Biksu Sri Pannyavaro mengecek para pekerja yang memperbaiki kolam ikan di dekat pintu masuk Wihara Mendut, ketika pelukis Suitbertus Sarwoko menemui kawannya yang hendak menyaksikan dirinya melukis "on the spot" di kompleks biara Budhis itu.

Siang itu, pelukis dari kawasan Candi Borobudur Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, tersebut, seorang diri membuat karya dengan cat air di atas kanvas di sekitar Candi Mendut.

Objek lukisannya yang dikerjakan mulai sekitar pukul 09.00 hingga 12.00 WIB adalah pohon Sala yang tumbuh besar di samping stupa setinggi sekitar empat meter dibuat dari batu alam warna putih.

Beberapa hari sebelumnya, Woko bersama pelukis Widoyo membuat karya lukisan masing-masing dengan objek Candi Mendut. Mereka melukis Candi Mendut dari pintu masuk bangunan cagar budaya tersebut. Candi Mendut berdekatan dengan Wihara Mendut yang dikelola bante karismatis, Sri Pannyavaro Mahathera.

Membuat karya lukis secara "on the spot" sejak lama dilakoni Woko. Pilihannya kali ini melukis di Candi Mendut dan Wihara Mendut bukan secara tiba-tiba. Akan tetapi, setelah selama ini dia sering mengunjungi Mendut, tak jauh dari Galeri Banyu Bening Borobudur yang dikelolanya di depan pintu masuk Kantor Taman Wisata Candi Borobudur.

Objek karya lukisannya kali ini tentang stupa dari batu putih di dekat pohon Sala di wihara itu juga sebelumnya telah beberapa kali dilihatnya. Sejak lama pula ia berangan-angan melukis dua objek tersebut.

Tidak diceritakan dengan kalimat rinci tentang objek yang menginspirasi Woko, selain ia hanya terus asyik menggoreskan kuasnya di atas kanvas. Sejumlah wisatawan mancanegara dan Nusantara yang mengunjungi wihara itu sesekali menghentikan langkah kakinya untuk melihat Woko melukis. Begitu pula, beberapa pekerja wihara terdengar berdecak tentang keindahan lukisan dengan objek tersebut.

Mendut dengan candi dan wiharanya bukan sekadar cerita tentang sejarah peninggalan masa lampau, era Buddha di Jawa, atau tentang tempat tinggal para biksu dan samanera (calon biksu).

Kompleks Candi Mendut dan Wihara Mendut yang asri, rapi, dan bersih dengan pepohonan yang rindang serta patung-patung di mana-mana yang menunjukkan ciri khas Buddha, memberikan ragam inspirasi untuk berkarya, sebagaimana telah menarik kehendak Woko membuat lukisannya kali ini.

Bante Pannyavaro menyebut biasanya pada sore hari cukup banyak wisatawan Candi Mendut yang juga masuk ke kompleks Wihara Mendut untuk menikmati suasana biara dengan taman dan berbagai benda koleksinya itu.

Suatu kebetulan bagi Woko siang itu melukis di kompleks biara tersebut karena tidak disangka bisa sekaligus berjumpa dengan Sang Biksu. Biksu berusia 64 tahun dan telah menempati Wihara Mendut sejak menjadi samanera pada 1976 itu, bahkan menyuguhkan air mineral dan buah pir untuk Sang Pelukis.

Ia juga memberikan tanda mata berupa kalender bergambar aktivitas para samanera dan buku cukup tebal berisi kumpulan khotbahnya di berbagai tempat dengan judul "Melihat Kehidupan ke Dalam", terbitan Vihara Mahasampatti Medan Sumatera Utara pada tahun lalu.

Dia pula seolah menarasikan objek lukisan yang sedang dibuat Woko, bahwa di bawah pohon Sala di Taman Lumbini itulah Sidharta Gautama lahir dan di bawah pohon itu pula Sang Buddha Gautama mangkat.

Menyangkut stupa dari batu putih itu, dikatakan Sri Pannyavaro, dibuat oleh pematung Tarjiman dari sekitar Muntilan, tak jauh dari Wihara Mendut atas permintaannya.

Sang Biksu terinspirasi dokumen yang dibacanya tentang Candi Kalasan di Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, di mana pada masa lalu terdapat puluhan stupa dari batu alam warna putih.

Akan tetapi, seiring dengan perjalanan waktu, stupa-stupa itu tergerus oleh perkembangan cuaca, hujan dan panas, dan akhirnya lapuk karena bahan dasar stupa yang berupa batu putih mudah lapuk.

