Semarang (ANTARA) - Ketua Lembaga Riset Siber Indonesia CISSReC (Communication and Information System Security Research Center) Doktor Pratama Persadha memandang perlu Indonesia mewaspadai perang siber antara Iran dan Amerika Serikat.
"Saat ini sedang terjadi cyber warfare antara kedua negara, yang kemungkinan besar diikuti oleh negara-negara lain maupun kelompok-kelompok tertentu," kata Pratama Persadha ketika dimintai konfirmasi ANTARA di Semarang, Sabtu.
Baca juga: Perang Media dan Siber di Ukraina
Pakar keamanan siber ini lantas mencontohkan negara bagian Texas yang menerima serangan siber lebih dari 10.000 kali sejak 6 Januari 2020.
Website Program Penyimpan Federal (The Federal Depository Library Program) diserang dengan mengubah tampilan situs ada bendera Iran, foto pemimpin tertinggi Iran Ali Khamenei, dan gambar wajah Donald Trump dengan mulut berdarah karena ditinju oleh pengawal revolusi Iran.
Dalam sejarah pertikaian Iran, AS, dan Israel, menurut Pratama, memang selalu melibatkan saling retas dan saling serang sistem. Yang paling terkenal adalah serangan stuxnet dari Israel yang menargetkan sistem nuklir Iran.
Secara umum serangan dilakukan dengan cara melakukan deface ke website yang dimiliki pemerintah agar masyarakat dunia melihat. Artinya, lanjut Pratama, ancaman serangan siber tidak hanya harus diwaspadai oleh instansi negara, tetapi juga perusahaan besar, bahkan akun media sosial para tokoh.
Pada saat yang sama, perang juga terjadi di media sosial. Untuk wilayah ini, menurut dia, jelas AS diuntungkan karena platform Facebook, Instagram, Twitter, dan Youtube semuanya di bawah regulasi perundang-undangan yang berlaku di AS.
Baca juga: Serangan Siber Ransomeware, Cybel Angel: ini Perang Era Baru
Foreign Surveillance Act, misalnya, mewajibkan raksasa teknologi di AS untuk memberikan backdoor dan privillage untuk lembaga pemerintah seperti FBI, NSA, CIA, DEA, kepolisian, dan militer.
"Artinya, konten yang membantu propaganda Iran akan sangat mudah dihapus dan akun-akun mudah di-suspend," kata pria kelahiran Cepu, Kabupaten Blora, Jawa Tengah ini.
Indonesia sendiri, menurut Pratama, pasti terdampak, baik secara ekonomi maupun hubungan diplomatik. Hal ini seperti yang disampaikan Menteri Luar Negeri Retno Lestari Priansari Marsudi, Indonesia meminta semua pihak menahan diri dan meminta PBB segera turun tangan menengahi.
Namun, lanjut Pratama yang juga dosen Etnografi Dunia Maya pada Program Studi S-2 Antropologi Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, tidak bisa dipungkiri pastinya ada pihak di Tanah Air yang ikut terbawa panasnya suasana.
"Yang perlu dilakukan masyarakat adalah menghindari pemakaian VPN (virtual private network) menggunakan negara-negara yang sedang berkonflik beserta sekutunya," kata Pratama menambahkan.
Ia menjelaskan bahwa penggunaan VPN ini untuk mengelabui blokir internet maupun untuk mengamankan jalur komunikasi. Misalnya, ketika Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) membatasi penggunaan media sosial pertengahan tahun 2019, masyarakat sempat ramai memakai VPN.
"Kenapa tidak disarankan menggunakan IP negara berkonflik?"
Pertanyaan ini dijawab Pratama bahwa hal ini untuk menghindari adanya serangan malware ke IP negara yang sedang berkonflik.
"Serangan malware masif bisa saja terjadi seperti saat wannacry dan nopetya hadir di pertengahan 2017," kata Pratama.
Menyinggung dampak yang mungkin akan terasa di Tanah Air, dia menyebutkan salah satu dampak adalah perang opini di media sosial.
Namun, lanjut dia, mengingat Syiah bukan mayoritas muslim di Tanah Air, isu oleh buzzer belum masif sejauh ini. Isu di media sosial banyak bersumber dari media massa mainstream.
Peristiwa ini, kata Pratama, juga menjadi pelajaran bahwa dalam situasi seamanan apa pun, para pejabat tinggi dan pengawalnya harus melaksankan prosedur tetap (protap) keamanan. Misalnya, tidak menyalakan GPS di smartphone dan juga wajib berkomunikasi lewat jalur yang aman.
