Semarang (ANTARA) - Pakar keamanan siber dari CISSReC Doktor Pratama Persadha memandang perlu forensik digital pada sistem imigrasi terkait dengan peretasan yang berdampak pada ribuan orang tidak bisa masuk ke Tanah Air.
"Intinya perlu dilakukan digital forensic untuk mengetahui penyebabnya," kata Ketua Lembaga Riset Keamanan Siber dan Komunikasi CISSReC Pratama Persadha melalui surelnya kepada ANTARA di Semarang, Selasa pagi.
Bila tim teknologi informasi mengalami kesulitan, Pratama menyarankan agar imigrasi berkoordinasi dengan Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN). Selanjutnya, jika ditemukan tindakan peretasan, bisa dilaporkan ke Cyber Crime Polri.
Baca juga: Pratama: Waspadai email palsu berisi ancaman virus corona
Hal itu dikemukakan Pratama terkait dengan Kantor Imigrasi Kelas I Khusus Ngurah Rai Bali yang terkendala sistem hingga ribuan orang tidak bisa diproses masuk ke Tanah Air. Sebelumnya, akhir Januari 2020, peretasan menimpa Kantor Imigrasi Kelas I TPI Denpasar Bali dengan target serangan running text dengan tulisan tak senonoh.
Menurut Pratama, gangguan sistem di Kantor Imigrasi Kelas I Khusus Ngurah Rai bisa terjadi karena berbagai sebab, mulai dari adanya bug (kutu) pada sistem, koneksi yang terkendala pada pusat data, hingga pada tindakan peretasan.
Ia mengemukakan bahwa sistem di kantor imigrasi itu berjalan sesuai dengan standard operating procedures (SOP) atau prosedur operasi standar (POS). Pada saat sistem bermasalah, otomatis orang dari luar negeri tidak bisa masuk.
Hal ini berbeda dengan sistem di Bandara Internasional Soekarno–Hatta yang bermasalah namun puluhan ribu orang tetap bisa masuk dari luar negeri. Bahkan, kata Pratama, kedatangan buronan KPK Harun Masiku tidak terdeteksi.
"Bandara dan imigrasi ini pintu masuk dari luar yang harus benar-benar aman. Rekayasa dan manipulasi sistem maupun data bisa berakibat serius bagi kedaulatan negara," kata Pratama yang pernah sebagai Pelaksana Tugas (Plt.) Direktur Pengamanan Sinyal Lemsaneg (BSSN).
Selain sistem imigrasi, menurut dia, keamanan pada sistem ATC juga harus diperkuat. Hal ini jangan sampai terkena retas atau kesalahan sistem yang membuat pesawat di udara kebingungan saat harus mendarat. Bahkan, kegagalan sistem imigrasi ini memungkinkan individu yang masuk dalam daftar pencarian orang (DPO) menjadi tidak terdeteksi.
"Bisa jadi ada DPO polisi, jaksa, KPK, ataupun DPO interpol. Ini yang wajib diwaspadai," kata Pratama yang juga dosen Etnografi Dunia Maya pada Program Studi S-2 Antropologi Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta ini.
Oleh karena itu, sebaiknya secara reguler dibuat pengecekan pada sistem di imigrasi dan bandara. Hal ini guna mencegah terjadinya kesalahan sistem karena peretasan dan bug.
"Jangan sampai seperti peristiwa gagal terbangnya 1.400 orang di Polandia pada tahun 2015 karena peretasan pada sistem bandara," kata pria kelahiran Cepu, Kabupaten Blora, Jawa Tengah ini.
Baca juga: HP ilegal terancam terblokir per 18 April 2020
Baca juga: Waspadai perang siber antara Iran dan AS
"Intinya perlu dilakukan digital forensic untuk mengetahui penyebabnya," kata Ketua Lembaga Riset Keamanan Siber dan Komunikasi CISSReC Pratama Persadha melalui surelnya kepada ANTARA di Semarang, Selasa pagi.
Bila tim teknologi informasi mengalami kesulitan, Pratama menyarankan agar imigrasi berkoordinasi dengan Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN). Selanjutnya, jika ditemukan tindakan peretasan, bisa dilaporkan ke Cyber Crime Polri.
Baca juga: Pratama: Waspadai email palsu berisi ancaman virus corona
Hal itu dikemukakan Pratama terkait dengan Kantor Imigrasi Kelas I Khusus Ngurah Rai Bali yang terkendala sistem hingga ribuan orang tidak bisa diproses masuk ke Tanah Air. Sebelumnya, akhir Januari 2020, peretasan menimpa Kantor Imigrasi Kelas I TPI Denpasar Bali dengan target serangan running text dengan tulisan tak senonoh.
Menurut Pratama, gangguan sistem di Kantor Imigrasi Kelas I Khusus Ngurah Rai bisa terjadi karena berbagai sebab, mulai dari adanya bug (kutu) pada sistem, koneksi yang terkendala pada pusat data, hingga pada tindakan peretasan.
Ia mengemukakan bahwa sistem di kantor imigrasi itu berjalan sesuai dengan standard operating procedures (SOP) atau prosedur operasi standar (POS). Pada saat sistem bermasalah, otomatis orang dari luar negeri tidak bisa masuk.
Hal ini berbeda dengan sistem di Bandara Internasional Soekarno–Hatta yang bermasalah namun puluhan ribu orang tetap bisa masuk dari luar negeri. Bahkan, kata Pratama, kedatangan buronan KPK Harun Masiku tidak terdeteksi.
"Bandara dan imigrasi ini pintu masuk dari luar yang harus benar-benar aman. Rekayasa dan manipulasi sistem maupun data bisa berakibat serius bagi kedaulatan negara," kata Pratama yang pernah sebagai Pelaksana Tugas (Plt.) Direktur Pengamanan Sinyal Lemsaneg (BSSN).
Selain sistem imigrasi, menurut dia, keamanan pada sistem ATC juga harus diperkuat. Hal ini jangan sampai terkena retas atau kesalahan sistem yang membuat pesawat di udara kebingungan saat harus mendarat. Bahkan, kegagalan sistem imigrasi ini memungkinkan individu yang masuk dalam daftar pencarian orang (DPO) menjadi tidak terdeteksi.
"Bisa jadi ada DPO polisi, jaksa, KPK, ataupun DPO interpol. Ini yang wajib diwaspadai," kata Pratama yang juga dosen Etnografi Dunia Maya pada Program Studi S-2 Antropologi Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta ini.
Oleh karena itu, sebaiknya secara reguler dibuat pengecekan pada sistem di imigrasi dan bandara. Hal ini guna mencegah terjadinya kesalahan sistem karena peretasan dan bug.
"Jangan sampai seperti peristiwa gagal terbangnya 1.400 orang di Polandia pada tahun 2015 karena peretasan pada sistem bandara," kata pria kelahiran Cepu, Kabupaten Blora, Jawa Tengah ini.
Baca juga: HP ilegal terancam terblokir per 18 April 2020
Baca juga: Waspadai perang siber antara Iran dan AS