Solo (ANTARA) - Anggota DPRD Kota Surakarta dari PDIP Ginda Ferachtriawan, mengatakan, pada pembahasan Peratusan Daerah (Perda) Kawasan Tanpa Rokok (KTR) 2019 ada lima kawasan absolut tanpa merokok di Kota Solo.
"Pada pembahasan Perda KTR Kota Surakarta alasannya simpel saja, 'Asapmu Bukan Buat Untukku', sehingga hanya membatasi supaya yang mau merokok dipersilahkan, tetapi jangan mengganggu yang tidak merokok," kata Ginda yang juga anggota Pansus KTR DPRD Surakarta, di sela diskusi Perda (KTR) 2019 "Mengatur Bukan Melarang" yang digelar oleh Aliansi Masyarakat Tembakau Indonesia (AMTI), di Solo, Rabu.
Baca juga: Wacana pemblokiran iklan rokok hanya basa basi
Ginda mengatakan, lima kawasan absolut tanpa merokok tersebut, yakni tempat pendidikan, kesehatan, ibadah, angkutan umum, dan tempat bermain anak.
"Jadi batasannya sangat jelas kawasan yang sifatnya absolut hingga keluar dari pagarnya. Yang sifatnya tidak absolut, artinya boleh menyediakan tempat untuk merokok seperti tempat kerja dan tempat umum atau di tempat luar ruangan yang terbuka," katanya.
Dia mengatakan, Perda KTR Kota Surakarta ini dibuat sesuai amanat dari Peraturan Pemerintah (PP) No.09/2012. Perda KTR ini memang ada masyarakat yang pro dan kontra, tetapi akhirnya disahkan pada Selasa (6/8) malam oleh DPRD setempat.
Pihaknya berharap dengan acara diskusi tersebut bisa menyamakan pandangan, artinya dari aturan batasan kawasan tanpa rokok, dan kemudian ada juga sanksi bagi semua penanggung jawab tempat kerja, dan lima tempat absolut KTR yang melanggar aturan.
Selain itu, pihaknya juga berharap masih ada waktu satu tahun untuk melakukan sosialisasi Perda KTR sebelum diberlakukan. Perda KTR nanti setelah diajukan ke provinsi menjadi dokumen publik.
Nara sumber lainnya, Pakta Konsumen Hari Cahya selaku pendamping konsumen mengatakan, pihaknya mengapresiasi Perda KTR yang disahkan Selasa (6/8) malam oleh DPRD Kota Surakarta menunjukan komitmen dan intergritas sebagai wakil rakyat.
Pakta Konsumen ingin menemani masyarakat, yakni kosumen, baik dalam dinamika publik maupun hidup bersama. Ada empat proses dalam mengawal konsumen, yakni menemani dalam proses regulasi, edukasi kepada masyarakat, advokasi, dan refleksi.
Menurut dia, Pakta Konsumen menemani dinamika hidup bersama. Perokok menjadi bagian hidup bersama yang relevan, faktanya ada 90 juta perokok dari data Kementerian Kesehatan pada 2017. Dari itu, ada hasil melalui cukai tembakau pada 2018 berkisar Rp178 triliun.
Ketua Bidang Media Center AMTI, Hananto Wibisono mengatakan, Perda KTR bagian amanah dari Undang-Undang Kesehatan Tahun 2009, Pasal 36 dan Pasal 115 yang diturunkan lagi menjadi PP No.109/2012, Pasal 50 ayat 2, memang setiap daerah harus mempunyai KTR.
Hananto mengatakan, AMTI pada prinsipnya menjaga eksistensi asosiasi masyarakat tembakau Indonesia. AMTI akan mengawal masyarakat tembakau, karena ada enam juta orang lebih yang hidupnya tergantung dari sektor tembakau.
Baca juga: BC bersama Pemkot Pekalongan intensifkan operasi cukai
"Ada konstribusi negara yang cukup besar dari masyarakat tembakau untuk Indonesia," katanya.
Dia mengatakan, target Kementerian Kesehatan pada 2019, semua kabupaten, kota, dan provinsi harus mempunyai Perda KTR. Berdasarkan data dari Kementerian Kesehatan hingga sekarang, sudah ada 418 daerah atau sekitar 67 persen wilayah yang harus diselesaikan.
"AMTI bukan sekelompok orang yang anti regulasi, tetapi ada regulasi yang punya cita rasa nusantara. Jangan sampai Perda KTR produk hukumnya hanya menjadi ornamen," katanya.
