Semarang (ANTARA) - Ratu Elizabeth II dalam sebuah pidato pada hari Senin (12/4) mengatakan bahwa wabah virus corona yang melanda dunia sekarang ini situasinya hampir sama mencekamnya ketika Perang Dunia II pada tahun 1940-an.
Anak-anak banyak yang diungsikan ke tempat yang aman bersama para wanita (ibunya). Sementara itu, yang lain dipaksa tidak boleh keluar rumah untuk menghindari kejamnya perang dunia yang bisa membawa banyak korban nyawa manusia.
Sedemikian gawatnya pandemi virus corona yang terjadi di seluruh dunia saat ini, bahkan Ratu Elizabeth menyebut pandemi ini sebagai Perang Dunia III yang lebih dahsyat dari pada perang dunia I dan II.
Kalau perang dunia I dan II itu jelas siapa kawan dan siapa lawan. Senjatanya pun dapat dibuat secanggih mungkin untuk membinasakan musuh yang berwujud manusia yang lokasinya jelas bisa diketahui, suku bangsa dan negaranya, bahkan bisa diketahui berapa jumlah tentaranya dan seberapa kuat persenjataannya.
Akan tetapi, perang kali ini musuhnya adalah berupa virus yang tidak bisa dilihat, tetapi sangat mematikan, bahkan lebih mematikan dari senjata apa pun.
Selain musuhnya tidak dapat dilihat dengan mata telanjang, tidak bisa diprediksi, dan tidak bisa diketahui dengan indra manusia, bahkan dengan alat pendeteksi secanggih apa pun. Virus ini dengan cepat bisa menyerang siapa saja, tidak pandang bulu.
Baca juga: Telaah - COVID-19, China, dan raksasa ekonomi dunia
Menyebar cepat
Ini bukan virus biasa. Wabah bernama resmi Coronavirus Disease 2019 (COVID-19) ini sangat mematikan. Penyebarannya begitu cepat karena bisa ditularkan lewat berbagai media, makhluk hidup (manusia) maupun benda mati. Pandemi virus corona ini adalah penyakit yang menyebar di seluruh dunia secara bersamaan.
Demikian dahsyat daya destruksi wabah virus corona ini sehingga WHO pada tanggal 11 Maret 2020 menyatakan bahwa COVID-19 sudah menjadi pandemi. Pandemi artinya virus yang berkembang sangat cepat dan serempak ke seluruh wilayah di dunia.
Pandemi diumumkan dengan asumsi 70 persen penghuni bumi yang mencapai 7,8 miliar ini akan terkena virus.
Hingga berita ini ditulis, kasus COVID-19 telah menyebabkan korban manusia terinfeksi di tingkat global melampaui 2.407.46 manusia. Hingga Sabtu (18/4), korban meninggal di seluruh dunia setidaknya 165. 074 jiwa.
Dikutip laman Worldmeters, Amerika Serikat (AS) menempati posisi pertama sebagai negara dengan kasus dan jumlah korban meninggal tertinggi. Negeri Paman Sam memiliki 736.790 kasus COVID-19. Korban yang meninggal mencapai 38.920 jiwa.
Spanyol berada di urutan kedua sebagai negara dengan jumlah pasien tertinggi. Negeri Matador itu memiliki sebanyak 191.726 kasus, 20.639 orang telah meninggal, total sembuh 74.797 kasus COVID-19. Terdapat 3.804 kasus baru dalam 24 jam terakhir.
Posisi ketiga ditempati Italia dengan kasus COVID-19 sebanyak 175.925, sebanyak 23.227 orang telah meninggal, total sembuh 44.927. Meskipun jumlahnya lebih kecil dibanding Spanyol, korban meninggal akibat virus ini di Italia lebih besar, yakni 23.227 jiwa. Kemungkinan besar angka itu diprediksi akan melampaui 30.000.
Prancis menempati posisi keempat dengan 151.793 kasus COVID-19. Sebanyak 19.323 pasien telah meninggal di negara tersebut. Kemudian berturut-turut negara Inggris, Jerman, juga Republik Rakyat Tiongkok (RRT) yang warga negaranya menjadi korban cukup tinggi terinfeksi virus corona.
Peristiwa terburuk
Salah satu dampak pandemi global virus corona membuat kondisi perekonomian dunia menemui titik nadirnya. Virus yang berasal dari Kota Wuhan, RRT ini sudah menjangkiti daratan Asia, Amerika, Eropa, Australia, hingga Timur Tengah dengan jumlah mencapai jutaan korban manusia.
Menurut data yang disimpan oleh Universitas Johns Hopkins, sampai saat ini virus corona telah menyebar ke 181 dari sekitar 200 negara dan wilayah di seluruh dunia. Pandemi yang muncul di akhir Desember di Wuhan telah menyebar ke seluruh dunia pada tingkat yang mengkhawatirkan.
