Semarang (ANTARA) - Jaminan perlindungan pekerja rumah tangga (PRT) sudah tidak bisa ditunda lagi. Karena konstitusi memerintahkan kepada negara untuk memberikan perlindungan terhadap seluruh rakyat, termasuk PRT.
"Pasal 28 UUD 1945 yang mengharuskan seluruh elemen bangsa, termasuk lembaga negara dan masyarakat, untuk tidak mengingkari hak-hak rakyat, termasuk PRT," kata Wakil Ketua MPR RI Lestari Moerdijat ketika memberi sambutan dalam diskusi daring bertema Pentingnya Kehadiran UU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (PRT), yang digelar Forum Diskusi Denpasar12 bekerja sama dengan DPP Partai NasDem Koordinator Bidang Kebijakan Publik dan Issue Strategis, Rabu (22/7).
Dalam diskusi yang dimoderatori Arimbi Heroepoetri, L.LM (Tenaga Ahli Wakil Ketua MPR RI) itu menghadirkan narasumber Willy Aditya (Wakil Ketua Baleg DPR RI), Theresia Iswarini (Komisioner Komnas Perempuan Periode 2020 – 2024) dan Lita Anggraini (Koordinator Jaringan Nasional Advokasi Pekerja Rumah Tangga, JALA PRT).
Selain itu, sebagai penanggap dalam diskusi tersebut adalah Prof. Dr. Dra. Sulistyowati Irianto, MA (Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia) dan DR. Atang Irawan., SH., M.Hum (pakar hukum tata negara, dosen Universitas Pasundan).
Wakil Ketua MPR RI Lestari Moerdijat . Dok. Pribadi
Penegasan Rerie, sapaan akrab Lestari itu, menyikapi tertundanya pengesahan RUU PRT menjadi Undang-Undang dalam Rapat Paripurna DPR pekan lalu.
Menurut Rerie, yang juga Legislator Partai NasDem, politik legislasi seharusnya menyandarkan pada tujuan bernegara sebagaimana dijelaskan dalam alinea keempat Pembukaan UUD 1945, yaitu social defence (perlindungan terhadap rakyat), social welfare (kesejahteraan rakyat) dan justice for all (keadilan untuk seluruh rakyat).
Ironisnya, tambah Rerie, hingga saat ini belum ada udang-undang yang mengatur tentang PRT. Padahal, jumlah PRT di Indonesia saat ini tercatat lebih dari 4 juta orang.
Apalagi, jelas Rerie, kedudukan PRT di negeri ini tidak terpisahkan dari kehidupan sosial di hampir setiap keluarga di Indonesia.
Menurut Komisioner Komnas Perempuan Theresia Iswarini kehadiran UU PRT saat ini sangat mendesak, karena para PRT hingga saat ini rentan terhadap eksploitasi.
"Jadi yang dihadapi PRT saat ini bukan semata masalah ketenagakerjaan, tetapi juga masalah kemanusiaan sehingga negara harus hadir," tegas Theresia.
Pada kesempatan itu Wakil Ketua Baleg DPR RI, Willy Aditya, mengungkapkan RUU PRT terparkir karena ada momok yang menakutkan para pengambil keputusan terhadap berbagai upaya formalisasi sektor PRT.
"RUU PRT itu gagal disahkan menjadi undang-undang dengan alasan administrasi. Ini benar-benar pertarungan politik," katanya.
Padahal menurut Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Sulistyowati Irianto, pemberlakuan UU PRT bisa menjadi multiplier effect bagi pekerja migran Indonesia di luar negeri.
Ketakutan para legislator untuk mengesahkan RUU PRT, menurut Sulistyowati merupakan perilaku yang berlebihan.***
"Pasal 28 UUD 1945 yang mengharuskan seluruh elemen bangsa, termasuk lembaga negara dan masyarakat, untuk tidak mengingkari hak-hak rakyat, termasuk PRT," kata Wakil Ketua MPR RI Lestari Moerdijat ketika memberi sambutan dalam diskusi daring bertema Pentingnya Kehadiran UU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (PRT), yang digelar Forum Diskusi Denpasar12 bekerja sama dengan DPP Partai NasDem Koordinator Bidang Kebijakan Publik dan Issue Strategis, Rabu (22/7).
Dalam diskusi yang dimoderatori Arimbi Heroepoetri, L.LM (Tenaga Ahli Wakil Ketua MPR RI) itu menghadirkan narasumber Willy Aditya (Wakil Ketua Baleg DPR RI), Theresia Iswarini (Komisioner Komnas Perempuan Periode 2020 – 2024) dan Lita Anggraini (Koordinator Jaringan Nasional Advokasi Pekerja Rumah Tangga, JALA PRT).
Selain itu, sebagai penanggap dalam diskusi tersebut adalah Prof. Dr. Dra. Sulistyowati Irianto, MA (Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia) dan DR. Atang Irawan., SH., M.Hum (pakar hukum tata negara, dosen Universitas Pasundan).
Menurut Rerie, yang juga Legislator Partai NasDem, politik legislasi seharusnya menyandarkan pada tujuan bernegara sebagaimana dijelaskan dalam alinea keempat Pembukaan UUD 1945, yaitu social defence (perlindungan terhadap rakyat), social welfare (kesejahteraan rakyat) dan justice for all (keadilan untuk seluruh rakyat).
Ironisnya, tambah Rerie, hingga saat ini belum ada udang-undang yang mengatur tentang PRT. Padahal, jumlah PRT di Indonesia saat ini tercatat lebih dari 4 juta orang.
Apalagi, jelas Rerie, kedudukan PRT di negeri ini tidak terpisahkan dari kehidupan sosial di hampir setiap keluarga di Indonesia.
Menurut Komisioner Komnas Perempuan Theresia Iswarini kehadiran UU PRT saat ini sangat mendesak, karena para PRT hingga saat ini rentan terhadap eksploitasi.
"Jadi yang dihadapi PRT saat ini bukan semata masalah ketenagakerjaan, tetapi juga masalah kemanusiaan sehingga negara harus hadir," tegas Theresia.
Pada kesempatan itu Wakil Ketua Baleg DPR RI, Willy Aditya, mengungkapkan RUU PRT terparkir karena ada momok yang menakutkan para pengambil keputusan terhadap berbagai upaya formalisasi sektor PRT.
"RUU PRT itu gagal disahkan menjadi undang-undang dengan alasan administrasi. Ini benar-benar pertarungan politik," katanya.
Padahal menurut Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Sulistyowati Irianto, pemberlakuan UU PRT bisa menjadi multiplier effect bagi pekerja migran Indonesia di luar negeri.
Ketakutan para legislator untuk mengesahkan RUU PRT, menurut Sulistyowati merupakan perilaku yang berlebihan.***