Semarang (ANTARA) - Perlu gerakan nasional dan kemauan politik (political will) pemerintah untuk merealisasikan peta jalan penanggulangan kanker serviks, agar mencapai bebas kanker serviks pada 2030 di Indonesia.

"Pelaksanaan peta jalan bebas kanker serviks di Indonesia merupakan pekerjaan rumah bagi kita semua, karena banyak faktor yang mendorong terjadinya kanker serviks, " kata Wakil Ketua MPR RI Lestari Moerdijat saat membuka diskusi daring Forum Diskusi Denpasar 12 bertema Peta Jalan Perempuan Indonesia Bebas Kanker Serviks, Rabu (13/1).

Dalam diskusi yang dimoderatori Arimbi Heroepoetri S.H., L.LM (Tenaga Ahli Wakil Ketua MPR RI Bidang Penyerapan Aspirasi Masyarakat dan Daerah) itu menghadirkan Dr. (H.C.) dr. Hasto Wardoyo, Sp.OG(K) (Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional/BKKBN), Prof. Andrijono Sp.OG (K) FER (Ketua Himpunan Onkologi Ginekologi Indonesia /HOGI), Aryanthi Baramuli Putri, SH, MH (Ketua Umum Cancer Information & Support Center/CISC) dan Didik Setiawan Ph.D Apt (Direktur Center for Health Economics Studies) sebagai narasumber.

Selain itu, juga menghadirkan Okky Asokawati, M.Psi (Ketua DPP Partai NasDem Bidang Kesehatan), dan Siswantini Suryandari (wartawati Media Indonesia/Award Winning Journalist Bidang Kesehatan) sebagai penanggap.

Menurut Lestari dalam keterangan tertulisnya, upaya vaksinasi dan merevisi regulasi usia pernikahan merupakan langkah yang berpotensi untuk mengatasi masalah kanker serviks di Indonesia.

UU No.16 Tahun 2019 tentang Perubahan atas UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yang memberi batasan minimal usia perkawinan 19 tahun bagi laki-laki dan perempuan, menurut Rerie, sapaan akrab Lestari, masih membuka peluang pernikahan usia dini dengan alasan seizin orang tua.

Menurut Rerie, upaya judicial review terhadap sejumlah aturan yang masih membuka peluang terjadinya pernikahan dini harus segera dilakukan.

Berdasarkan kenyataan tersebut, tegas Rerie, upaya yang harus dilakukan saat ini adalah bagaimana kita bisa mengajak para pemangku kepentingan memaksimalkan pencapaian peta jalan bebas kanker serviks di Indonesia, dengan segera mengatasi sejumlah kendala yang ada.

Akibat belum teratasinya kanker serviks, ungkap Rerie, Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018 di Indonesia mencatat pada 2018, 1,8% dari 1000 penduduk terpapar kanker serviks. 
Sementara itu Union for International Cancer Control (UICC) pada 2020 mencatat 7.000 orang di dunia meninggal akibat kanker serviks. Dan yang sangat memprihatinkan, tambahnya, kanker serviks ini menyasar perempuan usia produktif.

Padahal kanker serviks ini, jelas anggota Majelis Tinggi Partai NasDem itu, merupakan penyakit yang bisa dicegah dan diobati. Dicegah lewat edukasi yang masif dan diobati bila dilakukan pengobatan sejak dini atau lewat vaksinasi.

Ketua Himpunan Onkologi Ginekologi Indonesia (HOGI) Prof. Andrijono Sp.OG berpendapat, sebenarnya program vaksinasi kanker serviks di Indonesia sudah berjalan di sejumlah kabupaten, namun kecepatan realisasi program tersebut terbilang lambat.

"Kami butuh dukungan Komis IX DPR RI dan semua pihak untuk mempercepat realisasi vaksinasi kanker serviks di Indonesia dengan menjadikan penanggulangan kanker serviks menjadi program nasional. Karena di sejumlah negara sudah terbukti terjadi penurunan jumlah penderita kanker serviks lewat vaksinasi," ujar Andrijono.

Ketua Umum CISC, Aryanthi Baramuli Putri mengungkapkan, pencegahan kanker serviks di Indonesia terkendala budaya, sebagaian besar perempuan malu membicarakan masalah kesehatan reproduksi.

Selain itu, ujar Aryanthi, hak reproduksi perempuan seringkali terabaikan karena keluarga mengedepankan hak kultural sehingga membuka peluang pernikahan usia dini.

Masalah ini, jelas Aryanthi, menjadi salah satu kendala bagi penanganan tuntas kanker serviks di Indonesia.

Direktur Center for Health Economics Studies,
Didik Setiawan mengungkapkan, berdasarkan kajian internasional dari sisi ekonomi kesehatan pemberian vaksin kanker serviks sangat menguntungkan bagi sebuah negara, termasuk Indonesia.

Untuk memberi vaksin kanker serviks kepada 2,3 juta perempuan seusia kelas 5 dan 6 sekolah dasar di Indonesia, menurut Didik, hanya membutuhkan anggaran Rp324 miliar per tahun.

"Memang negara akan mengeluarkan biaya saat tahapan vaksinasi kanker serviks, namun pada tahun-tahun mendatang negara akan mengambil manfaat dari penghematan biaya pengobatan kanker serviks dan hasil dari generasi muda perempuan yang produktif," ujar Didik.

Kepala BKKBN, Hasto Wardoyo menegaskan, dirinya sangat setuju terhadap usulan yang diungkapkan sejumlah narasumber dalam menghadapi masalah kesehatan dan pengobatan untuk kanker serviks di Indonesia.

Yang terpenting saat ini, tegas Hasto, adalah kemauan baik dari pemangku kepentingan untuk melakukan percepatan dalam proses vaksinasi kanker serviks di Indonesia, lewat kolaborasi sejumlah instansi antara lain dari instansi di sektor pendidikan, kesehatan dan instansi yang menangani perempuan dan anak.

Pakar Hukum Tata Negara Universitas Pasundan, Bandung, Atang Irawan berpendapat rendahnya akselerasi penuntasan masalah yang terkait penyakit kanker di Indonesia disebabkan tidak adanya lembaga khusus yang menanganinya.

Faktanya, jelas Atang, saat ini yang menangani masalah penyakit kanker di Tanah Air hanya ditangani komite yang berada di bawah Kasubag di Kementerian.

Atang menyarankan penanganan masalah penyakit kanker di Indonesia ditangani lembaga berbentuk badan yang berada di bawah presiden sehingga badan tersebut dapat membuat program sendiri yang diikuti dengan fungsi anggaran.***

Pewarta : Zaenal
Editor : Achmad Zaenal M
Copyright © ANTARA 2024