Bahkan, wabah corona ini merupakan kejadian terburuk yang dialami umat manusia. Hal ini karena memaksa seluruh umat manusia untuk menghentikan segala aktivitasnya di berbagai penjuru dunia. Perang dunia I dan II saja tidak bisa menghentikan aktivitas manusia seperti sekarang ini.
Ratu Inggris itu juga mengimbau para pemimpin dunia jangan lagi memikirkan pembangunan yang tidak darurat. Ini semua perlu sinergi dan kekompakan antara pemimpin yang satu dan lainnya. Pemimpin yang benar-benar punya niat, berpikir, berbuat, dan bertindak bahwa keselamatan jiwa manusia adalah segala-galanya dan pemimpin yang siap berkorban menyelamatkan rakyatnya.
Bahkan, Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres juga tidak ketinggalan menyerukan para pemimpin agama, semua agama untuk bergabung bekerja sama demi perdamaian di seluruh dunia dan fokus pada perjuangan kita bersama dalam proses memerangi pandemi COVID-19.
Hal itu dia utarakan saat umat Kristen merayakan Paskah, Muslim bersiap menyambut Ramadhan, dan Yahudi sedang menjalani Festival Pesakh (Passover).
Oleh sebab itu, dalam semangat periode pandemi ini, Guterres mendorong semua orang menggunakan momen ini sebagai waktu untuk mengingat, memperbarui, dan melakukan refleksi.
"Seperti yang kita renungkan, mari kita berikan perhatian khusus bagi para petugas kesehatan yang gagah berani di garis depan melawan virus yang mengerikan ini dan untuk semua yang bekerja menjaga kehidupan tetap berjalan.
Kapan berakhir
Dia juga mengajak untuk memperbarui iman satu sama lain dan memperoleh kekuatan dari kebaikan yang berkumpul di masa-masa sulit ketika komunitas-komunitas dari beragam agama serta tradisi etika bersatu untuk saling menjaga satu sama lain. "Bersama-sama kita dapat dan akan mengalahkan virus ini, dengan kerja sama serta keyakinan pada kemanusiaan kita bersama,” kata Guterres.
Masyarakat seluruh dunia saat ini saling mencemaskan kondisi satu sama lain. Tidak lagi bisa berjabat tangan, berpeluk cium, bahkan berkumpul dalam kelompok yang dianggap bisa menularkan virus corona.
Beberapa negara telah menerapkan lockdown atau mengunci dan membatasi akses ke luar masuk di wilayah tertentu untuk mencegah sebaran virus. Akibatnya, jalanan dunia sunyi, tempat ibadah kosong, dan dunia yang cemas.
Tetap saja virus itu menjadi ancaman paling mematikan yang sampai saat ini belum diketahui obat penangkalnya. Hari demi hari kian bertambah korban berjatuhan di berbagai negara hampir di seluruh dunia.
Semua khawatir tentang orang-orang yang dicintai.
Kapan perang melawan COVID-19 berakhir? Virus corona akan lenyap 100 persen dari muka bumi apabila setiap warga sudah memiliki imunitas.
Imunitas itulah yang saat ini masih sangat terbatas pada sejumlah orang. Berapa jumlah mereka tidak diketahui karena belum ada tes massal.
Disiplin
Meskipun para ahli sudah berlomba untuk menemukan obat penangkal COVID-19, sampai saat ini belum juga ada yang menemukan. Yang bisa dilakukan adalah memutus rantai penularannya. Ada negara yang menerapkan lockdown atau karantina secara ketat, atau pembatasan tertentu.
Bahkan, WHO memberikan saran tentang apa yang harus dilakukan oleh Negara. Para kepala negara diminta untuk mengantisipasi wabah dengan mengambil tindakan mendesak dan agresif.
Beberapa negara telah menunjukkan bahwa virus ini dapat ditekan dan dikendalikan. Tantangan bagi banyak negara yang sekarang berurusan dengan kelompok besar atau transmisi masyarakat bukanlah apakah mereka dapat melakukan hal yang sama, melainkan apakah mereka mau.
Kuncinya adalah disiplin. Disiplin dan taati perintah mengikuti komando pemimpin. Tanpa disiplin, lockdown atau karantina wilayah pun tidak akan efektif.
Kedisiplinan yang tinggi warga Jepang menjaga physical distancing dan mengenakan masker ke mana-mana, misalnya, aktivitas bisnis tetap berjalan. Tidak ada orang yang kehilangan pekerjaan, bahkan kehilangan nyawa.
*) Penulis adalah Staf Pengajar Komunikasi Politik Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi (STIKOM) Semarang.
