Surabaya (ANTARA) - Masyarakat Surabaya mengenal legenda Sarip Tambak Oso, pemuda jagoan yang dengan gagah berani melawan penjajah Belanda. Sarip dikenal punya nyawa rangkap, tiap kali ditembak mati Sarip bangkit hidup kembali.
Dalam epik Ramayana, ada Prabu Rahwana, Si Dasamuka berkepala sepuluh, sakti mandraguna. Tiap kali kepalanya ditebas akan muncul lagi kepala yang baru.
Dasamuka disalahtafsirkan sebagai raja yang zalim. Padahal, ia raja bijaksana gung binantara, sangat mencintai rakyat dan negerinya, dan melahirkan dua pahlawan yang sama-sama hebat, Kumbakarna yang nasionalis dan Wibisana yang idealis.
Dahlan Iskan punya nyawa rangkap seperti Sarip, dan kepala sepuluh seperti Rahwana. Ditebas berkali-kali muncul lagi, bangkit lagi. Ia seperti mengalami second coming, kebangkitan kembali.
Setelah ganti hati pada 2007, ia bukan cuma survive tapi reborn, terlahir kembali, lebih segar, lebih bersemangat, lebih youthful.
Dalam karir jurnalistik Dahlan bahkan lebih sakti dari Sarip atau Rahwana. Dahlan membangun kemaharajaan Jawa Pos yang lebih besar dari Alengka Diraja. Tak terhitung berapa kali ditebas, jatuh bangun, bangkit lagi lebih kuat lebih kokoh.
Ketika ia ditebas dari Jawa Pos pada 2018, ia cepat bangkit lagi. Dan, seperti tidak terjadi apa-apa, Dahlan tetap hidup melalui tulisan-tulisannya di blog pribadinya DI's Way yang dibaca jutaan orang.
Sekarang Dahlan melanjutkan venture-nya yang sempat terputus. Ia menerbitkan edisi cetak DI's Way, against all odds, bertentangan dengan semua kemungkinan peluang.
Tapi justru di situlah Dahlan malah bisa menjadi lebih hidup. Ia mati tanpa tantangan, dan akan lebih hidup karena tantangan, meskipun peluangnya against all odds.
Ia punya seribu akal, ia punya sejuta kiat. Di saat koran berada pada senja kala, Dahlan malah menerbitkan koran. Dia sebut bukan koran, tapi harian. Itulah Dahlan, genius, enigmatik, elusif, tak bisa ditebak, dan membingungkan.
Membedakan koran dan harian versi Dahlan sama membingungkannya dengan membedakan mudik dan pulang kampung versi Jokowi.
Ia mengaku punya utang terhadap jurnalistik (maksudnya, jurnalisme). Karena itu ia ingin menggelindingkan dadu terakhir dan memilih mempertaruhkan semua miliknya, uang dan reputasi, di perjudian yang penuh risiko.
Kira-kira 40 tahun yang silam, ia muda, energetik, dan semangatnya meluap-luap. Ia diberi kepercayaan menjalankan Jawa Pos yang ketika itu oplah-nya sebecak. Ia menjalankan misinya, lalu lahirlah sejarah.
Pada 1986 seorang pelatih sepak bola tak terkenal asal Skotlandia bernama Alex Ferguson diberi kepercayaan melatih Manchester United. Pelatih muda yang ambisius ini mencanangkan tekadnya untuk meruntuhkan dominasi Liverpool yang ketika itu raja di Inggris dan Eropa.
"I'll knock Liverpool right off their fu**ing perch --Saya mau rontokkan Liverpool dari sarangnya--," begitu sumpah Ferguson yang ketika itu jadi bahan tertawaan.
Tapi, against all odds, Fergie berhasil membuktikan sumpahnya. Dalam 26 tahun dia bisa merontokkan Liverpool, musuh bebuyutan-nya. Di bawah kepemimpinannya, Manchester United mengungguli Liverpool dalam perolehan gelar juara Liga Inggris.
