Jakarta (ANTARA) - Jaksa Pinangksi Sirna Malasari disebut membayari alias mentraktir biaya tes cepat (rapid test) COVID-19 untuk teman-teman kantornya.
"Untuk rapid test'teman-teman kantornya yang bayar terdakwa, ada 10 orang," kata dokter home care Olivia Sansoso di pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Rabu.
Olivia menjadi saksi untuk terdakwa mantan Kepala Sub-Bagian Pemantauan dan Evaluasi II Biro Perencanaan Jaksa Agung Muda Pembinaan Kejaksaan Agung Pinangki Sirna Malasari.
"1 orang untuk rapid test'harga satuannya Rp700 ribu, waktu itu Ibu minta 25 strip karena saat itu masih awal pandemi jadi harganya mahal dan mintanya yang merek Korea," ucap Olivia.
Rincian pembayaran Pinangki untuk perawatan di dokter Olivia adalah pada 18 April senilai Rp8 juta, pada 27 April senilai Rp9,5 juta, pada 29 April senilai 9,5 juta, pada 11 Mei 2020 senilai Rp19 juta, pada 11 Mei sebesar Rp8,7 juta, pada 17 Mei senilai Rp6,7 juta, pada 29 Mei senilai Rp15 juta, pada 2 Juni senilai Rp11 juta, pada 15 Juni sebesar Rp9,57 juta untuk rapid test, pada 6 Juli untuk rapid test senilai Rp14 juta.
"Untuk 20 April tidak hanya rapid test tapi ada suntik juga untuk satu keluarga dan staf, kemudian untuk 11 Mei sebesar Rp19 juta untuk rapid test bio sensor made from Korea 50 strip untuk satu keluarga di rumah Pakubuwono, Dharmawangsa, maupun Sentul atau orang kejaksaan ibu, staf-stafnya," papar Olivia.
Olivia mengaku hanya ialah satu-satunya dokter umum di bidang usahanya tersebut.
"Yang menjadi dokter umum hanya saya saja, untuk keluhan terdakwa biasanya kelelahan, mual, muntah, diare macam-macam," ujar Olivia menambahkan.
"Dengan belanja yang dilakukan terdakwa di klinik saudara pada usianya yang masih muda kira-kira ada di posisi mana dan gajinya sehingga pengeluaran lebih besar dibanding penerimaan?" tanya anggota majelis hakim Agus Salim.
"Sebenarnya ibu jaksa yang mengenalkan terdakwa ke saya pernah cerita bahwa ibu terdakwa punya warisan banyak dari suaminya," ungkap Olivia.
Dalam surat dakwaan disebutkan Pinangki telah menerima uang sebesar 500 ribu dolar AS (sekitar Rp7,4 miliar) dari terpidana "cessie" Bank Bali Djoko Tjandra.
Dari uang tersebut antara lain digunakan untuk pembayaran dokter "home care" atas nama dr Olivia Santoso yang dilakukan mulai 18 Oktober 2019 - 20 Juli 2020 dengan jenis perawatan yang diberikan adalah infus vitamin; obat anak; suntik dan vaksin flu untuk ibunya Pinangki dan pembantu; pembelian "rapid test" biosensor buatan Korea; infus obat mual, muntah dan lainnya dengan total pembayaran Rp176.880.000.
Dalam perkara ini jaksa Pinangki didakwa dengan tiga dakwaan yaitu pertama dakwaan penerimaan suap sebesar 500 ribu dolar AS (sekitar Rp7,4 miliar) dari terpidana kasus cessie Bank Bali Djoko Soegiarto Tjandra.
Kedua, dakwaan pencucian uang yang berasal dari penerimaan suap sebesar 444.900 dolar atau sekitar Rp6.219.380.900 sebagai uang pemberian Djoko Tjandra untuk pengurusan fatwa ke MA.
Ketiga, Pinangki didakwa melakukan pemufakatan jahat bersama dengan Andi Irfan Jaya dan Djoko Tjandra untuk menyuap pejabat di Kejagung dan MA senilai 10 juta dolar AS.
