Semarang (Antaranews Jateng) - Pasangan calon peserta Pemilu Presiden dan Wakil Presiden RI beserta tim suksesnya serta calon anggota legislatif perlu mewawas diri dengan munculnya gerakan golongan putih (golput) dari kalangan milenial.
Munculnya Saya Milenial Golput (SMG) di tengah masa kampanye yang akan berakhir pada tanggal 13 April 2019 mendapat perhatian dari peneliti politik The Indonesian Institute Fadel Basrianto.
Fadel Basrianto menilai generasi milenial saat ini tengah memainkan politik pasif sebagai upaya menekan partai politik dan pasangan calon peserta Pilpres 2019 memberikan pendidikan politik substansial dalam pemilu.
Ancaman golput itu, kata Fadel Basrianto, di Jakarta, Senin (21/1), secara tidak langsung mendesak partai politik dan dua pasangan calon presiden dan wakil presiden memberikan pendidikan politik dengan baik.
Kendati demikian, kata dia, cara ini tidak akan banyak membuat perubahan, namun dapat menjadi signifikan jika seluruh kalangan milenial mengikuti langkah mereka.
Hal ini mengingat jumlah pemilih milenial dalam Pemilu 2019 sekitar 40 persen dari total nama di daftar pemilih tetap (DPT) atau sebanyak 74.292.837 orang bila DPT-nya ada 185.732.093 nama.
Pernyataan Fadel ini perlu disikapi pemangku kepentingan pemilu, terutama penyelenggara dan peserta pemilu, untuk ikut menekan angka golput yang pada Pilpres 2014 mencapai 58.990.183 orang atau 30,42 persen dari total pemilih sebanyak 190.307.134 orang.
Persentase ini meningkat dari data masyarakat yang tidak menyalurkan hak pilihnya pada pilpres, 8 Juli 2009, sebanyak 27,43 persen (48.383.401 orang).
Pada Pemilu Anggota DPR RI, 9 April 2014, persentase golput mencapai 24,83 persen dari 185.826.024 pemilih. Angka golput ini lebih rendah daripada data yang tidak memilih pada pemilu anggota legislatif, 9 April 2009, sebanyak 29,01 persen dari DPT sebanyak 171.265.441 orang.
Pada pemilu serentak tahun ini, target kehadiran pemilih ke tempat pemungutan suara (TPS), 17 April mendatang, sebesar 77,5 persen. Angka ini menunjukkan jumlah golput masih puluhan juta orang atau sebanyak 41.789.721 orang (22,5 persen).
Untuk mencapai target tersebut, tampaknya tidaklah mudah. Upaya meminimalkan angka golput sebesar 22,5 persen, tidak hanya di pundak penyelenggara pemilu, tetapi semua pemangku kepentingan.
Relawan Demokrasi
Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia (KPU RI), misalnya, telah melakukan pelbagai upaya, antara lain merevisi sejumlah peraturan KPU dan membentuk relawan demokrasi pemilu serentak di setiap KPU/Komisi Independen Pemilihan (KIP) kabupaten/kota.
Pembentukan relawan demokrasi dengan jumlah maksimal 55 orang ini telah dilakukan sejumlah KPU/KIP kabupaten/kota di Tanah Air.
Relawan demokrasi ini melibatkan kelompok masyarakat yang berasal dari 10 basis pemilih, yakni keluarga, pemilih pemula, pemilih muda, pemilih perempuan, penyandang disabilitas, pemilih berkebutuhan khusus, kaum marginal, komunitas, keagamaan, dan warga internet.
Dalam lampiran Surat KPU RI Nomor: 32/PP.08-SD/06/KPU/I/2019, tanggal 9 Januari 2019, perihal Pembentukan Relawan Demokrasi (Relasi) Pemilu Serentak Tahun 2019 disebutkan sejumlah kegiatan. Misalnya, sosialisasi dan pendidikan pemilih ke ibu-ibu arisan, perkumpulan rutin tingkat rukun tetangga (RT)/rukun warga (RW) untuk membidik basis keluarga.
Relawan demokrasi juga menyasar pemilih pemula (17 sampai dengan 21 tahun), misalnya sosialisasi dan pendidikan pemilih di sekolah menengah atas/sekolah menengah kejuruan/madrasah aliah/sederajat. Selain itu, menyosialisasi pemilu di kalangan pemilih muda (20 s.d. 30 tahun), misalnya ke organisasi kepemudaan dan mahasiswa kampus.