Baca juga: Telaah - Anomali ekonomi makro Kota Magelang dan prediksi pascapandemi
Baca juga: Telaah - Ketika virus corona menyentuh empat kebenaran
Anak-anak banyak yang diungsikan ke tempat yang aman bersama para wanita (ibunya). Sementara itu, yang lain dipaksa tidak boleh keluar rumah untuk menghindari kejamnya perang dunia yang bisa membawa banyak korban nyawa manusia.
Sedemikian gawatnya pandemi virus corona yang terjadi di seluruh dunia saat ini, bahkan Ratu Elizabeth menyebut pandemi ini sebagai Perang Dunia III yang lebih dahsyat dari pada perang dunia I dan II.
Kalau perang dunia I dan II itu jelas siapa kawan dan siapa lawan. Senjatanya pun dapat dibuat secanggih mungkin untuk membinasakan musuh yang berwujud manusia yang lokasinya jelas bisa diketahui, suku bangsa dan negaranya, bahkan bisa diketahui berapa jumlah tentaranya dan seberapa kuat persenjataannya.
Akan tetapi, perang kali ini musuhnya adalah berupa virus yang tidak bisa dilihat, tetapi sangat mematikan, bahkan lebih mematikan dari senjata apa pun.
Selain musuhnya tidak dapat dilihat dengan mata telanjang, tidak bisa diprediksi, dan tidak bisa diketahui dengan indra manusia, bahkan dengan alat pendeteksi secanggih apa pun. Virus ini dengan cepat bisa menyerang siapa saja, tidak pandang bulu.
Baca juga: Telaah - COVID-19, China, dan raksasa ekonomi dunia
Menyebar cepat
Ini bukan virus biasa. Wabah bernama resmi Coronavirus Disease 2019 (COVID-19) ini sangat mematikan. Penyebarannya begitu cepat karena bisa ditularkan lewat berbagai media, makhluk hidup (manusia) maupun benda mati. Pandemi virus corona ini adalah penyakit yang menyebar di seluruh dunia secara bersamaan.
Demikian dahsyat daya destruksi wabah virus corona ini sehingga WHO pada tanggal 11 Maret 2020 menyatakan bahwa COVID-19 sudah menjadi pandemi. Pandemi artinya virus yang berkembang sangat cepat dan serempak ke seluruh wilayah di dunia.
Pandemi diumumkan dengan asumsi 70 persen penghuni bumi yang mencapai 7,8 miliar ini akan terkena virus.
Hingga berita ini ditulis, kasus COVID-19 telah menyebabkan korban manusia terinfeksi di tingkat global melampaui 2.407.46 manusia. Hingga Sabtu (18/4), korban meninggal di seluruh dunia setidaknya 165. 074 jiwa.
Dikutip laman Worldmeters, Amerika Serikat (AS) menempati posisi pertama sebagai negara dengan kasus dan jumlah korban meninggal tertinggi. Negeri Paman Sam memiliki 736.790 kasus COVID-19. Korban yang meninggal mencapai 38.920 jiwa.
Spanyol berada di urutan kedua sebagai negara dengan jumlah pasien tertinggi. Negeri Matador itu memiliki sebanyak 191.726 kasus, 20.639 orang telah meninggal, total sembuh 74.797 kasus COVID-19. Terdapat 3.804 kasus baru dalam 24 jam terakhir.
Posisi ketiga ditempati Italia dengan kasus COVID-19 sebanyak 175.925, sebanyak 23.227 orang telah meninggal, total sembuh 44.927. Meskipun jumlahnya lebih kecil dibanding Spanyol, korban meninggal akibat virus ini di Italia lebih besar, yakni 23.227 jiwa. Kemungkinan besar angka itu diprediksi akan melampaui 30.000.
Prancis menempati posisi keempat dengan 151.793 kasus COVID-19. Sebanyak 19.323 pasien telah meninggal di negara tersebut. Kemudian berturut-turut negara Inggris, Jerman, juga Republik Rakyat Tiongkok (RRT) yang warga negaranya menjadi korban cukup tinggi terinfeksi virus corona.
Peristiwa terburuk
Salah satu dampak pandemi global virus corona membuat kondisi perekonomian dunia menemui titik nadirnya. Virus yang berasal dari Kota Wuhan, RRT ini sudah menjangkiti daratan Asia, Amerika, Eropa, Australia, hingga Timur Tengah dengan jumlah mencapai jutaan korban manusia.
Menurut data yang disimpan oleh Universitas Johns Hopkins, sampai saat ini virus corona telah menyebar ke 181 dari sekitar 200 negara dan wilayah di seluruh dunia. Pandemi yang muncul di akhir Desember di Wuhan telah menyebar ke seluruh dunia pada tingkat yang mengkhawatirkan.
