Solo (ANTARA) - Asosiasi Profesi Pendidikan Khusus Indonesia (APPKHL) menyayangkan solusi dari Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo terkait kasus perundungan terhadap siswa berkebutuhan khusus di SMP Muhammadiyah Butuh, Kabupaten Purworejo.
"Kami tidak ingin menyalahkan, tetapi solusi yang ditawarkan Pak Ganjar memindahkan anak berkebutuhan khusus dari sekolah inklusi ke sekolah luar biasa (SLB) ini menjadi titik poin kami. Memang SLB jadi tempat untuk anak berkebutuhan khusus, tetapi perpindahan anak yang kena perundungan ke SLB secara akademik meruntuhkan falsafah pendidikan inklusif," kata Ketua Umum APPKHL Munawir Yusuf yang juga pakar pendidikan inklusi dari Universitas Sebelas Maret (UNS) di Solo, Selasa.
Pihaknya menilai tindakan tersebut tidak sejalan dengan perjuangan para aktivis pendidikan inklusi sejak tahun 2000 dalam menggerakkan sekolah inklusi.
Baca juga: Tiga siswa penganiaya siswi SMP di Purworejo jadi tersangka
Padahal, di sisi lain sekolah dan masyarakat mulai sadar bahwa anak berkebutuhan khusus ini memiliki hak untuk menimba ilmu di sekolah reguler.
"Tetapi ketika gubernur Jateng mewacanakan atau membuat solusi pindah ke SLB 'kan kesannya anak yang sudah jadi korban justru diposisikan jadi korban lagi karena disekolahkan ke sekolah yang tidak dikehendaki oleh mereka," katanya.
Baca juga: Jadi tersangka, tiga pelajar pelaku perundungan di Purworejo tak ditahan
Ia berharap jangan sampai langkah tersebut menjadi referensi masyarakat luas ketika anak berkebutuhan khusus mengalami kesulitan di sekolah reguler akhirnya memindahkan ke SLB.
"Oleh karena itu, solusi yang kami tawarkan adalah bukan anak berkebutuhan khusus yang harus jadi korban tetapi lingkungan harus diubah. Pemerintah menyediakan sumber daya yang memadai atau cukup agar sekolah inklusi dapat melayani anak sebaik-baiknya," katanya.
Ia berharap anak berkebutuhan khusus yang menjadi korban perundungan tersebut tidak dipindahkan ke SLB melainkan ke sekolah inklusi lain.
"Kalau mau memindahkan bukan ke SLB tetapi sekolah inklusi lain. Kalau bisa ke sekolah negeri sehingga bisa difasilitasi oleh pemerintah," katanya.
Selain itu, dikatakannya, solusi penutupan sekolah yang menjadi lokasi kasus perundungan tersebut juga bukan merupakan solusi bijak.
"Ada pernyataan Gubernur bahwa sekolah tidak siap mengelola agar dibubarkan atau ditutup. Itu bukan solusi yang bijak, kan masih mending ada yang membantu. Seharusnya yang diberikan tindakan adalah orangnya bukan sekolah yang harus ditutup," katanya.
Terkait hal itu, pihaknya menyatakan siap memberikan pendampingan kepada sekolah maupun siswa untuk membantu menyelesaikan kasus perundungan tersebut.
"Mengenai kasus perundungan sendiri sebetulnya peristiwa yang muncul ke permukaan tidak banyak tetapi di lapangan banyak kasus yang kami dampingi. Kami menyediakan diri siap mendampingi sekolah maupun anak tersebut untuk membantu mendampingi mereka," demikian Munawir Yusuf.
"Kami tidak ingin menyalahkan, tetapi solusi yang ditawarkan Pak Ganjar memindahkan anak berkebutuhan khusus dari sekolah inklusi ke sekolah luar biasa (SLB) ini menjadi titik poin kami. Memang SLB jadi tempat untuk anak berkebutuhan khusus, tetapi perpindahan anak yang kena perundungan ke SLB secara akademik meruntuhkan falsafah pendidikan inklusif," kata Ketua Umum APPKHL Munawir Yusuf yang juga pakar pendidikan inklusi dari Universitas Sebelas Maret (UNS) di Solo, Selasa.
Pihaknya menilai tindakan tersebut tidak sejalan dengan perjuangan para aktivis pendidikan inklusi sejak tahun 2000 dalam menggerakkan sekolah inklusi.
Baca juga: Tiga siswa penganiaya siswi SMP di Purworejo jadi tersangka
Padahal, di sisi lain sekolah dan masyarakat mulai sadar bahwa anak berkebutuhan khusus ini memiliki hak untuk menimba ilmu di sekolah reguler.
"Tetapi ketika gubernur Jateng mewacanakan atau membuat solusi pindah ke SLB 'kan kesannya anak yang sudah jadi korban justru diposisikan jadi korban lagi karena disekolahkan ke sekolah yang tidak dikehendaki oleh mereka," katanya.
Baca juga: Jadi tersangka, tiga pelajar pelaku perundungan di Purworejo tak ditahan
Ia berharap jangan sampai langkah tersebut menjadi referensi masyarakat luas ketika anak berkebutuhan khusus mengalami kesulitan di sekolah reguler akhirnya memindahkan ke SLB.
"Oleh karena itu, solusi yang kami tawarkan adalah bukan anak berkebutuhan khusus yang harus jadi korban tetapi lingkungan harus diubah. Pemerintah menyediakan sumber daya yang memadai atau cukup agar sekolah inklusi dapat melayani anak sebaik-baiknya," katanya.
Ia berharap anak berkebutuhan khusus yang menjadi korban perundungan tersebut tidak dipindahkan ke SLB melainkan ke sekolah inklusi lain.
"Kalau mau memindahkan bukan ke SLB tetapi sekolah inklusi lain. Kalau bisa ke sekolah negeri sehingga bisa difasilitasi oleh pemerintah," katanya.
Selain itu, dikatakannya, solusi penutupan sekolah yang menjadi lokasi kasus perundungan tersebut juga bukan merupakan solusi bijak.
"Ada pernyataan Gubernur bahwa sekolah tidak siap mengelola agar dibubarkan atau ditutup. Itu bukan solusi yang bijak, kan masih mending ada yang membantu. Seharusnya yang diberikan tindakan adalah orangnya bukan sekolah yang harus ditutup," katanya.
Terkait hal itu, pihaknya menyatakan siap memberikan pendampingan kepada sekolah maupun siswa untuk membantu menyelesaikan kasus perundungan tersebut.
"Mengenai kasus perundungan sendiri sebetulnya peristiwa yang muncul ke permukaan tidak banyak tetapi di lapangan banyak kasus yang kami dampingi. Kami menyediakan diri siap mendampingi sekolah maupun anak tersebut untuk membantu mendampingi mereka," demikian Munawir Yusuf.