Semarang (ANTARA) - Pemerintah melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral serta Dewan Energi Nasional melakukan percepatan dalam mengembangkan energi baru terbarukan (EBT) untuk ketahanan energi pada masa mendatang.
"Langkah-langkah dalam upaya percepatan pengembangan EBT antara lain peningkatan potensi dan kualitas data EBT untuk prioritas pengembangan, penentuan alokasi lahan untuk pengembangan EBT, perbaikan lingkungan di 'zone catchment area'," kata Sekretaris Jenderal Dewan Energi Nasional Saleh Abdurrahman di Semarang, Jawa Tengah, Selasa.
Kemudian, pemeliharaan dan pemulihan area tangkapan air di kawasan hutan, menggalakkan budidaya tanaman-tanaman biomassa non-pangan, memfasilitasi pendirian industri hulu hilir pembangkit listrik tenaga surya (PLTS).
Selain itu, membangun PLTS untuk fasilitas transportasi seperti terminal, stasiun, pelabuhan, bandara, membangun pembangkit listrik berbasis sampah dengan kapasitas paling sedikit 10 mega watt, serta mempermudah akses data dan informasi, percepatan pelayanan investasi, pemberian insentif untuk meningkatkan daya saing investasi dan promosi.
Hal tersebut disampaikan Saleh saat menjadi salah seorang pembicara pada Seminar Nasional Energi 2019 dengan tema
"Implementasi Rencana Umum Energi Daerah Untuk Ketahanan Energi Yang Berkelanjutan" di Gedung Pascasarjana Universitas Diponegoro Semarang.
Baca juga: Anggota DPR dorong penggunaan energi terbarukan
Ia menyebutkan bahwa Indonesia pada 2045 diharapkan sudah menjadi negara industri yang berbasis pada nilai tambah dan dapat mengurangi penggunaan energi fosil yang tidak dapat diperbarui.
Oleh sebab itu, Indonesia dituntut untuk mampu menghadirkan dan menggunakan EBT.
Kecenderungan penggunaan energi kedepan adalah pemberian ruang yang lebih besar kepada pemerintah daerah untuk mengelola konsumsi dan memasok sumber energi.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2007 Tentang Energi, pemerintah wajib membuat Rencana Umum Energi Nasional (RUEN), sedangkan pemerintah daerah diminta untuk membuat Rencana Umum Energi Daerah (RUED) yang merupakan penjabaran dari RUEN.
Terkait dengan hal itu, Dewan Energi Nasional telah menetapkan bauran energi primer, minyak bumi 25 persen, gas bumi 22 persen, batubara 30 persen, dan EBT 23 persen.
"Target ini tentu membutuhkan infrastruktur listrik yang terus menerus dan berkesinambungan, pnggunaan bahan bakar minyak (BBM) pun telah dipatok untuk tidak lebih dari 25 persen pada 2025 mendatang," ujarnya.
Mantan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral serta mantan Menteri Pertahanan Purnomo Yusgiantoro yang juga menjadi pembicara seminar nasional berpendapat, ada beberapa faktor yang memengaruhi ketahanan energi di dunia yaitu politik dan keamanan.
"Politik dan keamanan merupakan sumber konflik dan sangat berpengaruh pada ketahanan energi dunia," katanya.
Purnomo mencontohkan konflik di Malaysia dan Brunei terhadap minyak, konflik Laut China Selatan dan konflik lainnya sering tumpang tindih dengan sumber daya alam yang terkandung didalamnya.
"Pada periode 2030-2040 pemakaian energi fosil masih sangat dominan dan hal itu membuat tingkat ketergantungan terhadap energi fosil makin tinggi sehingga perlu energi alternatif," ujarnya.
Sementara itu, pengamat Geologi Surono akan mengungkapkan bahwa kondisi geologi di Indonesia, khususnya di Provinsi Jawa Tengah yang terdapat banyak patahan yang dinilai sangat berbahaya bila menjadi lokasi pembangunan dan pengembangan energi nuklir.
