Solo (ANTARA) - Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS) mengajak seluruh mahasiswa untuk mengawal Pilkada 2020 agar berlangsung damai dan berjalan secara berkualitas.
"Mahasiswa harus berpartisipasi dan berkontribusi mengawal jalannya proses politik Pilkada 2020 berkualitas. Dalam hal ini, fungsi social control mahasiswa mesti digalakkan untuk mengantisipasi praktik buruk dalam Pilkada 2020," kata Presiden BEM UMS Fakultas Hukum Aditya Ramadhan pada diskusi virtual bertema "Strategi-Partisipasi Mahasiswa Mengawal Pilkada 2020 Berkualitas dan Damai" di Solo, Senin.
Menurut dia, hingga saat ini masyarakat masih menghadapi tantangan dalam dunia politik, di antaranya politik uang, menguatnya politik identitas, persebaran informasi bohong dan fitnah atau hoaks, ujaran kebencian, dan kampanye hitam.
Ia mengutarakan bahwa setidaknya hingga saat ini menguatnya sentimen yang dibungkus dalam praktik politik identitas serta masifnya informasi bohong dan adu domba mestinya menjadi perhatian serius semua kalangan, termasuk mahasiswa.
"Politik identitas dan hoaks justru akan menumpulkan rasionalitas pemilih yang akhirnya hanya akan membuat sistem demokrasi kita lumpuh," katanya.
Oleh karena itu, kata dia, mahasiswa harus berkontribusi dalam melakukan edukasi publik tentang bahaya informasi bohong untuk merawat muruah demokrasi.
"Selain itu, juga bertujuan menghindari bahaya sentimen politik identitas yang tidak jarang membuat retak keakraban dalam masyarakat. Kami beharap diskusi ini bisa memantik kepekaan mahasiswa dan aktivis kampus terhadap isu-isu pilkada," katanya.
Baca juga: Pengamat pendidikan UMS minta pemerintah terapkan metode belajar kombinasi
Baca juga: 45 proposal UMS lolos pendanaan PKM dari Kemdikbud
Pada kesempatan yang sama, Direktur Riset SETARA Institute Halili mengatakan bahwa peran mahasiswa sangat penting dalam memberikan kontribusi untuk meningkatkan kualitas demokrasi, khususnya menjelang Pilkada 2020.
"Mahasiswa harus berfungsi sebagai kontrol terhadap kekuasaan agar tidak menyimpang. Peran mahasiswa menjadi kian mendesak mengingat lemahnya kontrol pengawasan di tingkat elite," katanya.
Menurut dia, selain untuk mengontrol kekuasaan, mahasiswa juga harus solid mengingat dalam kontestasi pemilu yang paling berbahaya adalah politisasi agama karena bersifat destruktif sehingga mampu merusak kebinekaan yang telah menjadi fondasi tegaknya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
"Dalam hal ini, agama dan identitas yang melekat pada individu menjadi faktor penting untuk mendorong dan memotivasi seseorang. Jika hal ini digunakan saat kontestasi politik, akan memengaruhi preferensi pemilih," katanya.
Oleh karena itu, dia meminta agar pada mahasiswa untuk tidak segan mengingatkan masyarakat sekitar akan bahaya politisasi agama, ujaran kebencian, dan hoaks khususnya menjelang Pilkada 2020.
Baca juga: Taufiq Kasturi segera dikukuhkan sebagai guru besar ke-30 UMS
"Mahasiswa harus berpartisipasi dan berkontribusi mengawal jalannya proses politik Pilkada 2020 berkualitas. Dalam hal ini, fungsi social control mahasiswa mesti digalakkan untuk mengantisipasi praktik buruk dalam Pilkada 2020," kata Presiden BEM UMS Fakultas Hukum Aditya Ramadhan pada diskusi virtual bertema "Strategi-Partisipasi Mahasiswa Mengawal Pilkada 2020 Berkualitas dan Damai" di Solo, Senin.
Menurut dia, hingga saat ini masyarakat masih menghadapi tantangan dalam dunia politik, di antaranya politik uang, menguatnya politik identitas, persebaran informasi bohong dan fitnah atau hoaks, ujaran kebencian, dan kampanye hitam.
Ia mengutarakan bahwa setidaknya hingga saat ini menguatnya sentimen yang dibungkus dalam praktik politik identitas serta masifnya informasi bohong dan adu domba mestinya menjadi perhatian serius semua kalangan, termasuk mahasiswa.
"Politik identitas dan hoaks justru akan menumpulkan rasionalitas pemilih yang akhirnya hanya akan membuat sistem demokrasi kita lumpuh," katanya.
Oleh karena itu, kata dia, mahasiswa harus berkontribusi dalam melakukan edukasi publik tentang bahaya informasi bohong untuk merawat muruah demokrasi.
"Selain itu, juga bertujuan menghindari bahaya sentimen politik identitas yang tidak jarang membuat retak keakraban dalam masyarakat. Kami beharap diskusi ini bisa memantik kepekaan mahasiswa dan aktivis kampus terhadap isu-isu pilkada," katanya.
Baca juga: Pengamat pendidikan UMS minta pemerintah terapkan metode belajar kombinasi
Baca juga: 45 proposal UMS lolos pendanaan PKM dari Kemdikbud
Pada kesempatan yang sama, Direktur Riset SETARA Institute Halili mengatakan bahwa peran mahasiswa sangat penting dalam memberikan kontribusi untuk meningkatkan kualitas demokrasi, khususnya menjelang Pilkada 2020.
"Mahasiswa harus berfungsi sebagai kontrol terhadap kekuasaan agar tidak menyimpang. Peran mahasiswa menjadi kian mendesak mengingat lemahnya kontrol pengawasan di tingkat elite," katanya.
Menurut dia, selain untuk mengontrol kekuasaan, mahasiswa juga harus solid mengingat dalam kontestasi pemilu yang paling berbahaya adalah politisasi agama karena bersifat destruktif sehingga mampu merusak kebinekaan yang telah menjadi fondasi tegaknya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
"Dalam hal ini, agama dan identitas yang melekat pada individu menjadi faktor penting untuk mendorong dan memotivasi seseorang. Jika hal ini digunakan saat kontestasi politik, akan memengaruhi preferensi pemilih," katanya.
Oleh karena itu, dia meminta agar pada mahasiswa untuk tidak segan mengingatkan masyarakat sekitar akan bahaya politisasi agama, ujaran kebencian, dan hoaks khususnya menjelang Pilkada 2020.
Baca juga: Taufiq Kasturi segera dikukuhkan sebagai guru besar ke-30 UMS