Menjelang hari-H pencoblosan pemilu serentak, 17 April 2019, sejumlah oknum calon anggota legislatif mulai bergerilya dengan mendatangi pengurus rukun tetangga dan rukun warga. Ada yang sempat bertatap muka, ada pula sekadar titip "uang silaturahmi" kepada pengurus RT.
Dengan asumsi jumlah rukun tetangga di Kelurahan Mangunharjo, Kecamatan Tembalang, Kota Semarang sebanyak 71 RT, sang oknum setidaknya mengeluarkan anggaran Rp71 juta atau masing-masing RT mendapat jatah Rp1 juta. Ini baru satu kelurahan. Di Kota Semarang tercatat 177 kelurahan yang tersebar di 16 kecamatan.
Ada pula dari sekian oknum caleg itu yang meminta tolong melalui jalur pertemanan untuk meraih suara pada pemilu anggota legislatif. Bahkan, sang oknum menyanggupi memberikan dana sebesar Rp100 ribu per orang. Biaya politik ini relatif mahal apabila jumlahnya mencapai puluhan ribu orang.
Pada Pemilu Anggota DPR RI 2014 di Daerah Pemilihan Jawa Tengah I (Kota/Kabupaten Semarang, Kota Salatiga, dan Kabupaten Kendal), misalnya, caleg peraih suara terbanyak mencapai 128.956 suara, sedangkan terendah 25.615 suara. Dengan asumsi Rp100 ribu/orang, setidaknya sang oknum caleg menyiapkan anggaran lebih dari Rp2,5 miliar.
Yang menjadi pertanyaan apakah modal politik itu bakal kembali kalau yang bersangkutan menjadi wakil rakyat? Sebaliknya, jika tidak terpilih? Hal ini tampaknya perlu menjadi renungan sang caleg sebelum membagi-bagikan uangnya menjelang Pemilu 2019. Apalagi, di dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, Pasal 286, caleg dilarang menjanjikan dan/atau memberikan uang atau materi lainnya untuk memengaruhi penyelenggara pemilu dan/atau pemilih. Bahkan, dapat didiskualifikasi sebagai caleg.
Tidak sekadar sanksi administratif berupa pembatalan sebagai caleg, yang bersangkutan terancam pidana penjara paling lama 2 tahun dan denda paling banyak Rp24 juta (vide Pasal 523 UU No. 7/2017 tentang Pemilu).
Tidak terkecuali caleg dan/atau tim kampanye pemilu, siapa saja yang terbukti melanggar Pasal 515 dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 tahun dan denda paling banyak Rp36 juta. Dalam pasal ini, praktik politik uang dilakukan pada saat pemungutan suara.
Di sinilah pentingnya peran pengurus RT/RW dalam menangkal praktik politik uang pada Pemilu 2019. Dengan menolak pemberian uang dari sang oknum, mereka memberikan kontribusi yang berarti pada pelaksanaan pemilu yang berlandaskan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil. Hal ini sekaligus mencegah semua pihak berurusan dengan pihak berwajib.
Dengan asumsi jumlah rukun tetangga di Kelurahan Mangunharjo, Kecamatan Tembalang, Kota Semarang sebanyak 71 RT, sang oknum setidaknya mengeluarkan anggaran Rp71 juta atau masing-masing RT mendapat jatah Rp1 juta. Ini baru satu kelurahan. Di Kota Semarang tercatat 177 kelurahan yang tersebar di 16 kecamatan.
Ada pula dari sekian oknum caleg itu yang meminta tolong melalui jalur pertemanan untuk meraih suara pada pemilu anggota legislatif. Bahkan, sang oknum menyanggupi memberikan dana sebesar Rp100 ribu per orang. Biaya politik ini relatif mahal apabila jumlahnya mencapai puluhan ribu orang.
Pada Pemilu Anggota DPR RI 2014 di Daerah Pemilihan Jawa Tengah I (Kota/Kabupaten Semarang, Kota Salatiga, dan Kabupaten Kendal), misalnya, caleg peraih suara terbanyak mencapai 128.956 suara, sedangkan terendah 25.615 suara. Dengan asumsi Rp100 ribu/orang, setidaknya sang oknum caleg menyiapkan anggaran lebih dari Rp2,5 miliar.
Yang menjadi pertanyaan apakah modal politik itu bakal kembali kalau yang bersangkutan menjadi wakil rakyat? Sebaliknya, jika tidak terpilih? Hal ini tampaknya perlu menjadi renungan sang caleg sebelum membagi-bagikan uangnya menjelang Pemilu 2019. Apalagi, di dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, Pasal 286, caleg dilarang menjanjikan dan/atau memberikan uang atau materi lainnya untuk memengaruhi penyelenggara pemilu dan/atau pemilih. Bahkan, dapat didiskualifikasi sebagai caleg.
Tidak sekadar sanksi administratif berupa pembatalan sebagai caleg, yang bersangkutan terancam pidana penjara paling lama 2 tahun dan denda paling banyak Rp24 juta (vide Pasal 523 UU No. 7/2017 tentang Pemilu).
Tidak terkecuali caleg dan/atau tim kampanye pemilu, siapa saja yang terbukti melanggar Pasal 515 dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 tahun dan denda paling banyak Rp36 juta. Dalam pasal ini, praktik politik uang dilakukan pada saat pemungutan suara.
Di sinilah pentingnya peran pengurus RT/RW dalam menangkal praktik politik uang pada Pemilu 2019. Dengan menolak pemberian uang dari sang oknum, mereka memberikan kontribusi yang berarti pada pelaksanaan pemilu yang berlandaskan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil. Hal ini sekaligus mencegah semua pihak berurusan dengan pihak berwajib.