Dalam Rakernas Partai Gerindra, Prabowo Subianto didaulat sekaligus diberi mandat untuk kembali mencalonkan diri dalam Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019, dan Prabowo pun menyanggupinya.

Melalui kesanggupannya tersebut, kemungkinan setelah Partai Gerindra memperoleh mitra koalisinya, akan terjadi lagi aroma Pilpres di tahun 2014 yang lalu, yaitu Jokowi berkompetisi dengan Prabowo.

Kegembiraan, sekaligus kekhawatiran mungkin saja meliputi banyak kalangan masyarakat. Gembira, karena fonomena calon tunggal yang selama ini dikhawatirkan tidak akan terjadi.

Sebaliknya kekhawatiran terkait dengan fenomena politik identitas, serta cara berfikir sempit serta tradisional paternalistik, saat ini mulai menggejala, dan tentu kekhawatiran itu bukanlah mengada-ada.

Sudah saatnya rakyat tidak disuguhi dengan fenomena-fenomena yang memicu kekhawatiran, melainkan menyampaikan gagasan yang sehat bernuansa optimistis, karena tampaknya kaum milenial yang merupakan 45 persen pemilih lebih suka pada hal-hal yang bersifat kreatif dan optimistik.

Memang, biasanya kalangan oposisi lebih tampak cocok, bila pernyataannya berupa kritik, karena mereka memang sedang tidak menjalankan kebijakan-kebijakan untuk rakyat.

Namun, sebenarnya bukanlah hal yang tabu, bahkan justru akan berdampak positif dari sisi komunikasi, bila oposisi memberikan apresiasi terhadap kebijakan, atau pun hal lainnya yang dicapai pemerintah, bila memang pantas diapresiasi.

Dari sisi "public relations" (PR) apresiasi yang diberikan terhadap penguasa, sembari terus mendorong untuk terus ditingkatkan, justru akan menimbulkan simpati.

Sebaliknya dengan terus bernada menyerang apa pun, termasuk keberhasilan apa pun yang bahkan memperoleh penilaian positif berdasarkan data objektif, bahkan dari lembaga kompeten, justru akan sangat merugikan si pengkritik yang terkesan asal beda (waton suloyo : Bahasa Jawa).

Bila kita cermati, efek bumerang komunikasi asal beda itu bisa kita lihat nyata, utamanya bila kita amati, baik di media sosial, ataupun tanggapan bernuansa negatif berbagai pernyataan yang ada di media mainstream on-line, terkait dengan pernyataan elite yang berposisi di luar pemerintahan.

Pertanyaannya, tidakkah para elite, khususnya yang berposisi oposisi sadar dan segera mengubah model komunikasi yang selama ini mereka lakukan? Bagaimana tanggapan rakyat yang makin cerdas ini bila para elite oposan itu tidak mau mengubah model komunikasinya, atau sebaliknya mulai mengubahnya?

Bonus Petahana
Dua pakar komunikasi Towne dan Alder, menyebutkan bahwa kinerja akan bergaung lebih nyaring, dibanding wacana. Itulah sebenarnya keuntungan dari petahana yang dicalonkan kembali, selama kinerjanya dinilai serta dirasakan positif oleh rakyat, khususnya yang memiliki hak pilih.

Tingginya prosentase penilaian positif terhadap kinerja pemerintahan Jokowi-JK oleh berbagai lembaga survei, setidaknya secara objektif mencerminkan hal tersebut. Menghadapi kenyataan itu, sudah selayaknya bila sang penantang harus bekerja keras untuk mengambil hati rakyat, khususnya mereka yang memiliki hak pilih.

Dalam bahasa iklan, maka mengetahui keinginan aktual rakyat (consumers insight) untuk dimanfaatkan merebut hati mereka (positioning) merupakan keniscayaan.

Dalam kebiasaan lama, yang dilakukan biasanya dengan mencari titik lemah kebijakan penguasa, selanjutnya mengkritiknya, dengan mengaitkannya dengan keinginan rakyat tersebut.

Sayangnya, yang lebih mengemuka akhir-akhir ini adalah kritik yang kurang didukung data objektif, bahkan cenderung bersifat pesimistis.

Kritik terkait utang negara yang kurang komprehensif kajiannya yang berulangkali dibantah pemerintah dengan data yang lebih komprehensif, ramalan bubarnya Indonesia tahun 2030 yang pesimistis, hingga dualisme partai politik (parpol) yang sangat tendensius, tak urung menuai kriktik balik yang justru mengurangi simpati, termasuk yang ditunjukkan oleh salah satu hasil survei terhadap calon pemilih dari kalangan milenial.

Perubahan Model
Kritik yang kurang konstruktif serta bernada keras dari para elit, kemungkinan juga terkait dengan penyebutan tahun politik. Penyebutan tahun politik yang lebih bernuansa perebutan kekuasaan ini akan menjadi lebih soft bila misal disebut pesta demokrasi, meski istilah ini sering dikonotasikan sebagai peninggalan Orde Baru.

Karena itu, bila semua pihak mengarahkan tujuannya pada tujuan mulia, yaitu meningkatkan kesejahteraan rakyat sekaligus demi kejayaan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), maka alangkah indahnya bila ke depan pesan-pesan kampanye yang disampaikan disesuaikan dengan keinginan rakyat melalui pesan-pesan yang mendidik, serta menjauhkan dengan pesan yang bersifat pesimistis, bernuansa politik identitas, serta tradisional paternalistik.

Mengkritik kebijakan pemerintah melalui kampanye negatif, tidaklah dilarang, selama data pendukung yang disampaikan cukup komprehensif dan bukan fiktif.

Dilihat dari fungsi kampanye adalah menambah pengetahuan dan mungkin juga mengubah sikap serta perilaku, alangkah indahnya bila pengetahuan yang diperoleh rakyat bukanlah pengetahuan yang menyesatkan.

Pesan provokatif yang memicu gesekan serta perpecahan pun harus dihindarkan, karena betapa sayangnya NKRI yang oleh para bapak bangsa dibentuk dengan berdarah-darah, dirusak hanya oleh kepentingan kelompok yang bersifat sesaat, dengan mengatasnamakan kepentingan rakyat dengan berbagai nuansa dramatisme dalam meyakinkan.

Akhirnya, kita tentu berharap, kompetisi dalam memperebutkan kursi kekuasaan melalui pemilu yang akan datang berlangsung secara menarik, sekaligus persuasif serta emphatik, sehingga akhirnya terpilih pemimpin yang sesuai dengan keinginan rakyat, demi kejayaan NKRI.

*) Penulis adalah dosen dan Ketua Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi (STIKOM) Semarang.

Pewarta : Gunawan Witjaksana*
Editor : Nur Istibsaroh
Copyright © ANTARA 2024