Magelang (ANTARA) - Ziarah ke makam pendiri Padepokan Tjpta Boedaja dalam rangkaian kirab budaya para seniman dan tokoh Komunitas Lima Gunung menjadi pembuka puncak Festival Lima Gunung XVIII/2019 di kawasan Gunung Merapi Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, Minggu.
Para seniman dari berbagai kelompok kesenian, dengan para petinggi Komunitas Lima Gunung (Merapi, Merbabu, Andong, Sumbing, dan Menoreh), dipimpin sejumlah sesepuh Padepokan Tjipta Boedaja Dusun Tutup Ngisor, Desa Sumber, Kecamatan Dukun, Kabupaten Magelang, Bambang Tri Santoso, Sarwoto, Sitras Anjilin berjalan dari panggung pementasan menuju makam Romo Yoso Soedarmo (1885-1990), pendiri padepokan tersebut pada 1937.
Tembang berbahasa Jawa dilantunkan oleh dalang wayang dari komunitas seniman petani itu, Sih Agung Prasetyo, ketika rombongan ziarah dan kirab memulai prosesi.
Bambang meletakkan dupa, memimpin doa, menabur bunga di makam bercungkup di atas kolam kecil di belakang padepokan, tak jauh dari Sungai Senowo yang aliran airnya berhulu di Gunung Merapi.
Para petinggi komunitas, termasuk budayawan Sutanto Mendut dan Ketua Komunitas Lima Gunung Supadi Haryanto, secara bergantian juga meletakkan dupa dan menghormat Romo Yoso yang disimbolkan dengan makam bernisan tersebut.
Mereka bersama rombongan berbagai kesenian dengan kostum masing-masing, melanjutkan kirab melewati gang-gang dengan konblok permukiman warga Tutup Ngisor, tuan rumah festival tahun ini, hingga panggung pementasan.
Baca juga: Museum Lima Gunung koleksi gambus bambu Slamet Gundono
Dalam kirab tersebut, mereka juga mengusung dengan tandu instalasi gunungan hasil bumi dan sayuran, membawa sejumlah spanduk dan properti berupa 10-an besek bertuliskan intinya tentang pentingnya mewujudkan festival yang bermartabat dan menggembirakan masyarakat. Festival Lima Gunung adalah agenda tahunan kebudayaan yang diselenggarakan tanpa sponsor oleh Komunitas Lima Gunung. Tahun ini festival mereka bertajuk "Gunung Lumbung Budaya" dengan sekitar 77 pementasan kesenian selama 5-7 Juli 2019.
Setelah rombongan kirab tiba dipanggung pementasan berproperti Burung Garuda ukuran raksasa, dilanjutkan pemukulan gong secara bergantian oleh para tokoh Komunitas Lima Gunung.
Pada kesempatan itu, pengunjung festival dari Korea Selatan, Doru, yang sudah tiga kali menyaksikan perhelatan tahunan tersebut, menyerahkan lukisan wajah Sutanto Mendut karyanya kepada pemimpin tertinggi komunitas itu, sedangkan seorang perwakilan grup kesenian dari Lumajang, Jawa Timur, Muhammad Nasrulah, menyerahkan "barong cokot" kepada Sutanto Mendut.
Saat pementasan sesi Minggu pagi, pemusik dari Solo yang pernah bergabung sebagai tim pemusik wayang suket dengan dalang Slamet Gundono (1966-2014), Dwi Priyo Sumarto, menyerahkan gambus bambu yang pernah dipakai sang dalang untuk berbagai pementasannya kepada Sutanto Mendut. Berbagai benda itu selanjutnya menjadi koleksi Museum Lima Gunung di Kompleks Studio Mendut, Kelurahan Mendut, Kecamatan Mungkid, Kabupaten Magelang, di dekat Candi Mendut.
Selain itu, pengajar Insitut Seni Indonesia (ISI) Surakarta Doktor Joko Aswoyo menyerahkan kepada Sutanto buku berjudul "Sumpah Tanah", bagian dari hasil risetnya sejak 2010 tentang Komunitas Lima Gunung, untuk memperoleh gelar doktor di kampus itu.
"Masih banyak yang bisa digali. Buku ini menarasikan Komunitas Lima Gunung. Buku ini memperpanjang umur persahabatan saya pribadi dan keluarga dengan Lima Gunung," katanya.
Sitras Anjilin yang juga salah satu petinggi komunitas menyatakan berterima kasih atas dukungan semua pihak untuk penyelenggaraan festival tahun ini, terutama berbagai grup kesenian dari daerah setempat, berbagai kota, dan luar negeri.
"Semua peserta datang untuk mengisi festival dengan biaya sendiri. Itu tidak bisa dilaksanakan di mana-mana. Itu hasil cinta kasih sayang, karena peserta mencintai Lima Gunung, mencintai seserawungan, pergaulan," katanya.
