Jakarta (ANTARA) - Ketua Umum Persatuan Wartawan Indonesia Atal S. Depari menegaskan bahwa wartawan tidak tunduk pada Undang-Undang tentang Ketenagakerjaan ketika melaksanakan tugas jurnalistik.
"Kami berpendapat bahwa maksud UU Ketenagakerjaan adalah tenaga kerja berhak memperoleh pengakuan kompetensi kerja melalui sertifikasi kompetensi kerja dari BNSP, sedangkan wartawan adalah sebuah profesi khusus yang diatur dalam UU Pers," kata Atal dalam keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Minggu.
Pernyataan tersebut merupakan tanggapan Atal terhadap anggapan para pemohon mengenai Dewan Pers melakukan praktik ultra-vires atau tindakan di luar batas kewenangan.
Salah satu tindakan yang di luar batas, menurut para pemohon, adalah kewenangan Dewan Pers melaksanakan Uji Kompetensi Wartawan yang dianggap melanggar UU 13/2003 tentang Ketenagakerjaan karena yang berwenang menguji kompetensi wartawan adalah Badan Nasional Sertifikasi Profesi (BNSP).
Berdasarkan Pasal 1 angka 4 UU Pers, yang dimaksud dengan wartawan adalah orang yang secara teratur melaksanakan kegiatan jurnalistik. Oleh karena itu, UU Pers adalah lex specialis untuk profesi wartawan dan tidak bisa disamakan dengan Tenaga Kerja sebagaimana yang dimaksud dalam UU Ketenagakerjaan.
Menurut Atal, terdapat kesesatan pemahaman pada para pemohon yang menyamakan profesi wartawan dengan tenaga kerja.
Dengan demikian, Atal menegaskan bahwa yang benar adalah Uji Kompetensi Wartawan dilakukan oleh Dewan Pers, sesuai tugas dan fungsinya guna meningkatkan kualitas kewartawanan berdasarkan UU Pers.
"Apakah profesi dokter dan advokat dapat disamakan dengan tenaga kerja yang harus ikut sertifikasi BNSP? Tidak, karena profesi dokter dan advokat adalah profesi khusus yang diatur masing-masing secara khusus (lex specialis) dalam UU Praktik Kedokteran dan UU Advokat," ujar Atal menambahkan.
Justru, Atal melanjutkan, para pemohon menundukkan diri secara sukarela sebagai tenaga kerja dengan mendirikan LSP untuk melaksanakan sertifikasi profesi wartawan sesuai Peraturan Menteri Ketenagakerjaan No. 2 Tahun 2016 tentang Sistem Standardisasi Kompetensi Kerja Nasional.
Para pemohon tidak layak lagi mengaku berprofesi sebagai wartawan karena menginginkan campur tangan BNSP untuk melakukan sertifikasi profesi wartawan karena profesi wartawan diatur khusus dalam UU Pers.
Menurut Atal, seharusnya para pemohon mengikuti keputusan Dewan Pers sebagai lembaga independen dalam upaya mengembangkan kemerdekaan pers dan melindungi kebebasan pers dari campur tangan pihak lain, termasuk campur tangan dari pemerintah sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 15 ayat (1) UU Pers.
"Kami berpendapat bahwa maksud UU Ketenagakerjaan adalah tenaga kerja berhak memperoleh pengakuan kompetensi kerja melalui sertifikasi kompetensi kerja dari BNSP, sedangkan wartawan adalah sebuah profesi khusus yang diatur dalam UU Pers," kata Atal dalam keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Minggu.
Pernyataan tersebut merupakan tanggapan Atal terhadap anggapan para pemohon mengenai Dewan Pers melakukan praktik ultra-vires atau tindakan di luar batas kewenangan.
Salah satu tindakan yang di luar batas, menurut para pemohon, adalah kewenangan Dewan Pers melaksanakan Uji Kompetensi Wartawan yang dianggap melanggar UU 13/2003 tentang Ketenagakerjaan karena yang berwenang menguji kompetensi wartawan adalah Badan Nasional Sertifikasi Profesi (BNSP).
Berdasarkan Pasal 1 angka 4 UU Pers, yang dimaksud dengan wartawan adalah orang yang secara teratur melaksanakan kegiatan jurnalistik. Oleh karena itu, UU Pers adalah lex specialis untuk profesi wartawan dan tidak bisa disamakan dengan Tenaga Kerja sebagaimana yang dimaksud dalam UU Ketenagakerjaan.
Menurut Atal, terdapat kesesatan pemahaman pada para pemohon yang menyamakan profesi wartawan dengan tenaga kerja.
Dengan demikian, Atal menegaskan bahwa yang benar adalah Uji Kompetensi Wartawan dilakukan oleh Dewan Pers, sesuai tugas dan fungsinya guna meningkatkan kualitas kewartawanan berdasarkan UU Pers.
"Apakah profesi dokter dan advokat dapat disamakan dengan tenaga kerja yang harus ikut sertifikasi BNSP? Tidak, karena profesi dokter dan advokat adalah profesi khusus yang diatur masing-masing secara khusus (lex specialis) dalam UU Praktik Kedokteran dan UU Advokat," ujar Atal menambahkan.
Justru, Atal melanjutkan, para pemohon menundukkan diri secara sukarela sebagai tenaga kerja dengan mendirikan LSP untuk melaksanakan sertifikasi profesi wartawan sesuai Peraturan Menteri Ketenagakerjaan No. 2 Tahun 2016 tentang Sistem Standardisasi Kompetensi Kerja Nasional.
Para pemohon tidak layak lagi mengaku berprofesi sebagai wartawan karena menginginkan campur tangan BNSP untuk melakukan sertifikasi profesi wartawan karena profesi wartawan diatur khusus dalam UU Pers.
Menurut Atal, seharusnya para pemohon mengikuti keputusan Dewan Pers sebagai lembaga independen dalam upaya mengembangkan kemerdekaan pers dan melindungi kebebasan pers dari campur tangan pihak lain, termasuk campur tangan dari pemerintah sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 15 ayat (1) UU Pers.