Purwokerto (ANTARA) - Pakar hukum dari Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Purwokerto Profesor Hibnu Nugroho menilai ketentuan dalam Pasal 471 Ayat (3) Rancangan Undang-Undang tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU KUHP) perlu diperjelas agar tidak disalahartikan untuk mempermudah aborsi.
"Kalau dilihat memang Pasal 251, 415, 469, 470, dan 471 RUU KUHP spiritnya untuk jangan sampai dengan mudah menggugurkan kandungan atau aborsi sehingga siapa pun yang terkait dengan pengguguran kandungan harus bertanggung jawab secara hukum," kata Prof. Hibnu Nugroho di Purwokerto, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah, Senin.
Dengan demikian, kata dia, korban perkosaan yang menggugurkan kandungannya juga harus bertanggung jawab secara hukum.
Baca juga: Eva Sundari: Pasal "pro life" RUU KUHP harus berlaku pula bagi perempuan
Jika korban perkosaan menggugurkan kandungannya, kata dia, berarti yang bersangkutan telah merampas hak untuk hidup dari janin yang di kandungnya.
"Jadi, korban perkosaan enggak boleh menggugurkan kandungan. Kalau hal itu dilakukan, yang bersangkutan bisa dipidanakan," katanya menegaskan.
Hal itu sesuai dengan Pasal 470 Ayat (1) RUU KUHP yang menyebutkan bahwa setiap perempuan yang menggugurkan atau mematikan kandungan seorang atau meminta orang lain menggugurkan atau mematikan kandungan tersebut dipidana penjara paling lama 4 tahun.
Terkait dengan Pasal 471 Ayat (3) RUU KUHP, Hibnu mengatakan bahwa pasal tersebut terdapat kejanggalan sehingga harus diterjemahkan agar tidak salah tafsir.
Dalam hal ini, Pasal 471 Ayat (3) RUU KUHP menyebutkan bahwa dokter yang melakukan pengguguran kandungan karena indikasi kedaruratan medis atau terhadap korban perkosaan sesuai dengan peraturan perundang-undangan, tidak dipidana.
"Saya kira ini, ya, jalan tengah. Sekarang pertanyaannya, ini bertentangan sekali dengan hak asasi manusia, ya, memang, iya? Ini menarik, tidak dipidana," katanya.
Ia mengatakan sisi positif dari larangan menggugurkan kandungan adalah untuk mengetahui siapa pelaku yang tidak bertanggung jawab terhadap korban perkosaan.
Akan tetapi, untuk klausul yang menyebutkan adanya kedaruratan medis seperti yang tercantum dalam Pasal 471 Ayat (3) RUU KUHP, kata dia, ke depan perlu penjelasan lebih konkret agar orang tidak mudah melakukan aborsi atau menggugurkan kandungan karena korban perkosaan.
"Artinya, mungkin harus ditunjukkan dahulu korban perkosaannya (yang menggugurkan kandungannya) disidangkan, juga kedarutan medisnya ini seperti apa. Ini saya kira perlu peraturan pemerintah atau PP, ataupun peraturan lain terjemahan dari Pasal 471 ini supaya tidak digunakan dengan mudah untuk menggugurkan kandungan, dengan mudah mengaku korban perkosaan," katanya.
Dalam hal ini, kata dia, implementasi dari Pasal 471 Ayat (3) RUU KUHP tersebut harus hati-hati dan parameternya juga harus jelas.
Baca juga: Pakar mempertanyakan RUU KUHP hanya atur ancaman pidana terhadap advokat
Baca juga: Pakar hukum: Pencabutan aduan terkait rudapaksa istri harus ada batasan
"Kalau dilihat memang Pasal 251, 415, 469, 470, dan 471 RUU KUHP spiritnya untuk jangan sampai dengan mudah menggugurkan kandungan atau aborsi sehingga siapa pun yang terkait dengan pengguguran kandungan harus bertanggung jawab secara hukum," kata Prof. Hibnu Nugroho di Purwokerto, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah, Senin.
Dengan demikian, kata dia, korban perkosaan yang menggugurkan kandungannya juga harus bertanggung jawab secara hukum.
Baca juga: Eva Sundari: Pasal "pro life" RUU KUHP harus berlaku pula bagi perempuan
Jika korban perkosaan menggugurkan kandungannya, kata dia, berarti yang bersangkutan telah merampas hak untuk hidup dari janin yang di kandungnya.
"Jadi, korban perkosaan enggak boleh menggugurkan kandungan. Kalau hal itu dilakukan, yang bersangkutan bisa dipidanakan," katanya menegaskan.
Hal itu sesuai dengan Pasal 470 Ayat (1) RUU KUHP yang menyebutkan bahwa setiap perempuan yang menggugurkan atau mematikan kandungan seorang atau meminta orang lain menggugurkan atau mematikan kandungan tersebut dipidana penjara paling lama 4 tahun.
Terkait dengan Pasal 471 Ayat (3) RUU KUHP, Hibnu mengatakan bahwa pasal tersebut terdapat kejanggalan sehingga harus diterjemahkan agar tidak salah tafsir.
Dalam hal ini, Pasal 471 Ayat (3) RUU KUHP menyebutkan bahwa dokter yang melakukan pengguguran kandungan karena indikasi kedaruratan medis atau terhadap korban perkosaan sesuai dengan peraturan perundang-undangan, tidak dipidana.
"Saya kira ini, ya, jalan tengah. Sekarang pertanyaannya, ini bertentangan sekali dengan hak asasi manusia, ya, memang, iya? Ini menarik, tidak dipidana," katanya.
Ia mengatakan sisi positif dari larangan menggugurkan kandungan adalah untuk mengetahui siapa pelaku yang tidak bertanggung jawab terhadap korban perkosaan.
Akan tetapi, untuk klausul yang menyebutkan adanya kedaruratan medis seperti yang tercantum dalam Pasal 471 Ayat (3) RUU KUHP, kata dia, ke depan perlu penjelasan lebih konkret agar orang tidak mudah melakukan aborsi atau menggugurkan kandungan karena korban perkosaan.
"Artinya, mungkin harus ditunjukkan dahulu korban perkosaannya (yang menggugurkan kandungannya) disidangkan, juga kedarutan medisnya ini seperti apa. Ini saya kira perlu peraturan pemerintah atau PP, ataupun peraturan lain terjemahan dari Pasal 471 ini supaya tidak digunakan dengan mudah untuk menggugurkan kandungan, dengan mudah mengaku korban perkosaan," katanya.
Dalam hal ini, kata dia, implementasi dari Pasal 471 Ayat (3) RUU KUHP tersebut harus hati-hati dan parameternya juga harus jelas.
Baca juga: Pakar mempertanyakan RUU KUHP hanya atur ancaman pidana terhadap advokat
Baca juga: Pakar hukum: Pencabutan aduan terkait rudapaksa istri harus ada batasan