Baca juga: DPRD Jateng dorong pemanfaatan energi baru terbarukan
"Langkah-langkah dalam upaya percepatan pengembangan EBT antara lain peningkatan potensi dan kualitas data EBT untuk prioritas pengembangan, penentuan alokasi lahan untuk pengembangan EBT, perbaikan lingkungan di 'zone catchment area'," kata Sekretaris Jenderal Dewan Energi Nasional Saleh Abdurrahman di Semarang, Jawa Tengah, Selasa.
Kemudian, pemeliharaan dan pemulihan area tangkapan air di kawasan hutan, menggalakkan budidaya tanaman-tanaman biomassa non-pangan, memfasilitasi pendirian industri hulu hilir pembangkit listrik tenaga surya (PLTS).
Selain itu, membangun PLTS untuk fasilitas transportasi seperti terminal, stasiun, pelabuhan, bandara, membangun pembangkit listrik berbasis sampah dengan kapasitas paling sedikit 10 mega watt, serta mempermudah akses data dan informasi, percepatan pelayanan investasi, pemberian insentif untuk meningkatkan daya saing investasi dan promosi.
Hal tersebut disampaikan Saleh saat menjadi salah seorang pembicara pada Seminar Nasional Energi 2019 dengan tema
"Implementasi Rencana Umum Energi Daerah Untuk Ketahanan Energi Yang Berkelanjutan" di Gedung Pascasarjana Universitas Diponegoro Semarang.
Baca juga: Anggota DPR dorong penggunaan energi terbarukan
Ia menyebutkan bahwa Indonesia pada 2045 diharapkan sudah menjadi negara industri yang berbasis pada nilai tambah dan dapat mengurangi penggunaan energi fosil yang tidak dapat diperbarui.
Oleh sebab itu, Indonesia dituntut untuk mampu menghadirkan dan menggunakan EBT.
Kecenderungan penggunaan energi kedepan adalah pemberian ruang yang lebih besar kepada pemerintah daerah untuk mengelola konsumsi dan memasok sumber energi.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2007 Tentang Energi, pemerintah wajib membuat Rencana Umum Energi Nasional (RUEN), sedangkan pemerintah daerah diminta untuk membuat Rencana Umum Energi Daerah (RUED) yang merupakan penjabaran dari RUEN.
Terkait dengan hal itu, Dewan Energi Nasional telah menetapkan bauran energi primer, minyak bumi 25 persen, gas bumi 22 persen, batubara 30 persen, dan EBT 23 persen.
"Target ini tentu membutuhkan infrastruktur listrik yang terus menerus dan berkesinambungan, pnggunaan bahan bakar minyak (BBM) pun telah dipatok untuk tidak lebih dari 25 persen pada 2025 mendatang," ujarnya.
Mantan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral serta mantan Menteri Pertahanan Purnomo Yusgiantoro yang juga menjadi pembicara seminar nasional berpendapat, ada beberapa faktor yang memengaruhi ketahanan energi di dunia yaitu politik dan keamanan.
"Politik dan keamanan merupakan sumber konflik dan sangat berpengaruh pada ketahanan energi dunia," katanya.
Purnomo mencontohkan konflik di Malaysia dan Brunei terhadap minyak, konflik Laut China Selatan dan konflik lainnya sering tumpang tindih dengan sumber daya alam yang terkandung didalamnya.
"Pada periode 2030-2040 pemakaian energi fosil masih sangat dominan dan hal itu membuat tingkat ketergantungan terhadap energi fosil makin tinggi sehingga perlu energi alternatif," ujarnya.
Sementara itu, pengamat Geologi Surono akan mengungkapkan bahwa kondisi geologi di Indonesia, khususnya di Provinsi Jawa Tengah yang terdapat banyak patahan yang dinilai sangat berbahaya bila menjadi lokasi pembangunan dan pengembangan energi nuklir.
Baca juga: DPRD Jateng dorong pemanfaatan energi baru terbarukan