Semarang (ANTARA) - Pakar keamanan siber dari CISSReC Doktor Pratama Persadha memandang perlu ada "disclaimer" (pernyataan penyangkalan) pada situs hitung cepat Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia (KPU RI) untuk memperjelas kondisi kepada masyarakat.
Menjawab pertanyaan ANTARA di Semarang, Rabu, Ketua Lembaga Riset Keamanan Siber dan Komunikasi (Communication and Information System Security Research Center/CISSReC) menjelaskan bahwa "disclaimer" memang berfungsi menerangkan terkait dengan konten sebuah web.
"Terkait dengan 'disclaimer' yang baru muncul, memang disayangkan. Namun, itu lebih baik dibanding tidak ada sama sekali," kata Pratama yang pernah sebagai Ketua Tim Lembaga Sandi Negara (sekarang BSSN) Pengamanan Teknologi Informasi (TI) KPU pada Pemilu 2014.
Ia menilai situs hitung cepat KPU memang masih ada kekurangan, salah satunya adalah ketiadaan sistem untuk membatasi input lebih dari 300 suara sehingga ada beberapa kesalahan yang diprotes publik.
"Namun, di sisi lain kita harus apresiasi bahwa KPU membuka peluang koreksi data input yang salah," kata Pratama.
Menyinggung isi "disclaimer", Pratama mengatakan bahwa konten itu memang memperjelas posisi situs hitung cepat KPU yang memang hanya sebagai media informasi, bukan sebagai hasil akhir yang dipakai.
Karena menurut Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umun, kata Pratama, hasil pemilu adalah penghitungan manual Formulir C1. Adapaun C1 yang diunggah (upload) di situs hitung bisa menjadi komparasi bila ditemukan kesalahan hitung.
Dengan berbagai peristiwa pada Pemilu 2019, Pratama berharap nanti pada Pemilihan Kepala Daerah 2020 ada beberapa kota besar yang mencoba pemilu dengan model e-voting. Hasil dan keakuratan lebih baik jika diiringi oleh model keamanan yang kuat.
"Kita tentu berharap pemilu di Indonesia terus dilakukan perbaikan," kata Pratama yang juga dosen Etnografi Dunia Maya pada Program Studi S-2 Antropologi Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta.
Menjawab pertanyaan ANTARA di Semarang, Rabu, Ketua Lembaga Riset Keamanan Siber dan Komunikasi (Communication and Information System Security Research Center/CISSReC) menjelaskan bahwa "disclaimer" memang berfungsi menerangkan terkait dengan konten sebuah web.
"Terkait dengan 'disclaimer' yang baru muncul, memang disayangkan. Namun, itu lebih baik dibanding tidak ada sama sekali," kata Pratama yang pernah sebagai Ketua Tim Lembaga Sandi Negara (sekarang BSSN) Pengamanan Teknologi Informasi (TI) KPU pada Pemilu 2014.
Ia menilai situs hitung cepat KPU memang masih ada kekurangan, salah satunya adalah ketiadaan sistem untuk membatasi input lebih dari 300 suara sehingga ada beberapa kesalahan yang diprotes publik.
"Namun, di sisi lain kita harus apresiasi bahwa KPU membuka peluang koreksi data input yang salah," kata Pratama.
Menyinggung isi "disclaimer", Pratama mengatakan bahwa konten itu memang memperjelas posisi situs hitung cepat KPU yang memang hanya sebagai media informasi, bukan sebagai hasil akhir yang dipakai.
Karena menurut Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umun, kata Pratama, hasil pemilu adalah penghitungan manual Formulir C1. Adapaun C1 yang diunggah (upload) di situs hitung bisa menjadi komparasi bila ditemukan kesalahan hitung.
Dengan berbagai peristiwa pada Pemilu 2019, Pratama berharap nanti pada Pemilihan Kepala Daerah 2020 ada beberapa kota besar yang mencoba pemilu dengan model e-voting. Hasil dan keakuratan lebih baik jika diiringi oleh model keamanan yang kuat.
"Kita tentu berharap pemilu di Indonesia terus dilakukan perbaikan," kata Pratama yang juga dosen Etnografi Dunia Maya pada Program Studi S-2 Antropologi Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta.