Lingkungan dan pembangunan berkelanjutan selalu menjadi isu penting di sejumlah negara maju dalam penyusunan anggaran pendapatan dan belanja negara, sedangkan negara-negara berkembang lebih fokus pada upaya agar APBN dan APBD bisa memacu pertumbuhan ekonomi.

Isu lingkungan memang sering mencuat menjadi wacana publik, namun sering mereda seiring dengan banyaknya tenaga kerja yang terserap, meningkatnya perputaran uang, hingga menggeliatnya sebuah kawasan ketika industri itu berdiri.

Ada anggapan bahwa kerusakan lingkungan merupakan ongkos yang wajar dari industrialisasi yang terus berlangsung. Padahal, yang sering terjadi nilai ekonomi atas kerusakan lingkungan jauh lebih besar dan berdampak jangka panjang.?

Industrialisasi yang sudah berlangsung seabad lebih dan dibarengi dengan pengurasan sumber daya alam, termasuk minyak Bumi, menjadi bukti betapa seriusnya kerusakan yang terjadi saat ini.

Kerusakan lingkungan secara masif yang dibarengi dengan pemanasan global, saat ini secara faktual dirasakan oleh sekitar 7,5 miliar penduduk Bumi. Ini menjadi alarm agar ada perubahan fundamental dalam pengelolaan sumber daya alam.?

Aktivis lingkungan kerap menyerukan bahwa memburuknya kondisi Bumi tersebut seharusnya menjadi kesadaran yang berbuah tindakan nyata bagi warga planet ini.

Film dokumenter (2016) Al Gore bertajuk "An Inconvenient Truth" menunjukkan betapa parahnya kerusakan Bumi akibat eksploitasi sumber daya alam demi mengejar keuntungan ekonomi. Film ini memberi gambaran nyata tentang ancaman serius bagi kelangsungan hidup manusia dan Bumi itu sendiri.

Beragam konferensi tentang lingkungan, termasuk konferensi yang diikuti oleh para pemimpin negara, sudah berulang kali dilakukan. Akan tetapi, sejauh ini belum membuahkan kesadaran bersama dalam bentuk tindakan yang bermakna.

Contoh aktual adalah pengendalian penggunaan kantong plastik di toko modern yang tidak berjalan. Kepentingan antarnegara yang berbeda menyebabkan cara pandang yang berbeda pula dalam pengelolaan sumber daya alam.

Para pemimpin politik di sejumlah negara berkembang, misalnya, hingga kini masih menempatkan isu lingkungan di pinggiran, dikalahkan oleh kepentingan pertumbuhan ekonomi yang menjadi prioritas utama dalam penyusunan APBN dan APBD.

Dalihnya sederhana, tanpa pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan, negara-negara berkembang akan sulit menyejahterakan warga negaranya. Karena kekayaan sumber daya alam menjadi aset utama untuk memompa pertumbuhan maka di sektor ini pula eksploitasi dilakukan.

Rata-rata negara berkembang memang memiliki jumlah penduduk sangat banyak sehingga demi menciptakan lapangan kerja, melalui industrialiasi, harus mengorbankan kelestarian sumber daya alam.

Oleh karena itu, ideologi pertumbuhan ekonomi dalam penyusunan APBN dan APBD selalu menjadi panduan para pemimpin politik yang memegang kendali besar atas penyusunan dan pengalokasian anggaran tersebut.

Isu lingkungan sejauh ini lebih menarik untuk diwacakan dengan segala rencana kebijakan yang ideal, namun sering terpental ketika dihadapkan pada kebutuhan pertumbuhan ekonomi.

Hanya sedikit politikus yang menjadikan lingkungan sebagai isu politik karena dianggap kurang seksi, kecuali belakangan ini kasus reklamasi di Jakarta dan Bali. Itu pun publik mencernanya lebih pada muatan politiknya, bukan dari dampak negatif terhadap lingkungan atas pengurukan pantai tersebut.

Di zaman dominasi media sosial sekarang ini, isu yang sering menjadi "trending topic" adalah masalah politik, ekonomi, agama, sepak bola, dan dunia hiburan. Karena politik memang berkaitan dengan massa maka dalam isu-isu itulah yang sering diangkat oleh politikus.?


Layak Diapresiasi

Karena isu lingkungan masih terpinggirkan dalam kebijakan anggaran maka ketika ada politikus yang mengingatkan pentingnya pengelolaan APBN/APBD berbasis lingkungan, itu layak diapresisasi.

Abdul Fikri Faqih, politikus PKS tersebut, memang gundah atas terus dipinggirkannya isu lingkungan. Oleh karena itu semasa menjadi anggota DPRD Provinsi Jawa Tengah, ia memprakarsai berdirinya Kaukus Lingkungan Hidup DPRD Provinsi Jawa Tengah pada 2 Desember 2011.

Dalam buku berjudul "Menuju Green Budgeting" (2018) yang merupakan disertasi doktornya di Universitas Diponegoro Semarang, Fikri menjelaskan bahwa kaukus ini beranggotakan lintas fraksi dan komisi yang diketuai oleh Wakil Ketua DPRD Provinsi Jateng Abdul Fikri Faqih.

Sayangnya, dalam perjalanan selanjutnya setelah Fikri promosi menjadi anggota DPR RI pada 2014, kiprah kaukus ini vakum.

"Dengan kondisi tersebut, pada saat ini tidak ada aktivitas yang dilaksanakan oleh kaukus, termasuk di dalamnya kegiatan-kegiatan yang mendorong anggaran berbasis lingkungan," tulis Fikri dalam buku yang disunting Dr. Hartuti Purnaweni dengan editor bahasa D.Dj. Kliwantoro (hal. 113).

Meski bukan merupakan lembaga formal, prakarsa mendirikan Kaukus Lingkungan Hidup DPRD Provinsi Jawa Tengah tersebut sebenarnya bisa menjadi tonggak untuk mengubah arah pengalokasian APBD yang pro-lingkungan.

Namun, bersamaan dengan kevakuman kegiatan kaukus pada masa tugas anggota DPRD Jateng periode 2014-2019, menjadikan tekanan untuk menyusun "anggaran hijau" berkurang daya dorongnya.

Secara kelembagaan memang ada organisasi perangkat daerah yang bersentuhan langsung dengan isu lingkungan, seperti Dinas Lingkungan Hidup dan lainnya. Tekanan pentingnya menyusun anggaran berbasis pembangunan berkelanjutan juga datang dari LSM, akademisi, dan ormas.

Namun, sekali lagi bahwa artikulasi mereka kalah kencang dengan kepentingan ideologi pertumbuhan yang menjadikan isu lingkungan terpinggirkan.

Fikri menyebutkan pajak kendaraan bermotor (PKB, BBNKB, dan PBBKB) menjadi penopang penting dalam APBD Provinsi Jateng. Jumlah kendaraan di Jateng pada 2013 tercatat 8,6 juta unit, kemudian melambung menjadi 9,7 juta unit pada 2015 dengan penerimaan pajak dari Rp2,33 triliun (2013) menjadi 2,94 triliun pada 2015.

Bertambahnya jumlah kendaraan bermotor yang menggunakan BBM fosil tentu diikuti dengan meningkatnya polusi. Namun, pada program pengendalian pencemaran dan perusakan lingkungan, BLH pada 2014 hanya menganggarkan Rp1,7 miliar.

"Meskipun upaya perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup sudah tertuang dalam visi ke-5 RPJMD, pada tahap implementasi menjadi dokumen anggaran masih terlihat bahwa anggaran tersebut sangat minim dan tidak mampu menjawab permasalahan yang ada," tulis Fikri (hal. 96).

Apa yang disampaikan Fikri tersebut memperkuat berlakunya Teori Kurva Kuznet yang dikenal sebagai Enviromental Kuznet Curve (EKC).

Menurut teori ini, kata Fikri dalam buku tersebut, ketika pendapatan suatu negara masih tergolong rendah, perhatian negara tersebut akan tertuju pada bagaimana cara meningkatkan pendapatan negara, baik melalui produksi maupun invetasi yang mendorong peningkatan pendapatan dengan mengesampingkan kualitas lingkungan.

Akibatnya, kata Fikri dalam buku setebal 144 halaman itu, pertumbuhan pendapatan akan diikuti dengan kenaikan tingkat polusi dan kemudian menurun lagi dengan pertumbunan yang tertap berjalan.

Pakar manajemen lingkungan Prof. Sudharto Prawata Hadi dalam Temu Tahunan XVII Forum Rektor Indonesia di Medan pada 2015 menyatakan kecenderungan pemda mengejar pendapatan asli daerah.

Di sisi sama, kata mantan Deputi Menteri Lingkungan Hidup itu, daerah mengabaikan aspek-aspek yang tidak menghasilkan, seperti keluaran (output) yang berdimensi sosial, kesehatan, dan lingkungan.

Bersamaan dengan makin masifnya kerusakan alam dan perubahan iklim, setiap upaya untuk memperbaiki kualitas alam sekecil apa pun harus diapresiasi. Di titik inilah para pemangku kepentingan utama dalam penetapan APBN dan APBD, yakni birokrat dan politikus (DPR dan DPRD), perlu didorong untuk memperbaiki kualitas lingkungan di tingkat kebijakan.

Untuk mewujudkan penganggaran berbasis lingkunga (green budgeting), Fikri menekankan pentingnya regulasi yang lebih teknis, seperti pada perda dan pergub tentang keterlibatan komunitas lingkungan hidup dan didukung dengan sosialisasi yang memadai.

"Guna memastikan anggaran lingkungan masuk dalam dokumen perencanaan, perlu model anggaran berbasis lingkungan, model berupa dokumen pernyataan anggaran hijau yang disusun oleh setiap SKPD/OPD," tulis Fikri.

Bila saran Fikri tersebut direalisasi, boleh jadi tidak ada lagi kebijakan anggaran yang hanya fokus mengejar pertumbuhan ekonomi, namun mengorbankan lingkungan yang dianggap sebagai biaya yang wajar atas pertumbuhan. 

Pewarta : Achmad Zaenal M
Editor : Mahmudah
Copyright © ANTARA 2024