Semarang (Antaranews Jateng) - Sepanjang relawan demokrasi memiliki integritas dalam menjalankan tugasnya, bisa meningkatkan kehadiran pemilih di tempat pemungutan suara (TPS), 17 April mendatang, kata Ketua Lembaga Pemantau Pemilu PWI Provinsi Jawa Tengah Zainal Abidin Petir.
Sebaliknya, kata Petir (sapaan akrab Zainal Abidin Petir, S.Pd., S.H., M.H.) di Semarang, Selasa pagi, kalau relawan demokrasi itu partisan, justru akan menimbulkan gesekan di tengah masyarakat.
Petir mengemukakan hal itu ketika merespons Surat Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI Nomor: 32/PP.08-SD/06/KPU/I/2019, tanggal 9 Januari 2019, perihal Pembentukan Relawan Demokrasi (Relasi) Pemilu Serentak Tahun 2019.
Ia menyatakan bahwa relawan demokrasi itu bukan lembaga atau panitia penyelenggara pemilu. Mereka itu sukarelawan, tidak terikat oleh lembaga.
"Walaupun syarat menjadi relawan demokrasi nonpartisan, siapa yang bisa menjamin dan melakukan kontrol kepada mereka?" kata Petir yang juga anggota Komisi Informasi Provinsi (KIP) Jawa Tengah.
Beda dengan KPU, Bawaslu, dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP), menurut Petir, ketika tidak netral atau untungkan salah satu peserta pemilu, langsung bisa diberi sanksi, bahkan bisa dipidana.
"Lha wong' Bawaslu maupun KPU sebagai lembaga yang mandiri dan independen yang bisa dijerat pidana saja sedang 'dirasani' (digunjingkan) kenetralannya, apalagi ini sekadar sukarelawan," katanya.
Menurut dia, tidak menutup kemungkinan kehadiran relawan demokrasi ini dipersepsikan lain oleh masyarakat.
"Jangan-jangan sukarelawannya calon ini atau calon itu," katanya.
Petir lantas bertanya, "Kenapa tidak KPU maupun penyelenggara pemilu hingga tingkat paling bawah yang melakukan sosialisasi?"
KPU ini, katanya lagi, sudah jelas lembaganya dan diperintah oleh Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum dan PKPU.
Menyinggung penurunan tingkat partisipasi masyarakat pada Pilpres 2014 dari tingkat kehadiran pemilih pada Pilpres 2009, Petir menyebutkan beberapa faktor, antara lain, pemilih malas dan muak dengan janji-janji kontestan yang sering kali hoaks, tidak dilaksanakan, dan lebih pada pencitraan.
Selain itu, tidak sreg dengan calon pemimpin maupun wakil rakyat yang tidak kompeten sehingga tidak mengherankan tingkat kehadiran pemilih pada Pilpres 2014 turun menjadi 69,58 dari data pemilih pada tahun 2009 yang mencapai 71,17 persen.
Menurut Petir, yang terpenting bagaimana sikap kenegarawanan calon pemimpin, baik itu presiden/wakil presiden, anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI, anggota DPR, DPRD provinsi, maupun DPRD kabupaten/kota, yang mampu memperbaiki pemerintahan guna mengurus dan melayani seluruh lapisan masyarakat, bukan sekelompok orang maupun partai.
Sebaliknya, kata Petir (sapaan akrab Zainal Abidin Petir, S.Pd., S.H., M.H.) di Semarang, Selasa pagi, kalau relawan demokrasi itu partisan, justru akan menimbulkan gesekan di tengah masyarakat.
Petir mengemukakan hal itu ketika merespons Surat Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI Nomor: 32/PP.08-SD/06/KPU/I/2019, tanggal 9 Januari 2019, perihal Pembentukan Relawan Demokrasi (Relasi) Pemilu Serentak Tahun 2019.
Ia menyatakan bahwa relawan demokrasi itu bukan lembaga atau panitia penyelenggara pemilu. Mereka itu sukarelawan, tidak terikat oleh lembaga.
"Walaupun syarat menjadi relawan demokrasi nonpartisan, siapa yang bisa menjamin dan melakukan kontrol kepada mereka?" kata Petir yang juga anggota Komisi Informasi Provinsi (KIP) Jawa Tengah.
Beda dengan KPU, Bawaslu, dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP), menurut Petir, ketika tidak netral atau untungkan salah satu peserta pemilu, langsung bisa diberi sanksi, bahkan bisa dipidana.
"Lha wong' Bawaslu maupun KPU sebagai lembaga yang mandiri dan independen yang bisa dijerat pidana saja sedang 'dirasani' (digunjingkan) kenetralannya, apalagi ini sekadar sukarelawan," katanya.
Menurut dia, tidak menutup kemungkinan kehadiran relawan demokrasi ini dipersepsikan lain oleh masyarakat.
"Jangan-jangan sukarelawannya calon ini atau calon itu," katanya.
Petir lantas bertanya, "Kenapa tidak KPU maupun penyelenggara pemilu hingga tingkat paling bawah yang melakukan sosialisasi?"
KPU ini, katanya lagi, sudah jelas lembaganya dan diperintah oleh Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum dan PKPU.
Menyinggung penurunan tingkat partisipasi masyarakat pada Pilpres 2014 dari tingkat kehadiran pemilih pada Pilpres 2009, Petir menyebutkan beberapa faktor, antara lain, pemilih malas dan muak dengan janji-janji kontestan yang sering kali hoaks, tidak dilaksanakan, dan lebih pada pencitraan.
Selain itu, tidak sreg dengan calon pemimpin maupun wakil rakyat yang tidak kompeten sehingga tidak mengherankan tingkat kehadiran pemilih pada Pilpres 2014 turun menjadi 69,58 dari data pemilih pada tahun 2009 yang mencapai 71,17 persen.
Menurut Petir, yang terpenting bagaimana sikap kenegarawanan calon pemimpin, baik itu presiden/wakil presiden, anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI, anggota DPR, DPRD provinsi, maupun DPRD kabupaten/kota, yang mampu memperbaiki pemerintahan guna mengurus dan melayani seluruh lapisan masyarakat, bukan sekelompok orang maupun partai.