Sosialisasi juga menyasar kelompok-kelompok perempuan, ibu-ibu/mak-mak kompleks, dan sebagainya. Apalagi, jumlah perempuan yang masuk dalam DPT Pemilu 2019 lebih banyak daripada laki-laki. Tercatat calon pemilih dari kaum hawa sebanyak 92.929.422 orang, sedangkan laki-laki 92.802.671 orang.
Penyandang disabilitas juga menjadi sasaran sosialisasi pemilu. Hal ini termaktub di dalam PKPU Nomor 10 Tahun 2018 tentang Sosialisasi, Pendidikan Pemilih, dan Partisipasi Masyarakat dalam Penyelenggaraan Pemilihan Umum Pasal 5 Ayat (1) Huruf a.
Narapidana juga tidak luput dari perhatian KPU. Mereka termasuk basis pemilih berkebutuhan khusus. Kelompok ini juga mencakup masyarakat di wilayah perbatasan atau terpencil, pasien dan pekerja rumah sakit, pekerja tambang lepas pantai, perkebunan, dan kelompok lain yang terpinggirkan.
Dalam penjelasan 10 basis pemilih yang termaktub dalam surat yang ditandatangani Ketua KPU RI Arief Budiman, 9 Januari lalu, dijelaskan bahwa kelompok marginal menjadi basis sosialisasi dan pendidikan pemilih karena mereka tidak memiliki sumber daya, akses informasi, dan kepercayaan diri yang cukup.
Mereka memiliki hak hidup dan hak berparisipasi yang sama dengan warga negara lainnya. Akan tetapi, situasi dan kondisi kehidupan membuat mereka dalam posisi yang tidak berdaya dan tidak memiliki motivasi berpartisipasi dalam kehidupan sosial dan politik.
Mereka membutuhkan sosialisasi, motivasi, dan fasilitasi untuk dapat berpartisipasi sehingga secara sosial mereka tidak makin terbelakang. Contoh bentuk kegiatannya adalah sosialisasi dan pendidikan pemilih ke tengah masyarakat nelayan pinggiran, komunitas waria, LGBT, masyarakat miskin kota, pemulung, dan sebagainya.
Basis komunitas, seperti pencinta kuliner, keolahragaan, komunitas hobi, komunitas masyarakat Jawa, Minang, Bugis, Dayak, Papua, dan komunitas lainnya juga mendapatkan sosialisasi dan pendidikan pemilih.
Relawan demokrasi selaku mitra KPU dalam menjalankan agenda sosialisasi dan pendidikan pemilih berbasis kabupaten/kota juga akan melakukan kegiatan tersebut kepada jamaah shalat Jumat, jemaat gereja, pura, wihara, dan kelenteng.
Diskursus politik, demokrasi, dan pemilu di dunia maya harus mampu diimbangi melalui status, kicauan dan komentar-komentar yang segar, elegan, cerdas, dan mendidik. Di sinilah peran relawan demokrasi dari kalangan warganet.
Materi Kampanye
Materi kampanye yang disampaikan peserta pemilu seyogianya secara santun, kontennya tidak provokatif, dan tidak perlu saling menjatuhkan.
"Lebih baik menyampaikan keunggulan masing-masing," kata pakar komunikasi Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi (STIKOM) Semarang Drs. Gunawan Witjaksana, M.Si.
Gunawan lantas mencontohkan iklan merek sepeda motor, antara lain, berbunyi "lebih baik naik Vespa", "Yamaha nomor satu di dunia", "Honda lebih unggul", dan "Suzuki inovasi tiada henti".
Dalam pesan iklan tersebut, masing-masing merek kendaraan saling menyampaikan keunggulannya, tanpa menjatuhkan merek lain pesaingnya.
Kampanye dengan cara menjelek-jelekkan lawan politik, apalagi dengan menyebarkan hoaks, bakal menimbulkan persepsi negatif calon pemilih terhadap peserta Pemilu 2019.
Berita bohong, menurut Gunawan, justru merugikan peserta pemilu karena calon pemilih sekarang ini cerdas, terlebih bila hoaks ini terkait dengan pasangan calon presiden dan wakil presiden tertentu.
