Kudus (Antaranews Jateng) - Peserta Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) mandiri atau pekerja bukan penerima upah (PBPU) dari Kabupaten Grobogan, Jawa Tengah, tercatat sebagai penyumbang tunggakan terbesar dibanding dua kabupaten lainnya.
    
"Hingga 5 November 2018, nilai tunggakan peserta JKN dari Kabupaten Grobogan mencapai Rp20,4 miliar dari total tunggakan tiga kabupaten mencapai Rp43,7 miliar," kata Kepala BPJS Kesehatan Kantor Cabang Utama Kudus Maya Susanti saat menggelar konferensi pers tentang implementasi Peraturan Presiden nomor 82/2018 di aula kantor BPJS Kesehatan Kudus, Rabu.
    
Sementara nilai tunggakan terbesar kedua, yakni dari Kabupaten Jepara sebesar Rp13 miliar, sedangkan Kabupaten Kudus tercatat hanya Rp10,2 miliar.
    
Adapun total peserta JKN-KIS di wilayah kerja BPJS Kesehatan Kantor Cabang Utama Kudus hingga November 2018 sebanyak 2,53 juta peserta. Dari jumlah tersebut, paling banyak berasal dari Kabupaten Grobogan sebanyak 1.033.708 peserta, Kabupaten Jepara sebanyak 857.285 peserta, dan Kabupaten Kudus sebanyak 648.829 peserta.
    
Terkait dengan Perpres nomor 82/2018, kata Maya, membawa angin segar bagi implementasi program JKN-KIS karena tidak hanya menyatukan sejumlah regulasi yang awalnya diterbitkan masing-masing instansi, melainkan juga menyempurnakan aturan sebelumnya.
    
Perpres tersebut menjabarkan beberapa penyesuaian aturan di sejumlah aspek yang secara umum ada beberapa hal yang perlu diketahui masyarakat. Salah satunya, terkait dengan tunggakan iuran ditegaskan bahwa denda bagi peserta JKN-KIS yang menunggak, maka status kepesertaannya dinonaktifkan jika tidak melakukan pembayaran iuran bulan berjalan sampai dengan akhir bulan, terlebih jika menunggak lebih dari satu bulan.
    
"Status kepesertaannya akan diaktifkan kembali setelah membayar iuran bulan tertunggak, paling banyak untuk 24 bulan. Ketentuan ini berlaku mulai 18 Desember 2018. Jika sebelumnya dihitung maksimal 12 bulan, maka saat ini menjadi 24 bulan," katanya.
    
Terkait dengan denda layanan, diberikan ketika peserta terlambat melakukan pembayaran iuran.     
    
"Jika peserta tersebut menjalani rawat inap di Fasilitas Kesehatan Rujukan Tingkat Lanjutan (FKRTL) dalam waktu sampai dengan 45 hari sejak status kepesertaannya aktif kembali, maka peserta dikenakan denda layanan sebesar 2,5 persen dari biaya diagnosa awal INA-CBG’s. Adapun besaran denda pelayanan paling tinggi sebesar Rp30 juta," ujarnya.
    
Ketentuan denda layanan tersebut dikecualikan untuk peserta PBI, peserta yang didaftarkan oleh Pemerintah Daerah, dan peserta yang tidak mampu.
    
Ia menjelaskan aturan tersebut bukan untuk memberatkan peserta, tetapi untuk mengedukasi peserta agar lebih disiplin dalam menunaikan kewajibannya membayar iuran bulanan.
    
Ketentuan lain yang diatur lewat Perpres 82 tersebut, yakni terkait Warga Negara Indonesia (WNI) yang menjadi peserta JKN-KIS dan tinggal di luar negeri selama enam bulan berturut-turut, dapat menghentikan kepesertannya sementara.
    
Sementara pasangan suami istri yang masing-masing merupakan pekerja, maka keduanya wajib didaftarkan sebagai peserta JKN-KIS segmen pekerja penerima upah (PPU) oleh masing-masing pemberi kerja, baik pemerintah ataupun swasta.
    
Jika pasangan suami istri tersebut mempunyai anak, maka untuk hak kelas rawat anaknya dapat ditetapkan sejak awal pendaftaran dengan memilih kelas rawat yang paling tinggi.
    
Bagi perangkat desa, kehadiran Perpres 82 juga membuat status kepesertaan JKN-KIS bagi kepala desa dan perangkat desa menjadi lebih jelas karena masuk dalam kelompok peserta JKN-KIS segmen PPU yang ditanggung oleh pemerintah.

Pewarta : Akhmad Nazaruddin
Editor : Nur Istibsaroh
Copyright © ANTARA 2024