah puasa selesai, orang itu kembali suci. Kembali itu sama dengan kepulangan pada keadaan tempat semula. Orang yang diajak kembali suci pasti jauh dari kesucian,” katanya beretorika.
Menurutnya, banyak orang juga yang sebenarnya salah dalam menyampaikan permohonan maaf dengan berbagai istilah yang sering disampaikan pada setiap Idul Fitri, seperti minal aidin wal faizin yang artinya orang kembali dan menang, bukan permohonan maaf antarsesama.
“Banyak yang salah menyampaikan, tapi bagi saya yang penting adalah pesan maaf tersampaikan,” ujar kiai jenaka itu.
Supandi mengutarakan permohonan maaf atas dosa-dosa secara umum dilakukan secara vertikal, yakni hablum minallah yang disampaikan kepada Allah Swt. dan hablum minannas, secara horizontal dengan orang lain. “Kalau vertikal itu mudah tinggal disampaikan kepada Allah Swt. Yang sulit itu horizontal, habblum minanaas, sama orang lain,” imbuhnya.
Pasalnya setiap kali orang berhubungan dengan orang lain pasti ada saja setan yang menyenangkan, seperti setan ghibah, di mana banyak orang yang merasa senang saat membicarakan kejelekan orang lain. “Selebihnya yang namanya dosa itu ya bisa hilang dengan melakukan taubatan nasuha,” tegasnya.
“Tema Ojo Nekat, Ojo Kumat ini bisa menjadi trik semangat untuk berbuat kebaikan sekecil apa pun. Sebaik-baik manusia mampu memberi manfaat kepada orang lain. Memaafkan dan memberikan manfaat, Insya Allah mendapat pahala dari Allah Swt.,” katanya.
Bungkus spiritual
Dalam kesempatan tersebut, Ketua PWI Jawa tengah Amir Machmud NS menekankan bahwa kehadiran semua pihak pada halalbihalal dan silaturahmi ini untuk konsolidasi hati dan konsolidasi rasa.
“Silaturahmi ini bungkus spiritual yang nanti akan semakin menguatkan, betapa hati kita berpaut, betapa rasa kita sama, juga sahabat lama yang ada dalam Assalam kita beri tempat khusus, termasuk kegiatan hari ini,” ujarnya.
Dosen jurnalistik beberapa perguruan tinggi ini mengatakan PWI Jawa Tengah akan terus melanjutkan tradisi silaturahmi untuk menyatukan hati dan rasa di antara para anggotanya.
“Tradisi kumpul menyatukan hati dan rasa terus kita kembangkan, kami memimpikan silaturahmi antar personal tidak hanya diikat kepentingan profesi, tapi lebih pada persaudaraan,” katanya.
Amir mencontohkan upayanya itu dengan membentuk sebuah majelis di antara para anggota PWI Jawa Tengah yakni Majelis Ashabul Kahfi.
“Dibentuk sejak 2020 sampai sekarang Ashabul Kahfi ini sudah 83 kali khatam Alquran, ini penjaga moral kami, pilar penyangga kami,” ujar Amir.
Terkait tema yang diangkat dalam halalbihalal dan silaturahmi kali ini, lanjutnya, itu sedikit guyon yang muncul saat rapat persiapan.
“Tema itu juga menjadi salah satu kritik ke dalam kami, kami mungkin masih sering nekat dan kumat yang membelakangi pemikiran-pemikiran yang bijak. Sengaja kami menghindari tema-tema dengan kalimat yg ndakik-ndakik seperti penataran P-4, cukup dua ini pesannya sudah cukup mendalam,” tambahnya. ***
Gelak tawa jamaah memang kental mewarnai kegiatan yang diikuti para pengurus PWI Jawa Tengah, IKWI, anggota Assalam, serta para mitra kerja yang hadir.
Semua peserta tampak terhibur dan menikmati guyonan-guyonan kontekstual yang dilontarkan K.H. Supandi.