"Untuk rapid test'teman-teman kantornya yang bayar terdakwa, ada 10 orang," kata dokter home care Olivia Sansoso di pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Rabu.
Olivia menjadi saksi untuk terdakwa mantan Kepala Sub-Bagian Pemantauan dan Evaluasi II Biro Perencanaan Jaksa Agung Muda Pembinaan Kejaksaan Agung Pinangki Sirna Malasari.
"1 orang untuk rapid test'harga satuannya Rp700 ribu, waktu itu Ibu minta 25 strip karena saat itu masih awal pandemi jadi harganya mahal dan mintanya yang merek Korea," ucap Olivia.
Rincian pembayaran Pinangki untuk perawatan di dokter Olivia adalah pada 18 April senilai Rp8 juta, pada 27 April senilai Rp9,5 juta, pada 29 April senilai 9,5 juta, pada 11 Mei 2020 senilai Rp19 juta, pada 11 Mei sebesar Rp8,7 juta, pada 17 Mei senilai Rp6,7 juta, pada 29 Mei senilai Rp15 juta, pada 2 Juni senilai Rp11 juta, pada 15 Juni sebesar Rp9,57 juta untuk rapid test, pada 6 Juli untuk rapid test senilai Rp14 juta.
"Untuk 20 April tidak hanya rapid test tapi ada suntik juga untuk satu keluarga dan staf, kemudian untuk 11 Mei sebesar Rp19 juta untuk rapid test bio sensor made from Korea 50 strip untuk satu keluarga di rumah Pakubuwono, Dharmawangsa, maupun Sentul atau orang kejaksaan ibu, staf-stafnya," papar Olivia.
Olivia mengaku hanya ialah satu-satunya dokter umum di bidang usahanya tersebut.
"Yang menjadi dokter umum hanya saya saja, untuk keluhan terdakwa biasanya kelelahan, mual, muntah, diare macam-macam," ujar Olivia menambahkan.
"Dengan belanja yang dilakukan terdakwa di klinik saudara pada usianya yang masih muda kira-kira ada di posisi mana dan gajinya sehingga pengeluaran lebih besar dibanding penerimaan?" tanya anggota majelis hakim Agus Salim.
"Sebenarnya ibu jaksa yang mengenalkan terdakwa ke saya pernah cerita bahwa ibu terdakwa punya warisan banyak dari suaminya," ungkap Olivia.
Dalam surat dakwaan disebutkan Pinangki telah menerima uang sebesar 500 ribu dolar AS (sekitar Rp7,4 miliar) dari terpidana "cessie" Bank Bali Djoko Tjandra.
Dari uang tersebut antara lain digunakan untuk pembayaran dokter "home care" atas nama dr Olivia Santoso yang dilakukan mulai 18 Oktober 2019 - 20 Juli 2020 dengan jenis perawatan yang diberikan adalah infus vitamin; obat anak; suntik dan vaksin flu untuk ibunya Pinangki dan pembantu; pembelian "rapid test" biosensor buatan Korea; infus obat mual, muntah dan lainnya dengan total pembayaran Rp176.880.000.
Dalam perkara ini jaksa Pinangki didakwa dengan tiga dakwaan yaitu pertama dakwaan penerimaan suap sebesar 500 ribu dolar AS (sekitar Rp7,4 miliar) dari terpidana kasus cessie Bank Bali Djoko Soegiarto Tjandra.
Kedua, dakwaan pencucian uang yang berasal dari penerimaan suap sebesar 444.900 dolar atau sekitar Rp6.219.380.900 sebagai uang pemberian Djoko Tjandra untuk pengurusan fatwa ke MA.
Ketiga, Pinangki didakwa melakukan pemufakatan jahat bersama dengan Andi Irfan Jaya dan Djoko Tjandra untuk menyuap pejabat di Kejagung dan MA senilai 10 juta dolar AS.