Purwokerto (ANTARA) - Pemerintah harus bersikap arif terkait dengan rencana pemulangan sekitar 600 orang asal Indonesia yang sebelumnya menjadi pengikut Islamic State of Iraq and Suriah (ISIS), kata pakar hukum Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Purwokerto Prof. Hibnu Nugroho.
"Kita harus lihat niat baik si eks ISIS tersebut, dia kan selama ini sudah tidak menghargai negaranya sendiri. Bahkan, dia berjuang untuk negara lain," katanya di Purwokerto, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah, Senin.
Menurut dia, hal tersebut merupakan suatu kondisi yang harus dijadikan pertimbangan sendiri, apakah orang-orang seperti itu patut untuk dilindungi?
Baca juga: Ganjar tidak takut disebut langgar HAM karena tolak kepulangan ISIS
"Kalau sebagai bagian dari warga negara, iya patut, tapi pemerintah harus betul-betul selektif memberikan pelajaran. Artinya, negara itu punya kemampuan untuk melindungi dan juga mendidik," ucapnya.
Ia mengatakan para mantan pengikut ISIS itu harus sadar apa yang dilakukan di negara lain itu tidak baik.
Menurut dia, hal itu bukan sebagai bentuk hukuman (punishment, red.) melainkan bagian dari pendidikan.
"Dalam hal ini, itu merupakan pendidikan yang dikemas menjadi punishment biar sadar, sehingga ke depan tidak lagi muncul pemikiran-pemikiran seperti ini (masuk ISIS, red.) lagi. Ini menjadikan sejarah kelam bagi warga negara Indonesia yang tidak punya prinsip," tuturnya.
Disinggung kemungkinan dilakukan pemidanaan, Hibnu mengatakan ratusan mantan pengikut ISIS tersebut sudah bukan warga negara Indonesia sehingga hal itu menjadi masalah.
Baca juga: Ganjar tegas tolak pemulangan WNI eks ISIS
"Masalahnya kan di situ. Yang kita lihatkan dia sudah membakar paspornya, berarti seolah tidak mengakui (sebagai warga negara Indonesia), tetapi secara hati, dia itu sebenarnya orang Indonesia," ujarnya menegaskan.
Oleh karena itu, kata dia, pemerintah saat sekarang harus arif dalam menyikapi ratusan mantan pengikut ISIS asal Indonesia.
"Okelah secara secara formal mereka memang orang yang 'berkhianat', tetapi secara materiil bahwa itu bagian juga warga Indonesia sehingga sebagai negara yang berperikemanusiaan, ya kita ajak baik-baik. Kita harus bedakan antara secara materiil dan formal," katanya.
Terkait dengan anak-anak mantan pengikut ISIS tersebut, Hibnu mengharapkan pemerintah juga bersikap arif agar jangan sampai masa depan anak-anak itu menjadi tidak jelas.
"Saya kira itu bagian dari pemerintah untuk bisa melakukan pembinaan kepada generasi-generasi yang akan datang supaya tidak mengikuti orang tuanya. Oleh karena itu harus ada deradikalisasi, harus ada penyesuaian pola pikirnya (mindset) karena mereka ada di dalam NKRI, harus dicekoki dulu. Tanpa itu, enggak mungkin, dan itu perlu waktu lama, nah itulah tantangan kita," katanya.
Baca juga: Jimly: Paspor WNI eks-ISIS harus dicabut
"Kita harus lihat niat baik si eks ISIS tersebut, dia kan selama ini sudah tidak menghargai negaranya sendiri. Bahkan, dia berjuang untuk negara lain," katanya di Purwokerto, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah, Senin.
Menurut dia, hal tersebut merupakan suatu kondisi yang harus dijadikan pertimbangan sendiri, apakah orang-orang seperti itu patut untuk dilindungi?
Baca juga: Ganjar tidak takut disebut langgar HAM karena tolak kepulangan ISIS
"Kalau sebagai bagian dari warga negara, iya patut, tapi pemerintah harus betul-betul selektif memberikan pelajaran. Artinya, negara itu punya kemampuan untuk melindungi dan juga mendidik," ucapnya.
Ia mengatakan para mantan pengikut ISIS itu harus sadar apa yang dilakukan di negara lain itu tidak baik.
Menurut dia, hal itu bukan sebagai bentuk hukuman (punishment, red.) melainkan bagian dari pendidikan.
"Dalam hal ini, itu merupakan pendidikan yang dikemas menjadi punishment biar sadar, sehingga ke depan tidak lagi muncul pemikiran-pemikiran seperti ini (masuk ISIS, red.) lagi. Ini menjadikan sejarah kelam bagi warga negara Indonesia yang tidak punya prinsip," tuturnya.
Disinggung kemungkinan dilakukan pemidanaan, Hibnu mengatakan ratusan mantan pengikut ISIS tersebut sudah bukan warga negara Indonesia sehingga hal itu menjadi masalah.
Baca juga: Ganjar tegas tolak pemulangan WNI eks ISIS
"Masalahnya kan di situ. Yang kita lihatkan dia sudah membakar paspornya, berarti seolah tidak mengakui (sebagai warga negara Indonesia), tetapi secara hati, dia itu sebenarnya orang Indonesia," ujarnya menegaskan.
Oleh karena itu, kata dia, pemerintah saat sekarang harus arif dalam menyikapi ratusan mantan pengikut ISIS asal Indonesia.
"Okelah secara secara formal mereka memang orang yang 'berkhianat', tetapi secara materiil bahwa itu bagian juga warga Indonesia sehingga sebagai negara yang berperikemanusiaan, ya kita ajak baik-baik. Kita harus bedakan antara secara materiil dan formal," katanya.
Terkait dengan anak-anak mantan pengikut ISIS tersebut, Hibnu mengharapkan pemerintah juga bersikap arif agar jangan sampai masa depan anak-anak itu menjadi tidak jelas.
"Saya kira itu bagian dari pemerintah untuk bisa melakukan pembinaan kepada generasi-generasi yang akan datang supaya tidak mengikuti orang tuanya. Oleh karena itu harus ada deradikalisasi, harus ada penyesuaian pola pikirnya (mindset) karena mereka ada di dalam NKRI, harus dicekoki dulu. Tanpa itu, enggak mungkin, dan itu perlu waktu lama, nah itulah tantangan kita," katanya.
Baca juga: Jimly: Paspor WNI eks-ISIS harus dicabut