Magelang (ANTARA) - Pembangunan sebagai instrumen untuk mewujudkan peningkatan dan pemerataan kesejahteraan masyarakat perlu dirumuskan dengan substansi yang cermat dan tepat sasaran.
Strategi dan program pembangunan perlu digodok sedemikian rupa, sehingga mampu menelurkan kegiatan-kegiatan yang berfaedah bagi masyarakat luas, bukan sekadar berupa kegiatan semu yang berorientasi ke optimalisasi penyerapan anggaran.
Evidence-Based Policy (EBP) membutuhkan data yang baik, keterampilan analitis, dan dukungan politik (Head, 2010).
Pernyataan hasil studi tersebut mengindikasikan bahwa data menjadi unsur yang berperan penting bagi lahirnya suatu kebijakan yang berkualitas.
EBP akan mampu membentuk "problem-framing" dengan mengedepankan aspirasi, tak hanya berfokus pada pencapaian hasil.
Perumusan kebijakan dengan fondasi data yang valid akan mewujudkan pembangunan yang terarah, efektif, dan efisien.
Data juga dapat menjadi superhero yang diandalkan untuk memantau suksesnya implementasi alternatif kebijakan dengan penyediaan parameter yang terukur.
Dengan data, setiap lompatan keberhasilan pembangunan akan mampu terbaca dengan nyata dan signifikan, bukan hanya berdasarkan opini dan giringan faktor politis.
Konsep Indonesia Maju telah masif digaungkan dalam beberapa tahun terakhir. Mewujudkan Indonesia maju tentunya butuh modal yang besar. Tak hanya dari sisi biaya, namun juga dari pemantapan fondasi yang mencakup aspek infrastruktur, instisusi, birokrasi, dan sumber daya manusianya.
Apakah dalam hal ini data juga berperan? Tentu. Data menjadi bagian tak terpisahkan dari perwujudan Indonesia maju. Data mendasari seluruh keputusan strategis yang diambil untuk penetapan target dan sasaran dalam perwujudan Indonesia maju.
Urgensi data dalam setiap penentuan skema kebijakan di berbagai level menjadikan data sebagai aset baru yang bermakna.
Keberadaan data tak hanya penting dari sisi kuantitas, namun juga dari sisi kualitas.
Frekuensi data dalam jumlah besar akan menjadi tidak berarti jika data tersebut tidak berkualitas. Eksistensi data yang tidak berkualitas dalam suatu rantai pengambilan keputusan, hanya akan melahirkan alternatif kebijakan yang buruk.
Penggunaan data sebagai referensi perencanaan kebijakan harus melalui tahapan asesmen terlebih dahulu, sehingga unsur validitas data terpenuhi.
Unsur kualitas data secara umum meliputi tingkat presisi, akurasi, keterwakilan, komparabilitas, kelengkapan, dan kepekaan terhadap tujuan penggunaan data.
Pemangku kebijakan tidak bisa serta merta menggunakan data tanpa memastikan bahwa data tersebut memenuhi semua unsur kualitas dengan baik.
Pada berbagai kondisi, keberadaan seorang analis data menjadi suatu kebutuhan yang krusial untuk menyelesaikan tahapan ini.
Mulai terlihat
Kesadaran akan arti penting suatu data sudah mulai terlihat dalam pengelolaan pemerintahan, baik di tingkat pusat maupun daerah.
Disahkannya Peraturan Presiden Nomor 39 Tahun 2019 tentang Satu Data Indonesia yang menjadi dasar tata laksana satu data merupakan wujud komitmen pemerintah dalam menyadari peran penting data dalam pembangunan.
Secara perlahan kelembagaan pengelolaan data mulai dibenahi.
Pemerintah daerah juga satu per satu mulai menyesuaikan hal itu dengan membentuk kebijakan pada skala wilayah terkait.
Pemetaan kebutuhan data daerah dan kompilasi data mulai dilakukan secara berkala dari unit pemerintahan terkecil.
Pengayaan data dilakukan dengan menggandeng mitra dan produsen data dalam skala luas sehingga kebutuhan data daerah tercukupi dengan optimal.
