Semarang (ANTARA) - Wakil Ketua Asosiasi Pengusaha Truk Indonesia (Aptrindo) Jateng & DIY Bambang Widjanarko berpendapat harga solar sudah selayaknya naik, tanpa menghilangkan subsidi dan harus tepat sasaran.

Dirinya menilai dengan harga minyak dunia saat ini yang mencapai US$100 per barel, jauh di atas asumsi dasar APBN 2022 di angka US$ 63 per barel, maka pemerintah bisa menaikkan harga solar subsidi untuk mengurangi beban anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) serta menetapkan batas subsidi.

Ia mencontohkan pemerintah bisa mensubsidi dengan batasan Rp2.000 sampai dengan Rp3.000 dari harga keekonomian.

"Kalau memang mau dinaikkan, ya silakan naikkan saja, tapi jangan dilepas subsidinya. Jangan dilepas menurut harga keekonomian. Jadi, nanti harga bisa di kisaran Rp8.000 sampai Rp9.000 (per liter)," kata Bambang.

Bambang juga menyarankan solar subsidi dijual untuk jenis angkutan umum atau barang, nelayan, dan petani, sedangkan penjualan solar untuk kendaraan pribadi seharusnya dilarang, karena dinilai tidak tepat sasaran.

"Seharusnya BBM jenis solar tersebut hanya dijual kepada angkutan umum darat, sungai, dan laut, para petani, serta nelayan, tidak diperuntukkan bagi semua jenis kendaraan pribadi," kata Bambang.

Untuk pengawasan terhadap penjualan solar subsidi, lanjut Bambang, pemerintah perlu membentuk satgas yang melibatkan para pengusaha angkutan umum dan barang.

Pemerintah bisa melibatkan Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) yang berasal dari akademisi, untuk mengawasi penyaluran solar subsidi.

"Perlu juga diberikan sanksi yang tegas dan jelas bagi SPBU jika ada yang terbukti menyalurkan solar kepada yang tidak berhak. Kalau saat ini, kita lihat pengawasan hanya berasal dari unsur pemerintah," katanya.

Bambang menegaskan meski sejumlah daerah mengalami kelangkaan solar, seperti di Sumatera, Kalimantan, dan  Sulawesi, namun hal itu tidak terjadi di wilayah Jawa Tengah. Sejauh ini, pihaknya cukup mudah mendapatkan solar, karena pasokan dari Pertamina mencukupi.

"Di Jawa Tengah tidak ada kelangkaan solar hingga hari ini. Bahkan, tidak ada pembatasan pembelian solar," katanya.

Pengamat Ekonomi Universitas Diponegoro Semarang Firmansyah mengatakan fluktuasi harga minyak dunia saat ini akan menyebabkan beban subsidi makin meningkat. Apalagi, semakin jauh selisih harga minyak internasional dengan harga produk BBM di dalam negeri, bakal membuat subsidi yang digunakan untuk mempertahankan atau menjaga harga BBM rendah di dalam negeri semakin membesar. 

"Adanya fenomena tersebut, maka wacana pemberian subsidi energi langsung kepada orang perlu untuk didukung. Hal ini dilakukan agar subsidi yang diberikan bisa lebih tepat sasaran dibandingkan jika subsidi diberikan kepada barang," katanya.

Menurut Firmansyah jika subsidi diberikan atas produk, maka orang yang tidak memerlukan subsidi atau orang mampu/berpenghasilan tinggi juga akan dapat mengakses barang bersubsidi tersebut, sehingga subsidi jadi tidak tepat sasaran.

"Namun, biasanya subsidi atas produk/barang lebih mudah diterapkan dibandingkan dengan subsidi atas orang," katanya.

Firmansyah menuturkan, pengurangan subsidi secara langsung bisa dilakukan secara bertahap, dengan klasterisasi, yaitu pada produk yang dibeli oleh kelompok masyarakat golongan mampu dan kelompok golongan pendapatan rendah.

Sementara, BBM yang digunakan klaster masyarakat golongan pendapatan rendah masih diberikan subsidi dan jika dikurangi hanya sedikit.

"Untuk golongan mampu, subsidi dapat dikurangi sepenuhnya, atau dapat dilakukan pengurangan subsidi bertahap, agar tidak terjadi kejutan pada daya beli," katanya.

Firmasnyah menambahkan jika beban subsidi dalam APBN tidak segera diatasi, maka dana yang siap dibelanjakan untuk hal lain menjadi berkurang, misalnya belanja untuk pembangunan sekolah, kesehatan, infrastruktur dan layanan publik lainnya.

"Anggaran yang dimiliki pemerintah tentu terbatas, sehingga hal ini dapat memperlambat pembangunan yang juga dibutuhkan oleh masyarakat," katanya.

Pewarta : Nur Istibsaroh
Editor : Teguh Imam Wibowo
Copyright © ANTARA 2024