Semarang (ANTARA) - Penangkapan anggota DPR RI Muhammad Romahurmuziy menjelang 2 hari pelaksanaan debat ketiga Pilpres 2019, Jumat (15/3), menambah deretan nama pucuk pimpinan partai yang mendekam di penjara gara-gara kasus korupsi.
Rommy, sapaan akrab mantan Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Romahurmuziy, ditangkap di Sidoarjo, Jawa Timur, atas dugaan suap untuk seleksi jabatan di lingkungan Kementerian Agama. Rommy ditetapkan sebagai tersangka korupsi bersama dengan Kepala Kanwil Kemenag Jawa Timur Haris Hasanudin dan Kepala Kanwil Kemenag Gresik Muhammad Muafaq Wirahadi.
Nama Rommy menambah daftar panjang politikus notabene ketua umum partai yang terkena masalah hukum. Sebelumnya, Anas Urbaningrum (mantan Ketua Umum Partai Demokrat), Luthfi Hasan Ishaaq (mantan Presiden Partai Keadilan Sejahtera), Suryadharma Ali (mantan Ketua Umum PPP), dan Setya Novanto (mantan Ketua Umum Partai Golkar).
Di satu sisi, penangkapan terhadap mereka menunjukkan Komisi Pemberantasan Korupsi Republik Indonesia tidak tebang pilih sekaligus mematahkan anggapan bahwa hukum hanya tajam ke bawah. Dalam hal ini, KPK RI telah menunjukkan kepada publik bahwa hukum juga tajam ke atas. Bahkan, dalam kurun waktu 15 tahun terakhir, ada 19 gubernur, hampir 200 bupati, dan lebih dari 100 anggota DPR tertangkap karena korupsi.
Dengan tertangkapnya sejumlah pucuk pimpinan partai, kepala daerah, dan wakil rakyat, Indonesia saat ini (bisa dikatakan) dalam kondisi darurat korupsi. Namun, seyogianya tidak sekadar wacana, tetapi perlu langkah riil dari semua pihak.
Sempat mengemuka perihal evaluasi sistem pemilu begitu pejabat terkena operasi tangkap tangan (OTT) KPK. Sistem pemilu tak perlu dijadikan kambing hitam. Sebagus apa pun sistemnya apabila moralnya kurang kuat, tetap saja akan tergoda. Hal ini perlu dicegah oleh semua pihak, mulai dari lingkungan keluarga, lingkungan kerja, rekrutmen calon anggota legislatif, pemilihan calon pengurus partai, hingga pucuk pimpinan parpol.
Dengan demikian, darurat narkoba tidak sekadar wacana, tetapi memerlukan pelibatan semua pihak guna mencegah terjadinya korupsi. Dalam hal ini perlu peran aktif keluarga yang merupakan unit sosial terkecil dalam lingkungan masyarakat. Misalnya, jangan menerima uang dari istri/suami yang sumbernya tidak jelas. Anggota keluarga perlu menanyakan asal uangnya dari mana.
Rommy, sapaan akrab mantan Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Romahurmuziy, ditangkap di Sidoarjo, Jawa Timur, atas dugaan suap untuk seleksi jabatan di lingkungan Kementerian Agama. Rommy ditetapkan sebagai tersangka korupsi bersama dengan Kepala Kanwil Kemenag Jawa Timur Haris Hasanudin dan Kepala Kanwil Kemenag Gresik Muhammad Muafaq Wirahadi.
Nama Rommy menambah daftar panjang politikus notabene ketua umum partai yang terkena masalah hukum. Sebelumnya, Anas Urbaningrum (mantan Ketua Umum Partai Demokrat), Luthfi Hasan Ishaaq (mantan Presiden Partai Keadilan Sejahtera), Suryadharma Ali (mantan Ketua Umum PPP), dan Setya Novanto (mantan Ketua Umum Partai Golkar).
Di satu sisi, penangkapan terhadap mereka menunjukkan Komisi Pemberantasan Korupsi Republik Indonesia tidak tebang pilih sekaligus mematahkan anggapan bahwa hukum hanya tajam ke bawah. Dalam hal ini, KPK RI telah menunjukkan kepada publik bahwa hukum juga tajam ke atas. Bahkan, dalam kurun waktu 15 tahun terakhir, ada 19 gubernur, hampir 200 bupati, dan lebih dari 100 anggota DPR tertangkap karena korupsi.
Dengan tertangkapnya sejumlah pucuk pimpinan partai, kepala daerah, dan wakil rakyat, Indonesia saat ini (bisa dikatakan) dalam kondisi darurat korupsi. Namun, seyogianya tidak sekadar wacana, tetapi perlu langkah riil dari semua pihak.
Sempat mengemuka perihal evaluasi sistem pemilu begitu pejabat terkena operasi tangkap tangan (OTT) KPK. Sistem pemilu tak perlu dijadikan kambing hitam. Sebagus apa pun sistemnya apabila moralnya kurang kuat, tetap saja akan tergoda. Hal ini perlu dicegah oleh semua pihak, mulai dari lingkungan keluarga, lingkungan kerja, rekrutmen calon anggota legislatif, pemilihan calon pengurus partai, hingga pucuk pimpinan parpol.
Dengan demikian, darurat narkoba tidak sekadar wacana, tetapi memerlukan pelibatan semua pihak guna mencegah terjadinya korupsi. Dalam hal ini perlu peran aktif keluarga yang merupakan unit sosial terkecil dalam lingkungan masyarakat. Misalnya, jangan menerima uang dari istri/suami yang sumbernya tidak jelas. Anggota keluarga perlu menanyakan asal uangnya dari mana.