Untuk menjaga kualitas data, pemerintah daerah secara mandiri mulai membangun portal data terbuka dengan interoperabilitas yang terstruktur sehingga mampu terintegrasi dengan sistem informasi berbasis data yang lain, termasuk dengan portal Satu Data Indonesia yang dikelola oleh Kantor Staf Presiden.
Semangat yang dimiliki daerah-daerah ini tentunya perlu mendapat apresiasi. Namun demikian permasalahan masih ditemukan di beberapa daerah, khususnya terkait dengan kualitas data.
Hadirnya sejumlah portal data terbuka di kabupaten/kota cenderung masih berfokus pada target kuantitas data yang terpublikasi.
Tak jarang ditemui diseminasi data dalam jumlah yang besar namun secara substansi belum bisa dikatakan valid.
Masih banyak ditemukan inkonsistensi data antarpublikasi, kesalahan pencantuman sumber data, belum tersedianya metadata dan keberadaan series data dengan fluktuasi yang tidak wajar.
Di daerah, peran pembina data (Badan Pusat Statistik) dan wali data (Dinas Kominfo) dalam kaitan dengan hal tersebut menjadi penting.
Selain sebagai muara publikasi data sektoral, wali data juga harus memastikan kembali validitas data sebelum dipublikasi.
Wali data tidak begitu saja dapat mempercayakan validitas data hanya dari kompilasi data yang diserahkan oleh beberapa produsen data.
Potensi adanya "human error" atau rendahnya kapasitas pengelola data juga harus diperhatikan.
Wali data dapat secara rutin bekerja sama dengan pembina data untuk melaksanakan pembinaan dalam forum data melalui berbagai varian kegiatan "capacity building" dan sesi "sharing knowledge" yang lain.
Wali data juga dapat berkonsultasi dengan pembina data pada tahapan verifikasi dan validasi data yang akan dipublikasi, sehingga dipastikan masyarakat dan "stakeholder" hanya dapat mengakses data yang valid.
Harmonisnya kemitraan dan koordinasi antara wali data dan pembina data akan menjadi faktor kunci suksesnya perwujudan EBP dalam jangka panjang.
Saatnya sekarang bersinergi untuk mewujudkan kebijakan berbasis data dalam pembangunan negeri!
*) Nur Afiyah Maizunati, Statistisi Muda Dinas Kominfo dan Statistik Kota Magelang
Strategi dan program pembangunan perlu digodok sedemikian rupa, sehingga mampu menelurkan kegiatan-kegiatan yang berfaedah bagi masyarakat luas, bukan sekadar berupa kegiatan semu yang berorientasi ke optimalisasi penyerapan anggaran.
Evidence-Based Policy (EBP) membutuhkan data yang baik, keterampilan analitis, dan dukungan politik (Head, 2010).
Pernyataan hasil studi tersebut mengindikasikan bahwa data menjadi unsur yang berperan penting bagi lahirnya suatu kebijakan yang berkualitas.
EBP akan mampu membentuk "problem-framing" dengan mengedepankan aspirasi, tak hanya berfokus pada pencapaian hasil.
Perumusan kebijakan dengan fondasi data yang valid akan mewujudkan pembangunan yang terarah, efektif, dan efisien.
Data juga dapat menjadi superhero yang diandalkan untuk memantau suksesnya implementasi alternatif kebijakan dengan penyediaan parameter yang terukur.
Dengan data, setiap lompatan keberhasilan pembangunan akan mampu terbaca dengan nyata dan signifikan, bukan hanya berdasarkan opini dan giringan faktor politis.
Konsep Indonesia Maju telah masif digaungkan dalam beberapa tahun terakhir. Mewujudkan Indonesia maju tentunya butuh modal yang besar. Tak hanya dari sisi biaya, namun juga dari pemantapan fondasi yang mencakup aspek infrastruktur, instisusi, birokrasi, dan sumber daya manusianya.
Apakah dalam hal ini data juga berperan? Tentu. Data menjadi bagian tak terpisahkan dari perwujudan Indonesia maju. Data mendasari seluruh keputusan strategis yang diambil untuk penetapan target dan sasaran dalam perwujudan Indonesia maju.
Urgensi data dalam setiap penentuan skema kebijakan di berbagai level menjadikan data sebagai aset baru yang bermakna.
Keberadaan data tak hanya penting dari sisi kuantitas, namun juga dari sisi kualitas.
Frekuensi data dalam jumlah besar akan menjadi tidak berarti jika data tersebut tidak berkualitas. Eksistensi data yang tidak berkualitas dalam suatu rantai pengambilan keputusan, hanya akan melahirkan alternatif kebijakan yang buruk.
Penggunaan data sebagai referensi perencanaan kebijakan harus melalui tahapan asesmen terlebih dahulu, sehingga unsur validitas data terpenuhi.
Unsur kualitas data secara umum meliputi tingkat presisi, akurasi, keterwakilan, komparabilitas, kelengkapan, dan kepekaan terhadap tujuan penggunaan data.
Pemangku kebijakan tidak bisa serta merta menggunakan data tanpa memastikan bahwa data tersebut memenuhi semua unsur kualitas dengan baik.
Pada berbagai kondisi, keberadaan seorang analis data menjadi suatu kebutuhan yang krusial untuk menyelesaikan tahapan ini.
Mulai terlihat
Kesadaran akan arti penting suatu data sudah mulai terlihat dalam pengelolaan pemerintahan, baik di tingkat pusat maupun daerah.
Disahkannya Peraturan Presiden Nomor 39 Tahun 2019 tentang Satu Data Indonesia yang menjadi dasar tata laksana satu data merupakan wujud komitmen pemerintah dalam menyadari peran penting data dalam pembangunan.
Secara perlahan kelembagaan pengelolaan data mulai dibenahi.
Pemerintah daerah juga satu per satu mulai menyesuaikan hal itu dengan membentuk kebijakan pada skala wilayah terkait.
Pemetaan kebutuhan data daerah dan kompilasi data mulai dilakukan secara berkala dari unit pemerintahan terkecil.
Pengayaan data dilakukan dengan menggandeng mitra dan produsen data dalam skala luas sehingga kebutuhan data daerah tercukupi dengan optimal.
Untuk menjaga kualitas data, pemerintah daerah secara mandiri mulai membangun portal data terbuka dengan interoperabilitas yang terstruktur sehingga mampu terintegrasi dengan sistem informasi berbasis data yang lain, termasuk dengan portal Satu Data Indonesia yang dikelola oleh Kantor Staf Presiden.
Semangat yang dimiliki daerah-daerah ini tentunya perlu mendapat apresiasi. Namun demikian permasalahan masih ditemukan di beberapa daerah, khususnya terkait dengan kualitas data.
Hadirnya sejumlah portal data terbuka di kabupaten/kota cenderung masih berfokus pada target kuantitas data yang terpublikasi.
Tak jarang ditemui diseminasi data dalam jumlah yang besar namun secara substansi belum bisa dikatakan valid.
Masih banyak ditemukan inkonsistensi data antarpublikasi, kesalahan pencantuman sumber data, belum tersedianya metadata dan keberadaan series data dengan fluktuasi yang tidak wajar.
Di daerah, peran pembina data (Badan Pusat Statistik) dan wali data (Dinas Kominfo) dalam kaitan dengan hal tersebut menjadi penting.
Selain sebagai muara publikasi data sektoral, wali data juga harus memastikan kembali validitas data sebelum dipublikasi.
Wali data tidak begitu saja dapat mempercayakan validitas data hanya dari kompilasi data yang diserahkan oleh beberapa produsen data.
Potensi adanya "human error" atau rendahnya kapasitas pengelola data juga harus diperhatikan.
Wali data dapat secara rutin bekerja sama dengan pembina data untuk melaksanakan pembinaan dalam forum data melalui berbagai varian kegiatan "capacity building" dan sesi "sharing knowledge" yang lain.
Wali data juga dapat berkonsultasi dengan pembina data pada tahapan verifikasi dan validasi data yang akan dipublikasi, sehingga dipastikan masyarakat dan "stakeholder" hanya dapat mengakses data yang valid.
Harmonisnya kemitraan dan koordinasi antara wali data dan pembina data akan menjadi faktor kunci suksesnya perwujudan EBP dalam jangka panjang.
Saatnya sekarang bersinergi untuk mewujudkan kebijakan berbasis data dalam pembangunan negeri!
*) Nur Afiyah Maizunati, Statistisi Muda Dinas Kominfo dan Statistik Kota Magelang