Penyebar berita bohong tujuh kontainer berisi surat suara pemilu tercoblos, misalnya.
Kasus yang sudah disidik Polri dan diumumkan hasil sementaranya, menurut dia, jadi persepsi negatif calon pemilih terhadap pasangan calon tertentu.
Ke depan hal semacam itu dihindari dan diganti rencana program yang dapat dikerjakan dengan mudah (feasible) sekaligus "applicable" (berlaku).
Sementara itu, dari sisi komunikasi, Calon Presiden RI petahana Joko Widodo seolah memperkeuntungan karena kinerjanya akan berkata lebih nyaring daripada wacana para penantangnya.
Namun, pengetahuan para penantang terhadap keinginan aktual masyarakat, menurut dia, sebenarnya bisa menjadi peluang untuk menyampaikan pesan menarik yang sedang mereka cari, bahkan tidak jarang sang penantang dapat memenangkannya.
Para elite diingatkan Gunawan mengenai pesan para leluhur yang sangat adiluhung, seperti "ngluruk tanpo bolo" atau "menang tanpo ngasorake". Pesan ini mengingatkan bahwa dalam suatu kompetisi, seperti pemilihan kepala daerah (pilkada), pemilihan umum presiden, dan pemilu anggota legislatif, ada yang menang dan ada yang kalah.
Alangkah indahnya bila komunikasi politik antarelite itu terjadi bak pertandingan olahraga yang dengan semangat persatuan akhirnya menghasilkan pemenang kompetisi. Mereka pun saling peluk, saling rangkul, dan bahu-membahu mewujudkan cita-cita bersama.
Pernyataan Gunawan yang juga Ketua STIKOM Semarang itu, mengingatkan peserta pemilu untuk meraih kemenangan secara terhormat, bukan sebaliknya menjadikan suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) serta uang sebagai senjata untuk mengalahkan rivalnya.
Kesantunan berkampanye juga patut mendapat perhatian peserta pemilu agar calon pemilih makin tertarik dengan pesta demokrasi ini.
Oleh karena itu, kontestan beserta pendukungnya tidak perlu memfitnah lawan politiknya demi meraih kemenangan.
Apalagi, menjadikan SARA alat untuk menjatuhkan rivalnya. Hal itu sangat rawan memecah belah bangsa.
Munculnya Saya Milenial Golput (SMG) di tengah masa kampanye yang akan berakhir pada tanggal 13 April 2019 mendapat perhatian dari peneliti politik The Indonesian Institute Fadel Basrianto.
Fadel Basrianto menilai generasi milenial saat ini tengah memainkan politik pasif sebagai upaya menekan partai politik dan pasangan calon peserta Pilpres 2019 memberikan pendidikan politik substansial dalam pemilu.
Ancaman golput itu, kata Fadel Basrianto, di Jakarta, Senin (21/1), secara tidak langsung mendesak partai politik dan dua pasangan calon presiden dan wakil presiden memberikan pendidikan politik dengan baik.
Kendati demikian, kata dia, cara ini tidak akan banyak membuat perubahan, namun dapat menjadi signifikan jika seluruh kalangan milenial mengikuti langkah mereka.
Hal ini mengingat jumlah pemilih milenial dalam Pemilu 2019 sekitar 40 persen dari total nama di daftar pemilih tetap (DPT) atau sebanyak 74.292.837 orang bila DPT-nya ada 185.732.093 nama.
Pernyataan Fadel ini perlu disikapi pemangku kepentingan pemilu, terutama penyelenggara dan peserta pemilu, untuk ikut menekan angka golput yang pada Pilpres 2014 mencapai 58.990.183 orang atau 30,42 persen dari total pemilih sebanyak 190.307.134 orang.
Persentase ini meningkat dari data masyarakat yang tidak menyalurkan hak pilihnya pada pilpres, 8 Juli 2009, sebanyak 27,43 persen (48.383.401 orang).
Pada Pemilu Anggota DPR RI, 9 April 2014, persentase golput mencapai 24,83 persen dari 185.826.024 pemilih. Angka golput ini lebih rendah daripada data yang tidak memilih pada pemilu anggota legislatif, 9 April 2009, sebanyak 29,01 persen dari DPT sebanyak 171.265.441 orang.
