Semarang (Antaranews Jateng) - Dua peraturan KPU tentang perubahan PKPU pencalonan anggota legislatif berpotensi melanggar Undang-Undang Pemilihan Umum dan UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, kata dosen Pascasarjana Magister Ilmu Hukum Universitas Muria Kudus Teguh Purnomo.
Teguh Purnomo yang juga Koordinator Jaringan Advokasi Hukum dan Pemilu Jawa Tengah kepada Antara di Semarang, Rabu, mengemukakan bahwa dua PKPU perubahan atas PKPU Nomor 20 Tahun 2018 dan PKPU No. 14/2018 masih terdapat larangan eks terpidana bandar narkoba atau kejahatan seksual terhadap anak menjadi calon anggota legislatif.
Teguh mengatakan hal itu ketika merespons Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 30 Tahun 2018 tentang Perubahan Ketiga atas PKPU No. 14/2018 tentang Pencalonan Perseorangan Peserta Pemilu anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) yang masih terdapat frasa "bukan merupakan mantan terpidana tindak pidana kejahatan seksual terhadap anak dan/atau bandar narkoba".
Larangan itu juga masih ada di dalam PKPU No. 31/2018 tentang Perubahan atas PKPU No. 20/2018 tentang Pencalonan Anggota DPR, DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten/Kota.
Dalam dua PKPU itu, tidak ada frasa "kecuali secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana". Frasa ini temaktub di dalam UU No. 7/2017 tentang Pemilu.
Menurut Teguh, larangan eks narapidana kasus kejahatan seksual terhadap anak dan/atau bandar narkoba menjadi caleg seharusnya muncul dalam peraturan setingkat undang-undang, bukan pada PKPU atau aturan lain di bawah UU.
"Larangan tersebut memang buah pikir dari KPU yang progresif. Akan tetapi, jangan sampai menabrak aturan yang ada," kata Teguh yang pernah sebagai anggota Bawaslu Provinsi Jawa Tengah.
Oleh karena itu, pihak yang merasa rugi atas berlakunya dua PKPU tersebut berhak menjadi pemohon untuk mengajukan pengujian ke Mahkamah Agung karena aturan tersebut berpotensi melanggar UU Pemilu dan UU No. 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
"Permohonan pengujian, sebagaimana ketentuan Pasal 76 Ayat (3) UU No. 7/2017 tentang Pemilu, paling lambat 30 hari kerja sejak PKPU diundangkan. Kedua PKPU itu diundangkan pada tanggal 20 September 2018," kata Teguh.
Sebelumnya, Mahkamah Agung melalui Putusan Nomor 46 P/HUM/2018 menyatakan bahwa Pasal 4 Ayat (3), Pasal 11 Ayat (1) Huruf d, dan Lampiran Model B.3 PKPU No. 20/2018 sepanjang frasa "mantan terpidana korupsi" bertentangan dengan UU No. 7/2017 juncto UU No. 12/2011.
Diterangkan dalam putusan tersebut bahwa pemohon tidak terkait dengan mantan terpidana bandar narkoba dan kejahatan seksual terhadap anak. Oleh karena itu, pemohon hanya relevan untuk mempersoalkan pengujian frasa "mantan terpidana korupsi" tersebut.
Teguh Purnomo yang juga Koordinator Jaringan Advokasi Hukum dan Pemilu Jawa Tengah kepada Antara di Semarang, Rabu, mengemukakan bahwa dua PKPU perubahan atas PKPU Nomor 20 Tahun 2018 dan PKPU No. 14/2018 masih terdapat larangan eks terpidana bandar narkoba atau kejahatan seksual terhadap anak menjadi calon anggota legislatif.
Teguh mengatakan hal itu ketika merespons Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 30 Tahun 2018 tentang Perubahan Ketiga atas PKPU No. 14/2018 tentang Pencalonan Perseorangan Peserta Pemilu anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) yang masih terdapat frasa "bukan merupakan mantan terpidana tindak pidana kejahatan seksual terhadap anak dan/atau bandar narkoba".
Larangan itu juga masih ada di dalam PKPU No. 31/2018 tentang Perubahan atas PKPU No. 20/2018 tentang Pencalonan Anggota DPR, DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten/Kota.
Dalam dua PKPU itu, tidak ada frasa "kecuali secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana". Frasa ini temaktub di dalam UU No. 7/2017 tentang Pemilu.
Menurut Teguh, larangan eks narapidana kasus kejahatan seksual terhadap anak dan/atau bandar narkoba menjadi caleg seharusnya muncul dalam peraturan setingkat undang-undang, bukan pada PKPU atau aturan lain di bawah UU.
"Larangan tersebut memang buah pikir dari KPU yang progresif. Akan tetapi, jangan sampai menabrak aturan yang ada," kata Teguh yang pernah sebagai anggota Bawaslu Provinsi Jawa Tengah.
Oleh karena itu, pihak yang merasa rugi atas berlakunya dua PKPU tersebut berhak menjadi pemohon untuk mengajukan pengujian ke Mahkamah Agung karena aturan tersebut berpotensi melanggar UU Pemilu dan UU No. 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
"Permohonan pengujian, sebagaimana ketentuan Pasal 76 Ayat (3) UU No. 7/2017 tentang Pemilu, paling lambat 30 hari kerja sejak PKPU diundangkan. Kedua PKPU itu diundangkan pada tanggal 20 September 2018," kata Teguh.
Sebelumnya, Mahkamah Agung melalui Putusan Nomor 46 P/HUM/2018 menyatakan bahwa Pasal 4 Ayat (3), Pasal 11 Ayat (1) Huruf d, dan Lampiran Model B.3 PKPU No. 20/2018 sepanjang frasa "mantan terpidana korupsi" bertentangan dengan UU No. 7/2017 juncto UU No. 12/2011.
Diterangkan dalam putusan tersebut bahwa pemohon tidak terkait dengan mantan terpidana bandar narkoba dan kejahatan seksual terhadap anak. Oleh karena itu, pemohon hanya relevan untuk mempersoalkan pengujian frasa "mantan terpidana korupsi" tersebut.