Semarang (ANTARA) - Keluarga Berencana (KB) bukanlah sebuah program baru di Indonesia, karena sudah dicanangkan sejak jaman Orde Baru dengan tujuan untuk mengendalikan ledakan penduduk karena angka kelahiran yang meningkat. 

Peningkatan angka kelahiran mengikuti perbaikan sistem dan mutu pelayanan kesehatan di Indonesia, tidak berbanding lurus dengan peningkatan kesejahteraan keluarga di Indonesia. 

Sistem kesehatan dengan jaminan persalinan (Jampersal) justru menjadi pemicu terjadinya ledakan persalinan, meskipun tujuan utamanya adalah menjaring kehamilan risiko tinggi yang mengancam kematian ibu dan bayi dengan sistem rujukan berjenjang, sehingga persalinan aman dan terobservasi di pusat pelayanan kesehatan. 

Sensus Penduduk yang dikeluarkan pada September 2020 menyebutkan pertambahan jumlah penduduk di Indonesia mencapai 270,2 juta jiwa, terdapat penambahan penduduk sebesar 32,56 juta jiwa dalam 10 tahun terakhir yang artinya kepadatan penduduk di Indonesia sebesar 141 jiwa per km persegi. 

Survey Kependudukan Indonesia tahun 2020 juga menyatakan kelompok usia produktif mencapai 70,72 persen disusul dengan kelompok usia muda 23,33 persen. 

Sangat disayangkan kenaikan kelompok usia produktif ini tidak dibarengi dengan peningkatan utilisasi alat kontrasepsi secara nasional, dimana terjadi penurunan dari  55,96 persen menjadi 55 persen. Di Jawa Tengah sendiri juga terjadi penurunan dari 57,8 persen menjadi 57,3 persen. 

Pentingnya Edukasi Dini
Pada masa pandemi COVID-19 permasalahan terkait pernikahan dan kehamilan remaja mengalami peningkatan dengan beragam faktor yang menjadi latar belakangnya.

Kesulitan ekonomi misalnya menyebabkan kedua orangtua menjadi lebih sibuk dalam mencari tambahan penghasilan, sehingga terjadinya penurunan pengawasan pada anak yang di sisi lain kegiatan sekolahnya terhenti akibat pandemi.

Data dari Komnas Perempuan mencatat tahun 2020 angka dispensasi pernikahan anak sebesar 64 ribu kasus dibandingkan dengan tahun 2019 hanya sebesar 23 ribu kasus. 

Sementara itu pengetahuan tentang kesehatan reproduksi di kalangan remaja berdasarkan survey BKKBN cenderung rendah, dimana sekitar 52 persen paham bahwa kehamilan dapat terjadi dalam satu kali saja hubungan seksual, namun hanya 13 persen dari remaja tersebut yang paham mengenai masa subur dengan benar. 

Kehamilan pada usia remaja sendiri meningkatkan risiko terjadinya kejadian stunting (anak pendek karena kurang gizi vitamin) sebesar 3x lipat, selain adanya peningkatan risiko selama kehamilan dan persalinan itu sendiri.

Pemahaman awam tentang KB saat ini masih cenderung salah kaprah, dimana anggapan kebanyakan orang adalah KB berguna untuk pembatasan jumlah anak. Hal ini dapat dipahami mengingat tujuan awalnya adalah memang untuk menekan pertumbuhan penduduk yang sedemikian cepat. 

Sudah saatnya bagi masyarakat, keluarga dan orangtua untuk lebih terbuka dalam memberikan pendidikan dan pengetahuan mengenai kesehatan reproduksi untuk remaja dan anak. 

Hal ini penting supaya anak tidak mendapat informasi yang keliru atau menyesatkan dari luar. Pemanfaatan kontrasepsi sebagai bagian dari keluarga berencana dapat diterapkan, sehingga dalam pernikahan dini yang sudah terlanjur terjadi tidak menciptakan generasi mendatang berkualitas rendah sekaligus menjaga kesehatan reproduksi sang ibu.

Alat Kontrasepsi
Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) menyebutkan target nasional pemakaian kontrasepsi adalah sebesar 62 persen, namun hal ini belum tercapai ditambah lagi pandemi COVID-19 dalam dua tahun terakhir menyebabkan kegiatan luar rumah praktis banyak terhenti. 

Masyarakat mengalami kesulitan dalam mengakses fasilitas kesehatan, begitu juga sistem telemedicine masih belum sepenuhnya dapat diterapkan di semua tempat terutama di tempat-tempat terpencil. Begitu juga tenaga kesehatan tidak jarang mengalami kesulitan dalam menjangkau masyarakat selama masa pandemi.

Sebenarnya KB tidak melulu berbicara tentang alat kontrasepsi. Sesuai dengan namanya “Keluarga Berencana” artinya mengatur jumlah keluarga, yang berarti pasutri (pasangan suami istri) sebaiknya dapat mengatur jarak antarkehamilan sesuai dengan kemampuan keluarga saat ini dan untuk ke depannya perencanaan bagaimana membina keluarga yang baik di masa mendatang. 

Hal ini penting karena kesejahteraan keluarga, kesinambungan pendidikan, serta tumbuh kembang anak akan dapat lebih terjamin dengan pengaturan atau perencanaan seperti ini. 

Alat kontrasepsi sendiri mempunyai fungsi yang berbeda-beda sesuai dengan tujuan yang diinginkan oleh akseptor/pengguna. Alat kontrasepsi yang sama dapat dipakai oleh beberapa pasangan usia subur (PUS) dengan rentang usia yang berbeda-beda dan dengan tujuan yang berbeda-beda pula. 

Alat kontrasepsi dalam rahim (AKDR) misalnya, dapat dimanfaatkan dengan tujuan yang berbeda-beda di PUS yang berbeda. AKDR bekerja dengan cara mencegah terjadinya pembuahan sehingga tidak terjadi kehamilan. 

Kelebihan AKDR adalah tidak dibutuhkan kepatuhan mutlak oleh akseptor, cukup kontrol teratur tahunan ke fasilitas kesehatan terdekat, dan mempunyai efektifitas klinis di atas 95 persen. 

Efektifitas klinis berarti penggunaan aktual oleh akseptor. AKDR ini dapat dimanfaatkan PUS usia awal 20 tahun yang belum berencana untuk mempunyai anak dalam waktu dekat atau PUS yang ingin mengatur jarak antar kehamilan dan mereka adalah pasangan yang sibuk bekerja sehingga kontrol tahunan menjadi pilihan yang nyaman. 

Pilihan lain misalnya pil kontrasepsi yang rutin diminum atau kontrasepsi suntik yang kesemuanya mempunyai efektitifitas di atas 95 persen. Pilihan-pilihan tersebut dapat didiskusikan dengan tenaga kesehatan di fasilitas kesehatan terdekat, sesuai dengan tujuan pengaturan kehamilan, dan juga kepatuhan dalam penggunaan. 

*Penulis: dr. Nurul Setiyorini, Sp.OG
Dokter RSND Diponegoro Semarang
 

Pewarta : dr. Nurul Setiyorini, Sp.OG*/Nur Istibsaroh
Editor : Teguh Imam Wibowo
Copyright © ANTARA 2024