Fergie memenangkan 20 gelar dibanding Liverpool ketika itu hanya 19 gelar. Pada 2013 setelah memenangkan gelar juara Liga Inggris ke-20 dan mempermalukan Liverpool, Ferguson langsung pensiun.
Ia pensiun ketika berada di puncak kejayaannya. Ia pensiun dengan mencatat sejarah sebagai pelatih paling sukses di Inggris. Begitu Ferguson pensiun, Manchester United langsung merosot prestasinya.
Dahlan Iskan adalah "Liverpudlian", pecinta Liverpool (dan pasti tidak suka Manchester United). Tentu dia tidak suka dibandingkan dengan Ferguson. Tapi, yang dilakukan Dahlan pada awal 1980-an --ketika kali pertama memegang Jawa Pos-- mirip dengan Ferguson ketika menangani Manchester United.
Waktu itu Dahlan adalah novice, wajah baru, tak dikenal. Tapi, dia bersumpah meruntuhkan Surabaya Post (dan juga Kompas) --dua raja koran kala itu-- out off their fu**ing perch. Tentu Dahlan dianggap bermimpi dan sumpahnya jadi bahan ketawaan.
Tapi, kurang lebih seperti Ferguson --yang perlu 26 tahun untuk meruntuhkan Liverpool-- Dahlan bisa meruntuhkan dominasi Surabaya Post dan Kompas (di Jawa Timur khususnya).
Ferguson pensiun setelah sukses merontokkan Liverpool. Dia tidak mungkin kembali melatih Manchester United, meskipun mendapatkan tantangan baru karena Liverpool bangkit lagi.
Bahkan jika United terdegradasi pun (tidak bakal), Ferguson tidak akan mau melatih lagi. Fergie sadar diri, tiap masa ada orangnya dan tiap orang ada masanya.
Dahlan bukan Fergie. Karena itu Dahlan memutuskan "melatih" lagi, meskipun ia sudah tidak perlu membuktikan apa pun kepada siapa pun. Mungkin ia sadar juga, zaman telah berubah.
Tapi, ia melawan hukum gravitasi.
Bagi sebagian pengikutnya, Dahlan dianggap seperti nabi jurnalistik yang ma'shum, terlindung dari kesalahan. Tapi, Dahlan --seperti rocker-- juga manusia.
Seperti halnya United yang merosot seketika ditinggalkan Fergie, Jawa Pos juga langsung melorot setelah ditinggal Dahlan. Dan Dahlan punya andil besar dalam kemerosotan Jawa Pos. Ia meninggalkannya tanpa sistem yang kokoh sehingga berantakan dalam 2 tahun.
Jawa Pos sekarang ibarat pasien Corona yang tidak kebagian ventilator, tinggal menunggu hari.
Dahlan tentu tidak mau menjadi pelatih Jawa Pos lagi. Alih-alih, ia menerbitkan DI's Way dalam versi koran bukan koran. Terbitnya DI's Way menjadi nail in the coffin, paku di peti mati Jawa Pos.
Sejarah akan melihat apakah nyawa rangkap Dahlan bisa menghidupkan DI's Way sebagaimana dia menghidupkan Jawa Pos. Tidak ada yang bisa menghentikan Dahlan. Di usianya yang 70 tahun dia malah having good time, menikmati hidupnya.
Seperti Freddy Mercury yang menyanyikan "Don't Stop Me Now", Dahlan tak mau berhenti. Dahlan adalah roket ruang angkasa yang sedang melesat menembus Mars, seperti bom atom yang siap membuat ledakan.
Dahlan membalik dunia, terbang dalam ekstasi, Mr. Fahrenheit dengan panas 200 derajat, seperti harimau yang melawan hukum gravitasi. Ia manusia supersonic melesat terbang melebihi kecepatan suara, bertabrakan, lepas kendali.
Seperti Lady Godiva yang rela mempermalukan diri telanjang naik kuda mengelilingi kota.
