Purwokerto (ANTARA) - Kolaborasi antara guru dan orang tua siswa diperlukan dalam pembelajaran secara daring, khususnya untuk tingkat Sekolah Dasar, kata Dosen Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Universitas Muhammadiyah Purwokerto (UMP) Elly Hasan Sadeli.
"Kondisi saat sekarang memang menjadi serba dilema. Dengan adanya pandemi COVID-19, sistem pembelajaran tatap muka tidak memungkinkan untuk dilaksanakan, sehingga pemerintah mengambil kebijakan untuk menggunakan pembelajaran secara daring untuk seluruh tingkatan," katanya saat dihubungi di Purwokerto, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah, Jumat.
Ia mengatakan sistem pembelajaran daring tersebut membutuhkan peran aktif orang tua siswa untuk membimbing anaknya dalam belajar, khususnya yang masih duduk di bangku kelas 1-3 SD.
Akan tetapi, kata dia, hal itu sulit dilakukan jika kedua orang tua siswa bekerja sehingga tidak bisa membantu atau membimbing anaknya dalam mengikuti pelajaran secara daring.
"Oleh karena itu, sekolah juga perlu membangun program yang kolaboratif atau kemitraan bersama orang tua siswa. Jadi, pembelajaran bisa tersampaikan dengan baik," tegasnya.
Menurut dia, kunjungan guru ke rumah siswa juga dapat dilakukan terutama jika ada kendala sosial ekonomi siswa yang tidak memiliki media untuk mendukung kegiatan belajar secara daring dan letak demografi siswa atau sekolah berada di zona yang tidak terjangkau jaringan internet atau sinyal telepon selulernya lemah.
"Saya melihat masyarakat di wilayah pedesaan dengan kondisi ekonominya, jangankan untuk kebutuhan tersier masalah pulsa, mungkin di beberapa tempat ada orang tua atau anak yang tidak punya HP (telepon pintar, red.), ini kan jadi masalah. Saya kira pemerintah harus memberikan solusi terhadap ini, bukan hanya kebutuhan ekonomi yang terdampak pandemi ini, juga kebutuhan media pembelajaran," katanya.
Selain itu, kata dia, penyederhanaan kompetensi dasar juga diperlukan agar materi yang diberikan lebih padat dan tidak terlalu banyak sehingga tidak menjenuhkan siswa.
Ia mengaku banyak menerima keluhan dari orang tua siswa SD terkait materi pembelajaran saat sekarang jauh lebih rumit dibandingkan dengan materi pelajaran ketika mereka masih bersekolah di SD.
"Misalnya dari materi PPKn (Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan) saja, anak saya kemarin kelas 1 dan kelas 2 itu sudah harus memahami bagaimana konteks nilai-nilai Pancasila. Misalkan mereka harus memahami butir-butir (Pancasila, red.), itu kan belum saatnya. Ini juga bermasalah, sehingga pemerintah harus mengkaji ulang kurikulum yang ada di Sekolah Dasar," kata dia yang juga Ketua Program Studi PPKn FKIP UMP.
Dalam hal ini, kata dia, tingkatan berpikir anak juga harus diperhatikan karena dengan kondisi materi pembelajaran yang rumit juga akan memusingkan orang tua.
Menurut dia, kebijakan dalam pembelajaran juga sering terjadi kontradiksi seperti adanya aturan bahwa untuk tingkatan Pendidikan Anak Usia Dini maupun Taman Kanak-Kanak tidak boleh diajarkan cara membaca, menulis, dan berhitung (calistung).
Akan tetapi dalam pratiknya, lanjut dia, bisa membaca sering kali dijadikan salah satu syarat untuk mendaftar sebagai siswa kelas 1 SD.
"Kondisi saat sekarang memang menjadi serba dilema. Dengan adanya pandemi COVID-19, sistem pembelajaran tatap muka tidak memungkinkan untuk dilaksanakan, sehingga pemerintah mengambil kebijakan untuk menggunakan pembelajaran secara daring untuk seluruh tingkatan," katanya saat dihubungi di Purwokerto, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah, Jumat.
Ia mengatakan sistem pembelajaran daring tersebut membutuhkan peran aktif orang tua siswa untuk membimbing anaknya dalam belajar, khususnya yang masih duduk di bangku kelas 1-3 SD.
Akan tetapi, kata dia, hal itu sulit dilakukan jika kedua orang tua siswa bekerja sehingga tidak bisa membantu atau membimbing anaknya dalam mengikuti pelajaran secara daring.
"Oleh karena itu, sekolah juga perlu membangun program yang kolaboratif atau kemitraan bersama orang tua siswa. Jadi, pembelajaran bisa tersampaikan dengan baik," tegasnya.
Menurut dia, kunjungan guru ke rumah siswa juga dapat dilakukan terutama jika ada kendala sosial ekonomi siswa yang tidak memiliki media untuk mendukung kegiatan belajar secara daring dan letak demografi siswa atau sekolah berada di zona yang tidak terjangkau jaringan internet atau sinyal telepon selulernya lemah.
"Saya melihat masyarakat di wilayah pedesaan dengan kondisi ekonominya, jangankan untuk kebutuhan tersier masalah pulsa, mungkin di beberapa tempat ada orang tua atau anak yang tidak punya HP (telepon pintar, red.), ini kan jadi masalah. Saya kira pemerintah harus memberikan solusi terhadap ini, bukan hanya kebutuhan ekonomi yang terdampak pandemi ini, juga kebutuhan media pembelajaran," katanya.
Selain itu, kata dia, penyederhanaan kompetensi dasar juga diperlukan agar materi yang diberikan lebih padat dan tidak terlalu banyak sehingga tidak menjenuhkan siswa.
Ia mengaku banyak menerima keluhan dari orang tua siswa SD terkait materi pembelajaran saat sekarang jauh lebih rumit dibandingkan dengan materi pelajaran ketika mereka masih bersekolah di SD.
"Misalnya dari materi PPKn (Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan) saja, anak saya kemarin kelas 1 dan kelas 2 itu sudah harus memahami bagaimana konteks nilai-nilai Pancasila. Misalkan mereka harus memahami butir-butir (Pancasila, red.), itu kan belum saatnya. Ini juga bermasalah, sehingga pemerintah harus mengkaji ulang kurikulum yang ada di Sekolah Dasar," kata dia yang juga Ketua Program Studi PPKn FKIP UMP.
Dalam hal ini, kata dia, tingkatan berpikir anak juga harus diperhatikan karena dengan kondisi materi pembelajaran yang rumit juga akan memusingkan orang tua.
Menurut dia, kebijakan dalam pembelajaran juga sering terjadi kontradiksi seperti adanya aturan bahwa untuk tingkatan Pendidikan Anak Usia Dini maupun Taman Kanak-Kanak tidak boleh diajarkan cara membaca, menulis, dan berhitung (calistung).
Akan tetapi dalam pratiknya, lanjut dia, bisa membaca sering kali dijadikan salah satu syarat untuk mendaftar sebagai siswa kelas 1 SD.