"Serangan kepada Jenderal Qassam Solemani bisa terjadi salah satunya karena pengintaian lewat jalur komunikasi, internet, dan juga info lapangan yang akurat," kata Pratama menegaskan.
"Saat ini sedang terjadi cyber warfare antara kedua negara, yang kemungkinan besar diikuti oleh negara-negara lain maupun kelompok-kelompok tertentu," kata Pratama Persadha ketika dimintai konfirmasi ANTARA di Semarang, Sabtu.
Baca juga: Perang Media dan Siber di Ukraina
Pakar keamanan siber ini lantas mencontohkan negara bagian Texas yang menerima serangan siber lebih dari 10.000 kali sejak 6 Januari 2020.
Website Program Penyimpan Federal (The Federal Depository Library Program) diserang dengan mengubah tampilan situs ada bendera Iran, foto pemimpin tertinggi Iran Ali Khamenei, dan gambar wajah Donald Trump dengan mulut berdarah karena ditinju oleh pengawal revolusi Iran.
Dalam sejarah pertikaian Iran, AS, dan Israel, menurut Pratama, memang selalu melibatkan saling retas dan saling serang sistem. Yang paling terkenal adalah serangan stuxnet dari Israel yang menargetkan sistem nuklir Iran.
Secara umum serangan dilakukan dengan cara melakukan deface ke website yang dimiliki pemerintah agar masyarakat dunia melihat. Artinya, lanjut Pratama, ancaman serangan siber tidak hanya harus diwaspadai oleh instansi negara, tetapi juga perusahaan besar, bahkan akun media sosial para tokoh.
Pada saat yang sama, perang juga terjadi di media sosial. Untuk wilayah ini, menurut dia, jelas AS diuntungkan karena platform Facebook, Instagram, Twitter, dan Youtube semuanya di bawah regulasi perundang-undangan yang berlaku di AS.
Baca juga: Serangan Siber Ransomeware, Cybel Angel: ini Perang Era Baru
Foreign Surveillance Act, misalnya, mewajibkan raksasa teknologi di AS untuk memberikan backdoor dan privillage untuk lembaga pemerintah seperti FBI, NSA, CIA, DEA, kepolisian, dan militer.
"Artinya, konten yang membantu propaganda Iran akan sangat mudah dihapus dan akun-akun mudah di-suspend," kata pria kelahiran Cepu, Kabupaten Blora, Jawa Tengah ini.
Indonesia sendiri, menurut Pratama, pasti terdampak, baik secara ekonomi maupun hubungan diplomatik. Hal ini seperti yang disampaikan Menteri Luar Negeri Retno Lestari Priansari Marsudi, Indonesia meminta semua pihak menahan diri dan meminta PBB segera turun tangan menengahi.
Namun, lanjut Pratama yang juga dosen Etnografi Dunia Maya pada Program Studi S-2 Antropologi Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, tidak bisa dipungkiri pastinya ada pihak di Tanah Air yang ikut terbawa panasnya suasana.
"Yang perlu dilakukan masyarakat adalah menghindari pemakaian VPN (virtual private network) menggunakan negara-negara yang sedang berkonflik beserta sekutunya," kata Pratama menambahkan.
Ia menjelaskan bahwa penggunaan VPN ini untuk mengelabui blokir internet maupun untuk mengamankan jalur komunikasi. Misalnya, ketika Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) membatasi penggunaan media sosial pertengahan tahun 2019, masyarakat sempat ramai memakai VPN.
"Kenapa tidak disarankan menggunakan IP negara berkonflik?"
Pertanyaan ini dijawab Pratama bahwa hal ini untuk menghindari adanya serangan malware ke IP negara yang sedang berkonflik.
"Serangan malware masif bisa saja terjadi seperti saat wannacry dan nopetya hadir di pertengahan 2017," kata Pratama.
Menyinggung dampak yang mungkin akan terasa di Tanah Air, dia menyebutkan salah satu dampak adalah perang opini di media sosial.
Namun, lanjut dia, mengingat Syiah bukan mayoritas muslim di Tanah Air, isu oleh buzzer belum masif sejauh ini. Isu di media sosial banyak bersumber dari media massa mainstream.
Peristiwa ini, kata Pratama, juga menjadi pelajaran bahwa dalam situasi seamanan apa pun, para pejabat tinggi dan pengawalnya harus melaksankan prosedur tetap (protap) keamanan. Misalnya, tidak menyalakan GPS di smartphone dan juga wajib berkomunikasi lewat jalur yang aman.
"Serangan kepada Jenderal Qassam Solemani bisa terjadi salah satunya karena pengintaian lewat jalur komunikasi, internet, dan juga info lapangan yang akurat," kata Pratama menegaskan.