Semarang (ANTARA) - Menekan angka stunting di Tanah Air harus menjadi kepedulian semua pihak karena hanya dengan anak dan generasi muda berkecukupan gizi, Indonesia mampu mewujudkan bangsa yang tangguh dan unggul di masa datang.

"Kita harus bisa memastikan bahwa anak dan generasi muda kita mendapatkan gizi yang baik untuk memenuhi target pembangunan berkelanjutan Nomor 2 pada 2030 mengakhiri kelaparan, juga terkait stunting," kata Wakil Ketua MPR RI Lestari Moerdijat saat membuka diskusi daring bertema Mewaspadai Kerawanan Gizi Anak Indonesia yang digelar Forum Diskusi Denpasar 12, Rabu (3/11).

Dalam diskusi yang dipandu Arimbi Heroepoetri, S.H, L.LM (Tenaga Ahli Wakil Ketua MPR RI) itu, menghadirkan dr. Hasto Wardoyo, Sp.OG (k) (Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional/BKKBN Republik Indonesia),  Prof. dr. Fasli Jalal, Sp.GK., Ph.D (Rektor Universitas Yarsi – Pakar Ilmu Gizi), Dr. drg. Widya Leksmanawati Habibie, Sp.Ort. MM (The Habibie Center), Zack Petersen (Co-Founder & Executive Director of 1000 days Fund) dan Nurmala Selly Saputri (Peneliti The SMERU Research Institute) sebagai narasumber.

Hadir juga Hj. Lisda Hendrajoni, S.E., M.MTr (Komisi VIII DPR RI, Fraksi Partai NasDem), Nur Wahidatul Muflihah S.E.I (Bendahara II PP Nasyiatul Aisyiyah - Project officer program stunting kerja sama dengan IMA WH untuk daerah Kapuas Hulu, Kalimantan Barat), sebagai penanggap.

Itu berarti, jelas Lestari dalam keterangan tertulis yang diterima di Semarang, Rabu,  ada waktu 8 tahun bagi Indonesia untuk memenuhi target pravelensi stunting di bawah 20 persen sesuai standar WHO, yang merupakan bagian dari salah satu target pembangunan berkelanjutan untuk mengakhiri kelaparan pada 2030.

Diakui Rerie, sapaan akrab Lestari, jumlah kasus stunting di Indonesia pada tahun 2019 mencapai 27,67 persen. Angka itu, berhasil ditekan dari 37,8 persen pada tahun 2013. 

Namun, ujar Rerie, angka tersebut masih lebih tinggi dibandingkan toleransi maksimal stunting yang ditetapkan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), yaitu kurang dari 20 persen. 

Kondisi pandemi, ungkap anggota Majelis Tinggi Partai NasDem itu, bahkan menghasilkan pertambahan 1,12 juta keluarga prasejahtera yang berpotensi meningkatkan angka stunting.

Kondisi tersebut, jelas Rerie, membutuhkan kerja keras semua pihak, para pemangku kepentingan dan masyarakat untuk menekan angka stunting di tanah air.

Kepala BKKBN Republik Indonesia Hasto Wardoyo mengungkapkan secara umum di dunia sebenarnya terjadi penurunan angka stunting, namun di sejumlah negara termasuk Indonesia, angka stunting masih berada di atas standar WHO.

"Banyak negara mampu menekan angka stunting 1-2 persen per tahun. Kita juga harus mampu merealisasikan hal itu," ujar Hasto.

Menurut Hasto, banyak hal yang menyebabkan angka stunting meningkat yaitu tingginya angka putus sekolah, pernikahan muda, serta angka  kematian ibu dan anak yang tinggi.

Jadi kuncinya, tegas Hasto, berbagai upaya meningkatkan kualitas SDM menjadi sangat penting.

Dengan tingkat pravelensi stunting yang cukup tinggi di Indonesia, Hasto menilai, untuk mencapai stunting sesuai standar WHO pada delapan tahun mendatang, itu berarti harus tercapai penurunan angka stunting 5 persen per tahun. 

"Sebuah angka penurunan yang belum pernah terjadi selama ini. Ini tugas yang berat dan perlu dukungan semua pihak," ujarnya.

