Magelang (ANTARA) - Sebagai kota yang majemuk, Magelang memiliki beragam kebudayaan tersebar di kampung-kampung. Tidak cuma aneka tarian, kota kecil dengan tiga kecamatan di pegunungan tengah Jawa Tengah ini juga memiliki lagu-lagu, adat, busana tradisional, hingga kuliner khas.

Jika digali dan didata, ternyata Magelang sangat kaya dengan ragam budayanya. Dalam buku Profil Kebudayaan Kota Magelang cetakan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kota Magelang pada 2018, disebutkan 268 kelompok kesenian tersebar di 17 kelurahan.

Beragam adat istiadat dan cerita-cerita rakyat masih disampaikan secara turun-temurun oleh masyarakat. Banyak juga situs peninggalan cagar budaya, ritus-ritus budaya lokal, beragam permainan tradisional, dan pengetahuan-pengetahuan lokal tradisional yang masih terjaga hingga sekarang, tersebar di sudut-sudut kota

Menurut C. Kluckhohn, terdapat tujuh unsur kebudayaan yang kemudian dikenal sebagai teori unsur kebudayaan universal, antara lain bahasa, sistem pengetahuan, sistem teknologi dan peralatan, sistem kesenian, sistem mata pencarian hidup, sistem religi, sistem kekerabatan dan organisasi kemasyarakatannya.

Semua unsur tersebut bisa mengalami perkembangan secara dinamis sesuai era dan kebijakan yang terjadi. Hal demikian termasuk di Kota Magelang.

Permasalahan umum yang sering terjadi dalam bidang kebudayaan adalah masih bekerja atau berjalan sendiri-sendiri, tanpa pelibatan lembaga atau instansi lain. Persoalan seperti ini sudah menua dan menjadi beban bagi pemajuan kebudayaan secara kolektif.

Solusinya tidak lain dengan membangun ekosistem kebudayaan yang bisa menjadi roh pengerak lini-lini atau jejaring-jejaring kebudayaan. Semua lini ikut aktif dalam bidang kebudayaan dan tidak ada yang perlu ditinggalkan.

Ekosistem dimaknai sebagai tata interaksi yang saling menunjang antarunsur dalam suatu lingkungan. Inti yang mencirikan suatu ekosistem adalah pola hubungan antarunsur yang saling menunjang dan terjadi dalam suatu lingkup teritorial tertentu.

Baca juga: 1.180 Getuk Kemasan Meriahkan "Grebek Gethuk" Magelang

Berdasarkan perihal tersebut, kita dapat mengartikan ekosistem kebudayaan atau ekosistem objek pemajuan kebudayaan (dua istilah yang sama-sama dipakai dalam UU No. 5/2017 tentang Pemajuan Kebudayaan) sebagai tata interaksi yang saling menunjang antarpelaku, peserta, lingkungan alam, dan objek-objek pemajuan kebudayaan di suatu kawasan tertentu.

Merujuk pada Undang-Undang Pemajuan Kebudayaan tersebut ada empat langkah menuju arah ekosistem yang kondusif, yakni perlindungan, pengembangan, pemanfaatan, dan pembinaan. Dalam poin-poin tersebut upaya menghidupkan ekosistem kebudayaan menjadi hal yang wajib dilakukan semua pihak untuk keberlanjutannya.

Pemahaman akan masalah budaya sangat luas dan terus mengalami perkembangan sesuai era atau waktunya. Bukan saja persoalan pementasan seni budaya, festival, lomba, dan lain sejenisnya. Lebih jauh dari itu, mulai dari proses lahir manusia sampai meninggal dunia dan tata laku keseharian juga merupakan unsur budaya.

Budaya bukan sekadar produk tetapi juga nilai-nilai keutamaan. Ke depan seharusnya bobot kebudayaan sebagai suatu nilai harus menjadi prioritas. Sebab pada era yang berbeda unsur-unsur kebudayaan bisa jadi berubah pula.

Kecanggihan teknologi yang diselimuti dengan modernitas sebagai teknik dan unsur pembawaan menjadi pembeda setiap era. Setiap era mengalami perkembangan yang sedemikian cepat, masyarakat juga bisa berubah dengan cepat. Apa yang kini modern, lima tahun yang akan datang bisa jadi telah kuno, kolot, usang. Tapi moral dan nilai-nilai budaya seyogyanya bertahan jauh lebih lama.

Terobosan-terobosan perlu dilakukan khususnya dalam mengembangkan platform tata kelola yang lebih baik dan memudahkan kebudayaan untuk bergerak secara natural sekaligus membangun kesadaran masyarakat.

Termasuk dalam hal ini, platform keberadaan organisasi simpul budaya sebagai ruang untuk saling berbagi dan saling berinteraksi, dan bisa menjadi jembatan bagi semua pihak, termasuk masyarakat secara luas.
  Foto bersama saat sarasehan pegiat seni dan budaya Kota Magelang dengan Ketua KSBN Mayor Jenderal (Purn) Hendardji Soepandji di Kampung Menowo, Kota Magelang, Selasa (5/11/2019). (ANTARA/HO/Muhammad Nafi)

Dalam sejarahnya, Magelang pernah menorehkan peran yang cukup penting. Kongres Kebudayaan Indonesia yang pertama setelah era kemerdekaan diadakan di Kota Magelang. Perhelatan kebudayaan yang merupakan inisiatif Pusat Kebudayaan Kedu didukung Lembaga Kebudayaan Indonesia serta Kementerian Pendidikan Pengajaran dan Kebudayaan itu, dihadiri banyak tokoh nasional yang bisa dianggap sebagai para pendiri bangsa.

Acara berlangsung di pendopo kabupaten (sekarang BPLK) pada 20 Agustus 1948, dibuka Presiden Soekarno. Kongres bertema, "Kebudayaan dan Pembangunan Masyarakat" itu, dengan tujuan mencari kesepakatan dalam menentukan konsep, kebijakan, dan strategi memajukan kebudayaan bangsa sebagaimana amanat Pasal 32 UUD 1945.

Peristiwa budaya berskala besar tersebut, setidaknya menyiratkan dua hal. Pertama, Magelang saat itu sudah memiliki infrastruktur yang mapan sebagai kota konvensi. Kedua, saat itu kebudayaan bisa jadi dianggap faktor penting dalam menentukan arah dan masa depan bangsa sehingga presiden dan para tokoh nasional memerlukan hadir dan bertemu di Magelang.

Pada era kemerdekaan, baik masa Orde Lama, Orde Baru, dan Reformasi,  kebudayaan mengalami perkembangan sangat dinamis, termasuk juga di Kota Magelang.

Setelah Reformasi, pada 2004 mulai dirintis upaya-upaya mendirikan organisasi simpul budaya melalui suatu pertemuan semua unsur terkait di Magelang.

Puncaknya, saat pertemuan di gedung Fisipol Universitas Tidar Magelang, diawali dengan perubahan nama dari Dewan Kebudayaan menjadi Dewan Kesenian Kota Magelang (DKKM), Budiono, dosen Universitas Tidar Magelang terpilih sebagai ketua.

Salah satu puncak pencapaian tertinggi masa DKKM kepengurusan Budiono dengan masuknya kegiatan Grebeg Gethuk dalam kebijakan Pemerintah Kota Magelang menjadi kegiatan rutin tahunan.

Seiring dengan berjalannya waktu, pada 2010 kepengurusan DKKM beralih ke Condro Bawono atau yang sering dikenal dengan nama Mbilung Sarawita.

Salah satu puncak pencapaian dari kepengurusannya, masuknya agenda Pameran Magelang Tempo Doeloe (MTD) dalam agenda kegiatan rutin peringatan hari jadi Kota Magelang. Sampai sekarang, kegiatan Grebeg Gethuk masih terus bertahan, hanya saja Pameran MTD sudah berhenti semenjak 2017.

DKKM kemudian beralih ke kepengurusan yang dipimpin Susilo Anggoro pada 2014. Seiring dengan semakin lemahnya peran DKKM sebagai organisasi simpul seni budaya di Kota Magelang, mulai 2019 dirintis berdirinya Komite Seni Budaya Nusantara (KSBN). Komite itu untuk memperkuat peran organisasi simpul budaya di Kota Magelang sebagai pengganti peran DKKM sebelumnya.

