Solo (ANTARA) - Pengamat pendidikan dari Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS) Harun Joko Prayitno meminta pemerintah menerapkan metode pembelajaran kombinasi atau perpaduan antara tatap langsung dengan daring selama masa pandemi COVID-19.
"Harus ada kombinasi antara tatap muka dengan daring. Ini upaya mengurangi stresnya pembelajaran secara online," katanya di Solo, Jumat.
Ia mengatakan pembelajaran skala kecil berbasis protokol kesehatan tetap harus diadakan.
Baca juga: Pengamat: Belajar tatap muka harus penuhi protokol kesehatan
"Jadi jangan ditiadakan sama sekali. Meski demikian, model penyelenggaraan kegiatan belajar mengajar di kelas perlu digeser ke tempat yang lebih terbuka. Kalau dikristalisasi COVID-19 itu kan hanya berlangsung di interaksi jangka pendek, rumah yang ketat, tidak ada ruang terbuka," katanya.
Ia juga berharap agar citra sekolah sebagai tempat untuk menuntut ilmu tidak dijadikan seolah menakutkan di mana menjadi sumber penyakit atau dianggap sumber penularan COVID-19.
"Kalau begitu maka anak akan mengalami trauma panjang. Kalau kementerian mengadakan pendidikan tatap muka sampai Desember berarti kan 10 bulan. Ini namanya kepunahan pendidikan, ke depan sekolah 'nggak' ada, hanya ada pendidikan. Ini yang perlu diluruskan," katanya.
Ia menilai pendidikan secara daring selama ini tidak hanya berdampak pada stresnya siswa, tetapi juga orang tua dan guru.
"Ketiganya ini merupakan komponen. Orang tua yang biasanya melepas anaknya sekolah sekarang justru dibebani, bukan hanya jadi pendamping belajar, tetapi juga harus mendudukkan diri sebagai guru dan murid," katanya.
Oleh karena itu, menurut dia, kondisi tersebut harus dicairkan dengan pentingnya penanaman pendidikan dan kesehatan pada siswa.
"Perlu ditekankan kebersihan dan kesehatan untuk menuju sekolah, yang paling bagus ya blended learning," katanya.
Baca juga: Akademisi minta belajar tatap muka dipersiapkan matang
Baca juga: Tips dokter mata pakai gawai pada masa adaptasi kebiasaan baru
"Harus ada kombinasi antara tatap muka dengan daring. Ini upaya mengurangi stresnya pembelajaran secara online," katanya di Solo, Jumat.
Ia mengatakan pembelajaran skala kecil berbasis protokol kesehatan tetap harus diadakan.
Baca juga: Pengamat: Belajar tatap muka harus penuhi protokol kesehatan
"Jadi jangan ditiadakan sama sekali. Meski demikian, model penyelenggaraan kegiatan belajar mengajar di kelas perlu digeser ke tempat yang lebih terbuka. Kalau dikristalisasi COVID-19 itu kan hanya berlangsung di interaksi jangka pendek, rumah yang ketat, tidak ada ruang terbuka," katanya.
Ia juga berharap agar citra sekolah sebagai tempat untuk menuntut ilmu tidak dijadikan seolah menakutkan di mana menjadi sumber penyakit atau dianggap sumber penularan COVID-19.
"Kalau begitu maka anak akan mengalami trauma panjang. Kalau kementerian mengadakan pendidikan tatap muka sampai Desember berarti kan 10 bulan. Ini namanya kepunahan pendidikan, ke depan sekolah 'nggak' ada, hanya ada pendidikan. Ini yang perlu diluruskan," katanya.
Ia menilai pendidikan secara daring selama ini tidak hanya berdampak pada stresnya siswa, tetapi juga orang tua dan guru.
"Ketiganya ini merupakan komponen. Orang tua yang biasanya melepas anaknya sekolah sekarang justru dibebani, bukan hanya jadi pendamping belajar, tetapi juga harus mendudukkan diri sebagai guru dan murid," katanya.
Oleh karena itu, menurut dia, kondisi tersebut harus dicairkan dengan pentingnya penanaman pendidikan dan kesehatan pada siswa.
"Perlu ditekankan kebersihan dan kesehatan untuk menuju sekolah, yang paling bagus ya blended learning," katanya.
Baca juga: Akademisi minta belajar tatap muka dipersiapkan matang
Baca juga: Tips dokter mata pakai gawai pada masa adaptasi kebiasaan baru