Baca juga: Pabrik rokok diminta beli tembakau Temanggung dengan harga tinggi
"Pada pembahasan Perda KTR Kota Surakarta alasannya simpel saja, 'Asapmu Bukan Buat Untukku', sehingga hanya membatasi supaya yang mau merokok dipersilahkan, tetapi jangan mengganggu yang tidak merokok," kata Ginda yang juga anggota Pansus KTR DPRD Surakarta, di sela diskusi Perda (KTR) 2019 "Mengatur Bukan Melarang" yang digelar oleh Aliansi Masyarakat Tembakau Indonesia (AMTI), di Solo, Rabu.
Baca juga: Wacana pemblokiran iklan rokok hanya basa basi
Ginda mengatakan, lima kawasan absolut tanpa merokok tersebut, yakni tempat pendidikan, kesehatan, ibadah, angkutan umum, dan tempat bermain anak.
"Jadi batasannya sangat jelas kawasan yang sifatnya absolut hingga keluar dari pagarnya. Yang sifatnya tidak absolut, artinya boleh menyediakan tempat untuk merokok seperti tempat kerja dan tempat umum atau di tempat luar ruangan yang terbuka," katanya.
Dia mengatakan, Perda KTR Kota Surakarta ini dibuat sesuai amanat dari Peraturan Pemerintah (PP) No.09/2012. Perda KTR ini memang ada masyarakat yang pro dan kontra, tetapi akhirnya disahkan pada Selasa (6/8) malam oleh DPRD setempat.
Pihaknya berharap dengan acara diskusi tersebut bisa menyamakan pandangan, artinya dari aturan batasan kawasan tanpa rokok, dan kemudian ada juga sanksi bagi semua penanggung jawab tempat kerja, dan lima tempat absolut KTR yang melanggar aturan.
Selain itu, pihaknya juga berharap masih ada waktu satu tahun untuk melakukan sosialisasi Perda KTR sebelum diberlakukan. Perda KTR nanti setelah diajukan ke provinsi menjadi dokumen publik.
Nara sumber lainnya, Pakta Konsumen Hari Cahya selaku pendamping konsumen mengatakan, pihaknya mengapresiasi Perda KTR yang disahkan Selasa (6/8) malam oleh DPRD Kota Surakarta menunjukan komitmen dan intergritas sebagai wakil rakyat.
Pakta Konsumen ingin menemani masyarakat, yakni kosumen, baik dalam dinamika publik maupun hidup bersama. Ada empat proses dalam mengawal konsumen, yakni menemani dalam proses regulasi, edukasi kepada masyarakat, advokasi, dan refleksi.
Menurut dia, Pakta Konsumen menemani dinamika hidup bersama. Perokok menjadi bagian hidup bersama yang relevan, faktanya ada 90 juta perokok dari data Kementerian Kesehatan pada 2017. Dari itu, ada hasil melalui cukai tembakau pada 2018 berkisar Rp178 triliun.
Ketua Bidang Media Center AMTI, Hananto Wibisono mengatakan, Perda KTR bagian amanah dari Undang-Undang Kesehatan Tahun 2009, Pasal 36 dan Pasal 115 yang diturunkan lagi menjadi PP No.109/2012, Pasal 50 ayat 2, memang setiap daerah harus mempunyai KTR.
Hananto mengatakan, AMTI pada prinsipnya menjaga eksistensi asosiasi masyarakat tembakau Indonesia. AMTI akan mengawal masyarakat tembakau, karena ada enam juta orang lebih yang hidupnya tergantung dari sektor tembakau.
Baca juga: BC bersama Pemkot Pekalongan intensifkan operasi cukai
"Ada konstribusi negara yang cukup besar dari masyarakat tembakau untuk Indonesia," katanya.
Dia mengatakan, target Kementerian Kesehatan pada 2019, semua kabupaten, kota, dan provinsi harus mempunyai Perda KTR. Berdasarkan data dari Kementerian Kesehatan hingga sekarang, sudah ada 418 daerah atau sekitar 67 persen wilayah yang harus diselesaikan.
"AMTI bukan sekelompok orang yang anti regulasi, tetapi ada regulasi yang punya cita rasa nusantara. Jangan sampai Perda KTR produk hukumnya hanya menjadi ornamen," katanya.
Baca juga: Pabrik rokok diminta beli tembakau Temanggung dengan harga tinggi