Menurut Sugeng Priyadi, Kabid Kebudayaan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kota Magelang, pembangunan merupakan tugas bersama seluruh elemen bangsa, baik pemerintah, akademisi, swasta, maupun masyarakat.

Dalam pembangunan dibutuhkan langkah sinergis antarelemen tersebut. Untuk itu, tetap diperlukan suatu lembaga yang dapat menampung, menyalurkan, dan mewakili aspirasi sekaligus membuat langkah-langkah yang disengkuyung bersama oleh semua pihak.

Dewan Kesenian Kota Magelang (DKKM) yang ada selama ini semestinya bisa berperan dalam hal tersebut. Hanya saja, memperhatikan dinamika yang berkembang dengan beberapa alasan rencana  penggantian peran dan fungsi organisasi, simpul tersebut yaitu DKKM (secara nomenklatur), belum mencakup semua objek pemajuan kebudayaan, di mana seni hanyalah salah satu bagian dari 10 objek kebudayaan.

Di samping itu, masa kerja pengurus DKKM telah berakhir pada 2017 dan belum ada gelagat pembaharuan. Salah satu kemungkinan penyebabnya adalah terjadinya gesekan-gesekan antarpengurus/anggota, sehingga kondisi seni budaya menjadi kurang kondusif.

Baca juga: Pariwisata Gunung Tidar Dipromosikan lewat "Festival Tidar"

Alasan selanjutnya, yaitu mengikuti perkembangan eksternal, yakni dibentuknya KSBN, baik di tingkat pusat, provinsi, maupun beberapa kabupaten dan kota. Beragam kegiatan KSBN terlihat menggeliat dan dipandang bisa berfungsi sebagai organisasi mitra pemerintah dalam upaya memajukan kebudayaan sebagaimana diamanatkan UU Nomor 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan.

Sebagai mitra, KSBN dapat terlibat dalam beberapa fungsi manajemen (perencanaan, pelaksanaan, pengawasan). Dalam perencanaan, maka memberikan sumbangsih pemikiran, aspirasi, dan masukan bagi pengambilan kebijakan.

Dalam pelaksanaan, KSBN dapat terlibat sebagai pelaku, pelaksana, pengisi, dan berbagai hal guna suksesnya program atau kegiatan. Dalam pengawasan, ikut memantau, mengawasi, melaporkan sekaligus memberikan umpan balik evaluasi dan solusi untuk perbaikan-perbaikan yang diperlukan.

Harapannya, KSBN dapat menjadi organisasi yang demokratis berdasar permusyawaratan seluruh anggota, bukan faktor dominasi kekuatan sekelompok tertentu. KSBN diharapkan dapat menjadi mitra sinergis dengan pemerintah dan elemen-elemen lainnya di Kota Magelang. KSBN diharapkan dapat menjadi organisasi yang mandiri.

"Yang tidak bergantung pada fasilitasi dari pemerintah," lanjut pria yang sering mengasosiasikan dirinya sebagai Gedang/Pisang Pinggiran yang tinggal di Kelurahan Gelangan ini.

Melihat perkembangan tersebut, bisa jadi pembangunan ekosistem kebudayaan tidaklah dapat tumbuh dengan sendirinya, melainkan dengan adanya rangsangan untuk dapat tumbuh dan berkembang di tengah-tengah masyarakat.

Ini bisa kita lakukan dengan kerja sama kebijakan antarinstansi atau lembaga, pemerintah, swasta, masyarakat pemilik kebudayaan, lembaga swadaya masyarakat, dan semua pihak terkait lainnya.

Menghidupkan kolaborasi antarlembaga atau intansi, komunitas, dan antarlini budaya lainnya dengan didukung pemikiran jernih adalah suatu keharusan dalam pengembangan dan pembangunan ekosistem kebudayaan ke depannya. (hms).

*) Muhammad Nafi, Koordinator Komunitas Pinggir Kali Kota Magelang

Baca juga: "Anoman Duta" dipentaskan jelang puncak HUT Kota Magelang
Baca juga: Kirab Budaya Ramaikan Hari Jadi Kota Magelang
 

Pewarta : Muhammad Nafi *)
Editor : Hari Atmoko
Copyright © ANTARA 2024