Pakar Ilmu Gizi yang juga Rektor Universitas Yarsi, Fasli Jalal, berpendapat stunting terjadi karena anak mengalami kekurangan gizi  kronis dalam waktu lama.

Menurut Fasli Jalal, kecukupan gizi dalam 1.000 hari pertama kehidupan anak merupakan langkah strategis yang harus dilakukan.

Sangat disayangkan, ujarnya, Indonesia saat ini adalah negara peringkat lima besar penyumbang anak stunting di dunia.

Widya Leksmanawati Habibie dari The Habibie Center berpendapat pencegahan stunting di era pandemi ini menghadapi tantangan yang besar.

Karena, jelasnya, hanya sekitar 37,8 persen puskesmas dan 19,2 persen yang buka sehingga upaya pemantauan gizi anak dan balita menjadi terganggu.

Widya berpendapat, upaya pencegahan stunting di Indonesia membutuhkan komitmen yang kuat dari pemangku kepentingan di daerah, agar kebutuhan gizi anak dan balita terpenuhi.

Ketersediaan alat ukur tinggi badan dan berat badan, untuk memantau perkembangan pertumbuhan anak dan balita, menurut Widya, sangat penting. 

Dan yang tidak kalah penting, jelasnya, adalah  tingkat pengetahuan orang tua terhadap pemenuhan gizi anak dan balita dari sumber pangan yang tersedia di sekitarnya seperti ikan dan telur.

Co-Founder & Executive Director of 1000 Days Fund, Zack Petersen berpendapat, yang terpenting saat ini dalam penanggulangan stunting di Indonesia adalah penerapan solusi.

Menurut Zack, perlu segera mempersiapkan tenaga kesehatan, alat intervensi, kader posyandu yang trampil dan penguatan pengetahuan orang tua tentang gizi keluarga.

Peneliti The Smeru Research Institute Nurmala Selly Saputri mengungkapkan bahwa pandemi mempengaruhi masyarakat dalam pengeluaran harian, termasuk untuk membeli makanan. Akibatnya, tambah Nurmala, sekitar 11 persen rumah tangga mengalami kerawanan pangan.

Berdasarkan pantauan The Smeru, ujar Nurmala, upaya penurunan angka stunting terkendala di masa pandemi karena seringnya pertemuan untuk membahas stunting tertunda, terjadi kesulitan membangun komitmen dari para pemangku kepentingan dan terjadi kendala dalam koordinasi dan komunikasi  antarinstansi dalam upaya mengatasi stunting di berbagai daerah.

Anggota Komisi VIII DPR RI Fraksi Partai NasDem Lisda Hendrajoni berpendapat upaya penanggulangan stunting harus dilakukan secara masif dan menyeluruh.

Berdasaran pengalamannya, Lisda mengungkapkan, banyak bantuan untuk penanggulangan stunting di sejumlah daerah terkesan basa-basi, karena hanya diberikan dalam tiga bulan.

Seharusnya upaya pencegahan stunting, jelas Lisda, selain lewat perbaikan gizi, penting juga melakukan perbaikan lingkungan tempat tinggal, peningkatan pengetahuan orang tua tentang gizi dan peningkatan kemampuan ekonomi keluarga.

Project officer program stunting kerja sama dengan IMA WH untuk daerah Kapuas Hulu, Kalimantan Barat, yang juga Bendahara II PP Nasyiatul Aisyiyah, Nur Wahidatul Muflihah berpendapat bantuan advokasi terhadap para pemangku kepentingan sangat diperlukan dalam membuat perencanaan penanggulangan stunting di setiap daerah agar mempercepat pencapaian target.

Jurnalis Senior, Saur Hutabarat berpendapat, soal stunting di Indonesia masalah dan solusinya sudah jelas, yang dibutuhkan adalah komitmen dalam pelaksanaannya oleh para pemangku kepentingan.

Selain itu, ujar Saur, yang harus dilakukan adalah penerapan solusi berbasis rumah tangga. Pengoperasian Puskesmas keliling, jelasnya, bisa diperbanyak dan memperkuat Posyandu merupakan langkah strategis dalam penanganan stunting di Tanah Air. ***

Pewarta : Zaenal
Editor : Achmad Zaenal M
Copyright © ANTARA 2024