Pembuatan stupa untuk ditempatkan Wihara Mendut, dengan wujud sebagaimana dicatat dalam sejarah Candi Kalasan, tidak lepas dari kehendak Sang Biksu untuk melestarikan warisan narasi tersebut.

Ia juga bertutur tentang replika dari bagian Ankor Wat di Kamboja yang didirikan di pintu masuk lainnya di Wihara Mendut dengan nama Gapura "Hening Karta", tentang empat moralitas luhur, yakni cinta kasih, welas asih, apresiasi, dan keteguhan.

Pertalian Ankor dan Jawa telah ada sejak zaman dahulu, antara lain tertulis dalam Prasasti Sdok Kak Thom (Tahun 974 Saka atau Tahun 1052 Masehi), di mana Raja Jayawarman atau Javarman II berasal dari Jawa (Dinasti Syailendra) memerintah Kerajaan Indrapura (Kamboja) selama 802-869 Masehi.

Di tengah perbincangan tentang Ankor, Sang Biksu juga menyatakan selalu ingat akan keinginan Raja Keraton Yogyakarta Sri Sultan Hamengku Buwono X untuk membuka jalur penerbangan langsung dari Yogyakarta-Kamboja.

Tentunya keinginan itu untuk mendorong lebih banyak lagi masyarakat dari Kamboja bertandang ke Candi Borobudur, Mendut, dan Pawon, di mana setiap hari Bante Pannyavaro tinggal.

"Mas Tanto (Budayawan Sutanto Mendut) juga menetap di Mendut, tapi lebih duluan saya," kata Sri Pannyavaro yang lahir di Blora, Jateng, pada 1954 dan ditahbiskan sebagai biksu dalam usia 23 tahun.

Sesekali Bante Pannya berjalan kaki dari biaranya ke rumah Sutanto yang berjarak sekitar 300 meter, demikian pula Tanto Mendut sesekali mengunjungi Sang Biksu itu di biaranya. Keduanya sama-sama seusia.

Sutanto Mendut yang juga budayawan Komunitas Lima Gunung Kabupaten Magelang itu mengemukakan betapa Mendut menjadi tanah terjanji untuk dirinya bersama keluarganya menjalani kehidupan sehari-hari hingga saat ini.

Tanto lahir dan besar di Kota Magelang. Setelah melanglang dalam dunia kesenian dan kebudayaan di Jakarta, pada akhir era 1970-an ia memutuskan tinggal di Mendut.

Bersama isterinya yang dari Jepang, Mami Kato, ia membuka Studio Mendut untuk menjual cendera mata berkualitas dan bernilai seni tinggi kepada wisatawan Candi Borobudur.

Studi Mendut pula dengan panggung alamnya di tepi "Kali Pabelan Mati", sebagai pusat kegiatan Komunitas Lima Gunung (Merapi, Merbabu, Andong, Sumbing, dan Menoreh) Kabupaten Magelang yang selama ini dihidupi dengan berbagai inspirasi Tanto Mendut.

Tanah Mendut disebut Tanto memberikan inspirasi sejak masa lampau. Pada zaman kolonial, pihak gereja Katolik membuka tempat pendidikan yang secara khusus mendidik anak-anak perempuan di Mendut. Di Muntilan Romo Van Lith membuka sekolah khusus untuk anak-anak laki-laki.

Kesenian tarian "Kobra Siswa" yang syair-syair tembang pengiringnya bernuansa islami dan menjadi sarana dakwah melalui jalur seni budaya, konon juga lahir di tanah Mendut.

Sutanto juga sering bercerita tentang inspirasi menarik dari relief di kaki Candi Mendut, di mana seekor kura-kura dibawa terbang oleh dua ekor burung, namun ia terjatuh karena euforianya bisa mengangkasa.

"Maksudnya, jangan sombong," ujar Tanto yang dahulu memutuskan tinggal di Mendut karena menjadi jalur utama perjalanan para wisatawan dari Yogyakarta ke Candi Borobudur.

Kumandang zuhur melalui pelantang salah satu masjid di Kelurahan Mendut terdengar di wihara siang itu.

Sebelum masuk ke tempat tinggalnya, Sang Biksu berpesan kepada Woko untuk istirahat atau kalau turun hujan supaya berteduh di salah satu bangunan megah dekat stupa batu putih dan pohon Sala yang dilukisnya.

Pewarta : Maximianus Hari Atmoko
Editor : Mahmudah
Copyright © ANTARA 2025