Jakarta (ANTARA) - Kementerian Riset dan Teknologi (Kemristek) mengapresiasi Universitas Gadjah Mada dan tim yang mengembangkan GeNose, alat skrining dan diagnostik COVID-19 berbasis embusan napas.

"Kami menyampaikan apresiasi atas upaya yang dilakukan oleh tim UGM untuk melahirkan geNose ini," kata Menteri Riset dan Teknologi (Menristek) Bambang PS Brodjonegoro dalam acara virtual Serah Terima Alat GeNose (Teknologi Pengendus Covid-19) dari UGM dan Konsorsium kepada Kemristek, Jakarta, Kamis.

GeNose sebagai teknologi pengendus COVID-19 dapat mendeteksi COVID-19 dengan cepat karena dapat memberikan hasil analisis dalam waktu 2 menit saja.

Menristek Bambang menuturkan GeNose merupakan alat non-invasif dan menggunakan kecerdasan buatan (artificial intelligence) dalam menganalisis keberadaan COVID-19.

Kemristek mendorong pengembangan alat skrining dan diagnostik COVID-19 yang terus dilakukan Konsorsium Riset dan Inovasi COVID-19 dan para peneliti dan perekayasa Indonesia untuk menjadi solusi bagi upaya skrining yang cepat, murah dan akurat, salah satunya dengan keberadaan GeNose.

"Kita harapkan GeNose ini bisa menjadi kebanggaan Indonesia di dalam penanganan COVID-19 meskipun juga kita juga harus selalu siap menghadapi persaingan yang ada di luar," ujarnya.

Kuwat mengatakan ada tiga bagian utama terkait mekanisme kerja GeNose, yakni larik sensor yang akan merespons terhadap senyawa dalam embusan napas, perangkat elektronik yang didesain khusus untuk membawa senyawa dari embusan nafas ke sensor, dan software untuk menganalisis dalam mengungkap keberadaan COVID-19.

Dalam mekanisme kerja GeNose, Ketua Peneliti GeNose dari UGM Kuwat Triyana menuturkan ketika bakteri atau virus menginfeksi bagian tubuh manusia maka akan menghasilkan senyawa volatile yang spesifik.

Senyawa volatile dari embusan napas dideteksi oleh larik sensor gas. Kemudian, akan terjadi respons yang membentuk pola khas.

Pola khas itu akan dianalisis berbasis kecerdasan buatan dengan machine learning atau deep learning. Dari hasil analisis itu, akan diketahui seseorang terkena COVID-91 atau tidak.

Untuk mendapatkan embusan napas itu, setiap orang menempelkan mulut ke katup dan meniup alat penampung nafas. Setelah itu, hasil embusan napasnya ditampung dan langsung dikoneksikan ke perangkat GeNose untuk dianalisis.

Ada beberapa sensor yang digunakan di perangkat GeNose masih diimpor.

Kuwat menuturkan saat ini kemampuan produksi dengan mitra yang bekerja sama dengan UGM untuk memproduksi alat GeNose diperkirakan 50 ribu unit hingga 100.000 unit per bulan.

Alat itu dinilai lebih terjangkau dibanding mesin PCR. "Sistem bisa menganalisis ribuan sampel sekaligus," kata Kuwat.

Direktur Pengembangan Usaha dan Inkubasi UGM Hargo Utomo mengatakan dalam pengujian awal, dari 615 sampel napas dari 83 pasien, didapati 43 positif dan 40 negatif COVID-19.

"Mesin ini bisa membedakan betul antara pasien positif dan negatif (COVID-19) walaupun pasien itu asimtomatik," tuturnya.

Untuk pengujian fungsi dan kalibrasi, UGM akan berkoordinasi dengan Balai Pengamanan Fasilitas Kesehatan (BPFK) Surabaya.

Wakil Rektor UGM Bidang Kerja Sama dan Alumni Paripurna mengatakan satu unit perangkat GeNose diprediksikan bisa untuk melakukan 100.000 pemeriksaan, di mana harga satu unit GeNose adalah sekitar Rp40 juta.

Pada saat ini, alat penampung napas masih dibeli, namun ke depan ada industri yang dapat bekerja sama dan bisa membuat dengan harga Rp500 per satuan alat penampung napas berbahan plastik.

Pihaknya juga mendorong ke depan untuk inovasi alat penampung napas berbahan lain selain plastik agar tidak menambah beban pencemaran lingkungan.

Baca juga: Dokter RSA UGM: Malaise merupakan salah satu gejala COVID-19
 

Pewarta : Martha Herlinawati S
Editor : Achmad Zaenal M
Copyright © ANTARA 2024