Bahkan, wabah corona ini merupakan kejadian terburuk yang dialami umat manusia. Hal ini karena memaksa seluruh umat manusia untuk menghentikan segala aktivitasnya di berbagai penjuru dunia. Perang dunia I dan II saja tidak bisa menghentikan aktivitas manusia seperti sekarang ini.
Ratu Inggris itu juga mengimbau para pemimpin dunia jangan lagi memikirkan pembangunan yang tidak darurat. Ini semua perlu sinergi dan kekompakan antara pemimpin yang satu dan lainnya. Pemimpin yang benar-benar punya niat, berpikir, berbuat, dan bertindak bahwa keselamatan jiwa manusia adalah segala-galanya dan pemimpin yang siap berkorban menyelamatkan rakyatnya.
Bahkan, Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres juga tidak ketinggalan menyerukan para pemimpin agama, semua agama untuk bergabung bekerja sama demi perdamaian di seluruh dunia dan fokus pada perjuangan kita bersama dalam proses memerangi pandemi COVID-19.
Hal itu dia utarakan saat umat Kristen merayakan Paskah, Muslim bersiap menyambut Ramadhan, dan Yahudi sedang menjalani Festival Pesakh (Passover).
Oleh sebab itu, dalam semangat periode pandemi ini, Guterres mendorong semua orang menggunakan momen ini sebagai waktu untuk mengingat, memperbarui, dan melakukan refleksi.
"Seperti yang kita renungkan, mari kita berikan perhatian khusus bagi para petugas kesehatan yang gagah berani di garis depan melawan virus yang mengerikan ini dan untuk semua yang bekerja menjaga kehidupan tetap berjalan.
Kapan berakhir
Dia juga mengajak untuk memperbarui iman satu sama lain dan memperoleh kekuatan dari kebaikan yang berkumpul di masa-masa sulit ketika komunitas-komunitas dari beragam agama serta tradisi etika bersatu untuk saling menjaga satu sama lain. "Bersama-sama kita dapat dan akan mengalahkan virus ini, dengan kerja sama serta keyakinan pada kemanusiaan kita bersama,” kata Guterres.
Masyarakat seluruh dunia saat ini saling mencemaskan kondisi satu sama lain. Tidak lagi bisa berjabat tangan, berpeluk cium, bahkan berkumpul dalam kelompok yang dianggap bisa menularkan virus corona.
Beberapa negara telah menerapkan lockdown atau mengunci dan membatasi akses ke luar masuk di wilayah tertentu untuk mencegah sebaran virus. Akibatnya, jalanan dunia sunyi, tempat ibadah kosong, dan dunia yang cemas.
Tetap saja virus itu menjadi ancaman paling mematikan yang sampai saat ini belum diketahui obat penangkalnya. Hari demi hari kian bertambah korban berjatuhan di berbagai negara hampir di seluruh dunia.
Semua khawatir tentang orang-orang yang dicintai.
Kapan perang melawan COVID-19 berakhir? Virus corona akan lenyap 100 persen dari muka bumi apabila setiap warga sudah memiliki imunitas.
Imunitas itulah yang saat ini masih sangat terbatas pada sejumlah orang. Berapa jumlah mereka tidak diketahui karena belum ada tes massal.
Disiplin
Meskipun para ahli sudah berlomba untuk menemukan obat penangkal COVID-19, sampai saat ini belum juga ada yang menemukan. Yang bisa dilakukan adalah memutus rantai penularannya. Ada negara yang menerapkan lockdown atau karantina secara ketat, atau pembatasan tertentu.
Bahkan, WHO memberikan saran tentang apa yang harus dilakukan oleh Negara. Para kepala negara diminta untuk mengantisipasi wabah dengan mengambil tindakan mendesak dan agresif.
Beberapa negara telah menunjukkan bahwa virus ini dapat ditekan dan dikendalikan. Tantangan bagi banyak negara yang sekarang berurusan dengan kelompok besar atau transmisi masyarakat bukanlah apakah mereka dapat melakukan hal yang sama, melainkan apakah mereka mau.
Kuncinya adalah disiplin. Disiplin dan taati perintah mengikuti komando pemimpin. Tanpa disiplin, lockdown atau karantina wilayah pun tidak akan efektif.
Kedisiplinan yang tinggi warga Jepang menjaga physical distancing dan mengenakan masker ke mana-mana, misalnya, aktivitas bisnis tetap berjalan. Tidak ada orang yang kehilangan pekerjaan, bahkan kehilangan nyawa.
*) Penulis adalah Staf Pengajar Komunikasi Politik Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi (STIKOM) Semarang.
Baca juga: Telaah - Anomali ekonomi makro Kota Magelang dan prediksi pascapandemi
Baca juga: Telaah - Ketika virus corona menyentuh empat kebenaran