Semarang (Antaranews Jateng) - Pengembang apartemen di Kota Semarang, PT D'paragon Labbaika Miranti, ditagih utang oleh para calon pembelinya yang nilainya mencapai sekitar Rp20 miliar.
Hal tersebut terungkap usai rapat kreditur dalam perkara Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) PT D'paragon Labbaika Miranti di Pengadilan Niaga Semarang, Senin.
Pengurus PKPU Sementara PT D'paragon Labbaika Miranti, Kairul Anwar, mengatakan sebanyak 92 kreditur yang merupakan calon pembeli apartemen yang sudah memverifikasi tagihannya.
"Dari 92 kreditur yang sudah melapor, nilai total tagihannya sekitar Rp20 miliar," katanya.
Selanjutnya, kata dia, debitur yang merupakan Direktur Utama PT D'paragon Labbaika Miranti, Sani Goenawan, meminta waktu untuk mencocokkan data tagihan tersebut.
Kuasa hukum Sani Goenawan, Nico Pamenang, menyatakan kliennya belum bisa menentukan besaran utang yang harus dibayar.
Menurut dia, utang yang ditagihkan oleh kreditur tersebut belum tentu disepakati kliennya.
Selain itu, kata dia, permasalahan PKPU ini bukan hanya tanggung kliennya, melainkan juga direksi sebelumnya.
"Justru banyak calon pembeli apartemen saat pengelolaan oleh direktur yang lama," katanya.
Oleh karena itu, menurut dia, ganti rugi yang harus dibayarkan tersebut seharusnya ditanggung renteng dengan direksi yang lama.
Sebelumnya, Pengadilan Niaga Semarang mengabulkan gugatan PKPU terhadap pengembang apartemen PT D'paragon Labbaika Miranti yang diajukan oleh salah seorang pembelinya.
Gugatan PKPU tersebut bermula ketika pemohon membeli tiga apartemen di Royal D'paragon Residance Apartement yang berlokasi di Jalan Setiabudi, Kota Semarang, Juli 2016.
Pembelian tiga apartemen senilai Rp721 juta tersebut telah dibayar lunas oleh pemohon.
Dalam perjanjian jual beli, termohon sebagai pengembang menjanjikan apartemen akan diserahterimakan pada tahun 2018. Namun, janji penyerahan tersebut tidak teralisasi, bahkan termohon diketahui justru menyerahkan pembangunan apartemen tersebut ke pengembang lain tanpa memberitahukan kepada pembelinya.
Ketidakmampuan termohon dalam memenuhi kewajiban itu terlihat dari belum adanya sama sekali bangunan di lokasi yang rencananya menjadi tempat berdirinya apartemen.
Hal tersebut terungkap usai rapat kreditur dalam perkara Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) PT D'paragon Labbaika Miranti di Pengadilan Niaga Semarang, Senin.
Pengurus PKPU Sementara PT D'paragon Labbaika Miranti, Kairul Anwar, mengatakan sebanyak 92 kreditur yang merupakan calon pembeli apartemen yang sudah memverifikasi tagihannya.
"Dari 92 kreditur yang sudah melapor, nilai total tagihannya sekitar Rp20 miliar," katanya.
Selanjutnya, kata dia, debitur yang merupakan Direktur Utama PT D'paragon Labbaika Miranti, Sani Goenawan, meminta waktu untuk mencocokkan data tagihan tersebut.
Kuasa hukum Sani Goenawan, Nico Pamenang, menyatakan kliennya belum bisa menentukan besaran utang yang harus dibayar.
Menurut dia, utang yang ditagihkan oleh kreditur tersebut belum tentu disepakati kliennya.
Selain itu, kata dia, permasalahan PKPU ini bukan hanya tanggung kliennya, melainkan juga direksi sebelumnya.
"Justru banyak calon pembeli apartemen saat pengelolaan oleh direktur yang lama," katanya.
Oleh karena itu, menurut dia, ganti rugi yang harus dibayarkan tersebut seharusnya ditanggung renteng dengan direksi yang lama.
Sebelumnya, Pengadilan Niaga Semarang mengabulkan gugatan PKPU terhadap pengembang apartemen PT D'paragon Labbaika Miranti yang diajukan oleh salah seorang pembelinya.
Gugatan PKPU tersebut bermula ketika pemohon membeli tiga apartemen di Royal D'paragon Residance Apartement yang berlokasi di Jalan Setiabudi, Kota Semarang, Juli 2016.
Pembelian tiga apartemen senilai Rp721 juta tersebut telah dibayar lunas oleh pemohon.
Dalam perjanjian jual beli, termohon sebagai pengembang menjanjikan apartemen akan diserahterimakan pada tahun 2018. Namun, janji penyerahan tersebut tidak teralisasi, bahkan termohon diketahui justru menyerahkan pembangunan apartemen tersebut ke pengembang lain tanpa memberitahukan kepada pembelinya.
Ketidakmampuan termohon dalam memenuhi kewajiban itu terlihat dari belum adanya sama sekali bangunan di lokasi yang rencananya menjadi tempat berdirinya apartemen.