Pada pemilu serentak tahun ini, target kehadiran pemilih ke tempat pemungutan suara (TPS), 17 April mendatang, sebesar 77,5 persen. Angka ini menunjukkan jumlah golput masih puluhan juta orang atau sebanyak 41.789.721 orang (22,5 persen).
Untuk mencapai target tersebut, tampaknya tidaklah mudah. Upaya meminimalkan angka golput sebesar 22,5 persen, tidak hanya di pundak penyelenggara pemilu, tetapi semua pemangku kepentingan.
Relawan Demokrasi
Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia (KPU RI), misalnya, telah melakukan pelbagai upaya, antara lain merevisi sejumlah peraturan KPU dan membentuk relawan demokrasi pemilu serentak di setiap KPU/Komisi Independen Pemilihan (KIP) kabupaten/kota.
Pembentukan relawan demokrasi dengan jumlah maksimal 55 orang ini telah dilakukan sejumlah KPU/KIP kabupaten/kota di Tanah Air.
Relawan demokrasi ini melibatkan kelompok masyarakat yang berasal dari 10 basis pemilih, yakni keluarga, pemilih pemula, pemilih muda, pemilih perempuan, penyandang disabilitas, pemilih berkebutuhan khusus, kaum marginal, komunitas, keagamaan, dan warga internet.
Dalam lampiran Surat KPU RI Nomor: 32/PP.08-SD/06/KPU/I/2019, tanggal 9 Januari 2019, perihal Pembentukan Relawan Demokrasi (Relasi) Pemilu Serentak Tahun 2019 disebutkan sejumlah kegiatan. Misalnya, sosialisasi dan pendidikan pemilih ke ibu-ibu arisan, perkumpulan rutin tingkat rukun tetangga (RT)/rukun warga (RW) untuk membidik basis keluarga.
Relawan demokrasi juga menyasar pemilih pemula (17 sampai dengan 21 tahun), misalnya sosialisasi dan pendidikan pemilih di sekolah menengah atas/sekolah menengah kejuruan/madrasah aliah/sederajat. Selain itu, menyosialisasi pemilu di kalangan pemilih muda (20 s.d. 30 tahun), misalnya ke organisasi kepemudaan dan mahasiswa kampus.
Sosialisasi juga menyasar kelompok-kelompok perempuan, ibu-ibu/mak-mak kompleks, dan sebagainya. Apalagi, jumlah perempuan yang masuk dalam DPT Pemilu 2019 lebih banyak daripada laki-laki. Tercatat calon pemilih dari kaum hawa sebanyak 92.929.422 orang, sedangkan laki-laki 92.802.671 orang.
Penyandang disabilitas juga menjadi sasaran sosialisasi pemilu. Hal ini termaktub di dalam PKPU Nomor 10 Tahun 2018 tentang Sosialisasi, Pendidikan Pemilih, dan Partisipasi Masyarakat dalam Penyelenggaraan Pemilihan Umum Pasal 5 Ayat (1) Huruf a.
Narapidana juga tidak luput dari perhatian KPU. Mereka termasuk basis pemilih berkebutuhan khusus. Kelompok ini juga mencakup masyarakat di wilayah perbatasan atau terpencil, pasien dan pekerja rumah sakit, pekerja tambang lepas pantai, perkebunan, dan kelompok lain yang terpinggirkan.
Dalam penjelasan 10 basis pemilih yang termaktub dalam surat yang ditandatangani Ketua KPU RI Arief Budiman, 9 Januari lalu, dijelaskan bahwa kelompok marginal menjadi basis sosialisasi dan pendidikan pemilih karena mereka tidak memiliki sumber daya, akses informasi, dan kepercayaan diri yang cukup.
Mereka memiliki hak hidup dan hak berparisipasi yang sama dengan warga negara lainnya. Akan tetapi, situasi dan kondisi kehidupan membuat mereka dalam posisi yang tidak berdaya dan tidak memiliki motivasi berpartisipasi dalam kehidupan sosial dan politik.
Mereka membutuhkan sosialisasi, motivasi, dan fasilitasi untuk dapat berpartisipasi sehingga secara sosial mereka tidak makin terbelakang. Contoh bentuk kegiatannya adalah sosialisasi dan pendidikan pemilih ke tengah masyarakat nelayan pinggiran, komunitas waria, LGBT, masyarakat miskin kota, pemulung, dan sebagainya.