Don't stop me now, 'cause I'm having a good time. Don't stop me now, I don't wanna stop at all...(*)
*) Dhimam Abror Djuraid, wartawan senior, mantan pemred Jawa Pos
Dalam epik Ramayana, ada Prabu Rahwana, Si Dasamuka berkepala sepuluh, sakti mandraguna. Tiap kali kepalanya ditebas akan muncul lagi kepala yang baru.
Dasamuka disalahtafsirkan sebagai raja yang zalim. Padahal, ia raja bijaksana gung binantara, sangat mencintai rakyat dan negerinya, dan melahirkan dua pahlawan yang sama-sama hebat, Kumbakarna yang nasionalis dan Wibisana yang idealis.
Dahlan Iskan punya nyawa rangkap seperti Sarip, dan kepala sepuluh seperti Rahwana. Ditebas berkali-kali muncul lagi, bangkit lagi. Ia seperti mengalami second coming, kebangkitan kembali.
Setelah ganti hati pada 2007, ia bukan cuma survive tapi reborn, terlahir kembali, lebih segar, lebih bersemangat, lebih youthful.
Dalam karir jurnalistik Dahlan bahkan lebih sakti dari Sarip atau Rahwana. Dahlan membangun kemaharajaan Jawa Pos yang lebih besar dari Alengka Diraja. Tak terhitung berapa kali ditebas, jatuh bangun, bangkit lagi lebih kuat lebih kokoh.
Ketika ia ditebas dari Jawa Pos pada 2018, ia cepat bangkit lagi. Dan, seperti tidak terjadi apa-apa, Dahlan tetap hidup melalui tulisan-tulisannya di blog pribadinya DI's Way yang dibaca jutaan orang.
Sekarang Dahlan melanjutkan venture-nya yang sempat terputus. Ia menerbitkan edisi cetak DI's Way, against all odds, bertentangan dengan semua kemungkinan peluang.
Tapi justru di situlah Dahlan malah bisa menjadi lebih hidup. Ia mati tanpa tantangan, dan akan lebih hidup karena tantangan, meskipun peluangnya against all odds.
Ia punya seribu akal, ia punya sejuta kiat. Di saat koran berada pada senja kala, Dahlan malah menerbitkan koran. Dia sebut bukan koran, tapi harian. Itulah Dahlan, genius, enigmatik, elusif, tak bisa ditebak, dan membingungkan.
Membedakan koran dan harian versi Dahlan sama membingungkannya dengan membedakan mudik dan pulang kampung versi Jokowi.
Ia mengaku punya utang terhadap jurnalistik (maksudnya, jurnalisme). Karena itu ia ingin menggelindingkan dadu terakhir dan memilih mempertaruhkan semua miliknya, uang dan reputasi, di perjudian yang penuh risiko.
Kira-kira 40 tahun yang silam, ia muda, energetik, dan semangatnya meluap-luap. Ia diberi kepercayaan menjalankan Jawa Pos yang ketika itu oplah-nya sebecak. Ia menjalankan misinya, lalu lahirlah sejarah.
Pada 1986 seorang pelatih sepak bola tak terkenal asal Skotlandia bernama Alex Ferguson diberi kepercayaan melatih Manchester United. Pelatih muda yang ambisius ini mencanangkan tekadnya untuk meruntuhkan dominasi Liverpool yang ketika itu raja di Inggris dan Eropa.
"I'll knock Liverpool right off their fu**ing perch --Saya mau rontokkan Liverpool dari sarangnya--," begitu sumpah Ferguson yang ketika itu jadi bahan tertawaan.
Tapi, against all odds, Fergie berhasil membuktikan sumpahnya. Dalam 26 tahun dia bisa merontokkan Liverpool, musuh bebuyutan-nya. Di bawah kepemimpinannya, Manchester United mengungguli Liverpool dalam perolehan gelar juara Liga Inggris.
Fergie memenangkan 20 gelar dibanding Liverpool ketika itu hanya 19 gelar. Pada 2013 setelah memenangkan gelar juara Liga Inggris ke-20 dan mempermalukan Liverpool, Ferguson langsung pensiun.