Baca juga: Festival Lima Gunung 2019 digarap milenial desa
Para seniman dari berbagai kelompok kesenian, dengan para petinggi Komunitas Lima Gunung (Merapi, Merbabu, Andong, Sumbing, dan Menoreh), dipimpin sejumlah sesepuh Padepokan Tjipta Boedaja Dusun Tutup Ngisor, Desa Sumber, Kecamatan Dukun, Kabupaten Magelang, Bambang Tri Santoso, Sarwoto, Sitras Anjilin berjalan dari panggung pementasan menuju makam Romo Yoso Soedarmo (1885-1990), pendiri padepokan tersebut pada 1937.
Tembang berbahasa Jawa dilantunkan oleh dalang wayang dari komunitas seniman petani itu, Sih Agung Prasetyo, ketika rombongan ziarah dan kirab memulai prosesi.
Bambang meletakkan dupa, memimpin doa, menabur bunga di makam bercungkup di atas kolam kecil di belakang padepokan, tak jauh dari Sungai Senowo yang aliran airnya berhulu di Gunung Merapi.
Para petinggi komunitas, termasuk budayawan Sutanto Mendut dan Ketua Komunitas Lima Gunung Supadi Haryanto, secara bergantian juga meletakkan dupa dan menghormat Romo Yoso yang disimbolkan dengan makam bernisan tersebut.
Mereka bersama rombongan berbagai kesenian dengan kostum masing-masing, melanjutkan kirab melewati gang-gang dengan konblok permukiman warga Tutup Ngisor, tuan rumah festival tahun ini, hingga panggung pementasan.
Baca juga: Museum Lima Gunung koleksi gambus bambu Slamet Gundono
Dalam kirab tersebut, mereka juga mengusung dengan tandu instalasi gunungan hasil bumi dan sayuran, membawa sejumlah spanduk dan properti berupa 10-an besek bertuliskan intinya tentang pentingnya mewujudkan festival yang bermartabat dan menggembirakan masyarakat. Festival Lima Gunung adalah agenda tahunan kebudayaan yang diselenggarakan tanpa sponsor oleh Komunitas Lima Gunung. Tahun ini festival mereka bertajuk "Gunung Lumbung Budaya" dengan sekitar 77 pementasan kesenian selama 5-7 Juli 2019.
Setelah rombongan kirab tiba dipanggung pementasan berproperti Burung Garuda ukuran raksasa, dilanjutkan pemukulan gong secara bergantian oleh para tokoh Komunitas Lima Gunung.
Pada kesempatan itu, pengunjung festival dari Korea Selatan, Doru, yang sudah tiga kali menyaksikan perhelatan tahunan tersebut, menyerahkan lukisan wajah Sutanto Mendut karyanya kepada pemimpin tertinggi komunitas itu, sedangkan seorang perwakilan grup kesenian dari Lumajang, Jawa Timur, Muhammad Nasrulah, menyerahkan "barong cokot" kepada Sutanto Mendut.
Saat pementasan sesi Minggu pagi, pemusik dari Solo yang pernah bergabung sebagai tim pemusik wayang suket dengan dalang Slamet Gundono (1966-2014), Dwi Priyo Sumarto, menyerahkan gambus bambu yang pernah dipakai sang dalang untuk berbagai pementasannya kepada Sutanto Mendut. Berbagai benda itu selanjutnya menjadi koleksi Museum Lima Gunung di Kompleks Studio Mendut, Kelurahan Mendut, Kecamatan Mungkid, Kabupaten Magelang, di dekat Candi Mendut.
Selain itu, pengajar Insitut Seni Indonesia (ISI) Surakarta Doktor Joko Aswoyo menyerahkan kepada Sutanto buku berjudul "Sumpah Tanah", bagian dari hasil risetnya sejak 2010 tentang Komunitas Lima Gunung, untuk memperoleh gelar doktor di kampus itu.
"Masih banyak yang bisa digali. Buku ini menarasikan Komunitas Lima Gunung. Buku ini memperpanjang umur persahabatan saya pribadi dan keluarga dengan Lima Gunung," katanya.
Sitras Anjilin yang juga salah satu petinggi komunitas menyatakan berterima kasih atas dukungan semua pihak untuk penyelenggaraan festival tahun ini, terutama berbagai grup kesenian dari daerah setempat, berbagai kota, dan luar negeri.
"Semua peserta datang untuk mengisi festival dengan biaya sendiri. Itu tidak bisa dilaksanakan di mana-mana. Itu hasil cinta kasih sayang, karena peserta mencintai Lima Gunung, mencintai seserawungan, pergaulan," katanya.
Baca juga: Festival Lima Gunung 2019 digarap milenial desa