Semarang (Antaranews Jateng) - Keputusan pemerintah untuk mengimpor beras dari Vietnam dan Thailand sebanyak 500 ribu ton akhir Januari 2018 banyak mendapatkan penolakan dari para petani, organisasi petani, serta stakeholder pertanian lainnya karena Februari 2018 akan memasuki masa panen raya. 

Harsono, petani asal Kabupaten Grobogan (salah satu daerah penyangga pangan di Jateng) misalnya mengaku sepanjang bertanam padi, baru kali ini merasakan harga jual padi dengan harga tinggi hingga Rp5.500 per kilogram, karena tahun lalu hanya laku Rp2.500 per kilogram. Jika Pemerintah jadi impor beras, bisa dipastikan harga gabah dan beras akan turun, karenanya Harsono tidak setuju pemerintah mengimpor beras.

Petani lainnya, Murmin juga berharap tidak ada impor beras yang masuk, agar tidak merusak harga yakni turunnya harga jual di pasaran, karena para petani akan panen dalam waktu dekat.

Penolakan masuknya impor beras juga disampaikan para petani di Kabupaten Kudus yang siap panen pada akhir Januari 2018 dengan luasan lebih dari 5.000 hektare padi di Kecamatan Undaan dengan tingkat produktivitas hingga 7,3 ton per hektare dan setelah Februari 2018 luas areal lahan yang hendak dipanen lebih luas lagi.

Bulan Januari 2018 diperkirakan luasan panen di Jawa Tengah sekitar 110.652 hektare, sedangkan untuk Februari 2018 tercatat ada sekitar 340.000 hektare. Kementerian Pertanian juga mencatat stok beras secara nasional bisa mencapai 1 juta ton, sehingga cukup untuk memenuhi kebutuhan masyarakat selama 2-3 bulan mendatang.

Luas areal panen untuk skala nasional pada bulan Januari 2018 sekitar 1-1,2 juta hektare, sehingga ketika provitasnya mencapai 6 ton saja, maka memiliki stok 6 juta ton gabah kering panen (GKP). Jika rendemennya mencapai 50 persen, maka tercatat memiliki 3 juta ton beras, sedangkan tingkat konsumsi beras nasional berkisar 2,6 juta ton, sehingga stok yang ada cukup memenuhi kebutuhan masyarakat.

Ketua MPR Zulkifli Hasan berharap pemerintah bisa mengoptimalkan stok beras yang ada di Perum Bulog untuk operasi pasar sembari menunggu musim panen raya bulan Februari 2018, sehingga harga jual beras petani tidak terjun bebas.

Jika pemerintah ingin melakukan impor, lanjut Zulkifli, maka bisa untuk cadangan dalam negeri ketika di dalam negeri tidak ada stok serta cukup dengan beli pesan tanpa didatangkan bersamaan dengan panen raya.

Ketua Umum DPN Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) Fadli Zon juga menolak rencana impor ini dan melihat ada empat kejanggalan, salah satunya bulan Januari-Februari 2018 adalah masa panen.

Fadli Zon juga merasa janggal dengan rencana impor beras yang prosesnya dilakukan bukan oleh Bulog karena peraturan yang ada menegaskan bahwa Bulog lah institusi yang boleh melakukan impor beras.

Impor beras hanya ditujukan ke daerah krisis pangan dan sisanya masuk cadangan bisa menjadi salah satu upaya yang dapat ditempuh pemerintah untuk "menyelamatkan" kepentingan para petani menikmati keuntungan tanpa mengorbankan kebutuhan masyarakat luas yang tetap bisa mendapatkan harga beras dengan terjangkau.

Apalagi keputusan melakukan impor beras bukan kebijakan yang baik, karena bersifat paling sederhana untuk menyelesaikan masalah, sehingga langkah yang harus dilakukan adalah dengan memperkuat basis kapasitas produksi dalam negeri dan mengerahkan potensi yang ada secara masif di daerah penyangga pangan.



Pewarta : Nur Istibsaroh
Editor : Mahmudah
Copyright © ANTARA 2024