Dari deretan kursi terdepan yang diisi para mitra kerja PWI Jateng, antara lain, Wakil Ketua DPRD Jawa Tengah Ferry Wawan Cahyono, Kepala Diskominfo Jateng Riena Retnaningrum, Anggota Pembina Yayasan Alumni Undip Ir. Soeharsojo IPU, Rektor USM Dr. Supari, ST, MT, Ketua Umum KONI Jawa Tengah Bona Ventura Sulistiana, Kepala Stasiun RRI Semarang Danang Prabowo, juga terus mengalir tawa.
Supandi dalam tausyiahnya mengaku ketika banyak orang memahami Idul Fitri merupakan momentum kembali suci, dirinya termasuk orang yang tidak setuju dengan pemahaman tersebut.
“Saya orang yang masih berpendapat sama bahwa saya tidak bisa menerima setelah puasa selesai, orang itu kembali suci. Kembali itu sama dengan kepulangan pada keadaan tempat semula. Orang yang diajak kembali suci pasti jauh dari kesucian,” katanya beretorika.
Menurutnya, banyak orang juga yang sebenarnya salah dalam menyampaikan permohonan maaf dengan berbagai istilah yang sering disampaikan pada setiap Idul Fitri, seperti minal aidin wal faizin yang artinya orang kembali dan menang, bukan permohonan maaf antarsesama.
“Banyak yang salah menyampaikan, tapi bagi saya yang penting adalah pesan maaf tersampaikan,” ujar kiai jenaka itu.
Supandi mengutarakan permohonan maaf atas dosa-dosa secara umum dilakukan secara vertikal, yakni hablum minallah yang disampaikan kepada Allah Swt. dan hablum minannas, secara horizontal dengan orang lain. “Kalau vertikal itu mudah tinggal disampaikan kepada Allah Swt. Yang sulit itu horizontal, habblum minanaas, sama orang lain,” imbuhnya.
Pasalnya setiap kali orang berhubungan dengan orang lain pasti ada saja setan yang menyenangkan, seperti setan ghibah, di mana banyak orang yang merasa senang saat membicarakan kejelekan orang lain. “Selebihnya yang namanya dosa itu ya bisa hilang dengan melakukan taubatan nasuha,” tegasnya.
“Tema Ojo Nekat, Ojo Kumat ini bisa menjadi trik semangat untuk berbuat kebaikan sekecil apa pun. Sebaik-baik manusia mampu memberi manfaat kepada orang lain. Memaafkan dan memberikan manfaat, Insya Allah mendapat pahala dari Allah Swt.,” katanya.
Bungkus spiritual
Dalam kesempatan tersebut, Ketua PWI Jawa tengah Amir Machmud NS menekankan bahwa kehadiran semua pihak pada halalbihalal dan silaturahmi ini untuk konsolidasi hati dan konsolidasi rasa.
“Silaturahmi ini bungkus spiritual yang nanti akan semakin menguatkan, betapa hati kita berpaut, betapa rasa kita sama, juga sahabat lama yang ada dalam Assalam kita beri tempat khusus, termasuk kegiatan hari ini,” ujarnya.
Dosen jurnalistik beberapa perguruan tinggi ini mengatakan PWI Jawa Tengah akan terus melanjutkan tradisi silaturahmi untuk menyatukan hati dan rasa di antara para anggotanya.
“Tradisi kumpul menyatukan hati dan rasa terus kita kembangkan, kami memimpikan silaturahmi antar personal tidak hanya diikat kepentingan profesi, tapi lebih pada persaudaraan,” katanya.
Amir mencontohkan upayanya itu dengan membentuk sebuah majelis di antara para anggota PWI Jawa Tengah yakni Majelis Ashabul Kahfi.
“Dibentuk sejak 2020 sampai sekarang Ashabul Kahfi ini sudah 83 kali khatam Alquran, ini penjaga moral kami, pilar penyangga kami,” ujar Amir.
Terkait tema yang diangkat dalam halalbihalal dan silaturahmi kali ini, lanjutnya, itu sedikit guyon yang muncul saat rapat persiapan.
“Tema itu juga menjadi salah satu kritik ke dalam kami, kami mungkin masih sering nekat dan kumat yang membelakangi pemikiran-pemikiran yang bijak. Sengaja kami menghindari tema-tema dengan kalimat yg ndakik-ndakik seperti penataran P-4, cukup dua ini pesannya sudah cukup mendalam,” tambahnya. ***