Ia pensiun ketika berada di puncak kejayaannya. Ia pensiun dengan mencatat sejarah sebagai pelatih paling sukses di Inggris. Begitu Ferguson pensiun, Manchester United langsung merosot prestasinya.
Dahlan Iskan adalah "Liverpudlian", pecinta Liverpool (dan pasti tidak suka Manchester United). Tentu dia tidak suka dibandingkan dengan Ferguson. Tapi, yang dilakukan Dahlan pada awal 1980-an --ketika kali pertama memegang Jawa Pos-- mirip dengan Ferguson ketika menangani Manchester United.
Waktu itu Dahlan adalah novice, wajah baru, tak dikenal. Tapi, dia bersumpah meruntuhkan Surabaya Post (dan juga Kompas) --dua raja koran kala itu-- out off their fu**ing perch. Tentu Dahlan dianggap bermimpi dan sumpahnya jadi bahan ketawaan.
Tapi, kurang lebih seperti Ferguson --yang perlu 26 tahun untuk meruntuhkan Liverpool-- Dahlan bisa meruntuhkan dominasi Surabaya Post dan Kompas (di Jawa Timur khususnya).
Ferguson pensiun setelah sukses merontokkan Liverpool. Dia tidak mungkin kembali melatih Manchester United, meskipun mendapatkan tantangan baru karena Liverpool bangkit lagi.
Bahkan jika United terdegradasi pun (tidak bakal), Ferguson tidak akan mau melatih lagi. Fergie sadar diri, tiap masa ada orangnya dan tiap orang ada masanya.
Dahlan bukan Fergie. Karena itu Dahlan memutuskan "melatih" lagi, meskipun ia sudah tidak perlu membuktikan apa pun kepada siapa pun. Mungkin ia sadar juga, zaman telah berubah.
Tapi, ia melawan hukum gravitasi.
Bagi sebagian pengikutnya, Dahlan dianggap seperti nabi jurnalistik yang ma'shum, terlindung dari kesalahan. Tapi, Dahlan --seperti rocker-- juga manusia.
Seperti halnya United yang merosot seketika ditinggalkan Fergie, Jawa Pos juga langsung melorot setelah ditinggal Dahlan. Dan Dahlan punya andil besar dalam kemerosotan Jawa Pos. Ia meninggalkannya tanpa sistem yang kokoh sehingga berantakan dalam 2 tahun.
Jawa Pos sekarang ibarat pasien Corona yang tidak kebagian ventilator, tinggal menunggu hari.
Dahlan tentu tidak mau menjadi pelatih Jawa Pos lagi. Alih-alih, ia menerbitkan DI's Way dalam versi koran bukan koran. Terbitnya DI's Way menjadi nail in the coffin, paku di peti mati Jawa Pos.
Sejarah akan melihat apakah nyawa rangkap Dahlan bisa menghidupkan DI's Way sebagaimana dia menghidupkan Jawa Pos. Tidak ada yang bisa menghentikan Dahlan. Di usianya yang 70 tahun dia malah having good time, menikmati hidupnya.
Seperti Freddy Mercury yang menyanyikan "Don't Stop Me Now", Dahlan tak mau berhenti. Dahlan adalah roket ruang angkasa yang sedang melesat menembus Mars, seperti bom atom yang siap membuat ledakan.
Dahlan membalik dunia, terbang dalam ekstasi, Mr. Fahrenheit dengan panas 200 derajat, seperti harimau yang melawan hukum gravitasi. Ia manusia supersonic melesat terbang melebihi kecepatan suara, bertabrakan, lepas kendali.
Seperti Lady Godiva yang rela mempermalukan diri telanjang naik kuda mengelilingi kota.
Don't stop me now, 'cause I'm having a good time. Don't stop me now, I don't wanna stop at all...(*)
*) Dhimam Abror Djuraid, wartawan senior, mantan pemred Jawa Pos