Basis komunitas, seperti pencinta kuliner, keolahragaan, komunitas hobi, komunitas masyarakat Jawa, Minang, Bugis, Dayak, Papua, dan komunitas lainnya juga mendapatkan sosialisasi dan pendidikan pemilih.
Relawan demokrasi selaku mitra KPU dalam menjalankan agenda sosialisasi dan pendidikan pemilih berbasis kabupaten/kota juga akan melakukan kegiatan tersebut kepada jamaah shalat Jumat, jemaat gereja, pura, wihara, dan kelenteng.
Diskursus politik, demokrasi, dan pemilu di dunia maya harus mampu diimbangi melalui status, kicauan dan komentar-komentar yang segar, elegan, cerdas, dan mendidik. Di sinilah peran relawan demokrasi dari kalangan warganet.
Materi Kampanye
Materi kampanye yang disampaikan peserta pemilu seyogianya secara santun, kontennya tidak provokatif, dan tidak perlu saling menjatuhkan.
"Lebih baik menyampaikan keunggulan masing-masing," kata pakar komunikasi Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi (STIKOM) Semarang Drs. Gunawan Witjaksana, M.Si.
Gunawan lantas mencontohkan iklan merek sepeda motor, antara lain, berbunyi "lebih baik naik Vespa", "Yamaha nomor satu di dunia", "Honda lebih unggul", dan "Suzuki inovasi tiada henti".
Dalam pesan iklan tersebut, masing-masing merek kendaraan saling menyampaikan keunggulannya, tanpa menjatuhkan merek lain pesaingnya.
Kampanye dengan cara menjelek-jelekkan lawan politik, apalagi dengan menyebarkan hoaks, bakal menimbulkan persepsi negatif calon pemilih terhadap peserta Pemilu 2019.
Berita bohong, menurut Gunawan, justru merugikan peserta pemilu karena calon pemilih sekarang ini cerdas, terlebih bila hoaks ini terkait dengan pasangan calon presiden dan wakil presiden tertentu.
Penyebar berita bohong tujuh kontainer berisi surat suara pemilu tercoblos, misalnya.
Kasus yang sudah disidik Polri dan diumumkan hasil sementaranya, menurut dia, jadi persepsi negatif calon pemilih terhadap pasangan calon tertentu.
Ke depan hal semacam itu dihindari dan diganti rencana program yang dapat dikerjakan dengan mudah (feasible) sekaligus "applicable" (berlaku).
Sementara itu, dari sisi komunikasi, Calon Presiden RI petahana Joko Widodo seolah memperkeuntungan karena kinerjanya akan berkata lebih nyaring daripada wacana para penantangnya.
Namun, pengetahuan para penantang terhadap keinginan aktual masyarakat, menurut dia, sebenarnya bisa menjadi peluang untuk menyampaikan pesan menarik yang sedang mereka cari, bahkan tidak jarang sang penantang dapat memenangkannya.
Para elite diingatkan Gunawan mengenai pesan para leluhur yang sangat adiluhung, seperti "ngluruk tanpo bolo" atau "menang tanpo ngasorake". Pesan ini mengingatkan bahwa dalam suatu kompetisi, seperti pemilihan kepala daerah (pilkada), pemilihan umum presiden, dan pemilu anggota legislatif, ada yang menang dan ada yang kalah.
Alangkah indahnya bila komunikasi politik antarelite itu terjadi bak pertandingan olahraga yang dengan semangat persatuan akhirnya menghasilkan pemenang kompetisi. Mereka pun saling peluk, saling rangkul, dan bahu-membahu mewujudkan cita-cita bersama.
Pernyataan Gunawan yang juga Ketua STIKOM Semarang itu, mengingatkan peserta pemilu untuk meraih kemenangan secara terhormat, bukan sebaliknya menjadikan suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) serta uang sebagai senjata untuk mengalahkan rivalnya.
Kesantunan berkampanye juga patut mendapat perhatian peserta pemilu agar calon pemilih makin tertarik dengan pesta demokrasi ini.
Oleh karena itu, kontestan beserta pendukungnya tidak perlu memfitnah lawan politiknya demi meraih kemenangan.
Apalagi, menjadikan SARA alat untuk menjatuhkan rivalnya. Hal itu sangat rawan memecah belah bangsa.