Semarang, ANTARA JATENG - Pakar bahasa Indonesia dari Universitas Negeri Semarang Profesor Fathur Rokhman mengatakan bahwa tidak ada permasalahan jika ada perbedaan dalam penggunaan lema/leksikon antara media massa dan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI).
"Yang penting di sini adalah lema/leksikon/istilah harus digunakan secara konsisten sehingga masyarakat bahasa Indonesia tidak bingung. Biarlah masyarakat bahasa kebebasan untuk memilih," kata Prof. Dr. Fathur Rokhman M.Hum. menjawab pertanyaan Antara di Semarang, Minggu.
Fathur yang juga Rektor Universitas Negeri Semarang menegaskan bahwa media massa merupakan media penyebarluasan informasi yang sangat efektif dan efisien. Oleh karena itu, perihal leksikon/istilah yang digunakan dalam media massa akan dijadikan salah satu sumber acuan bagi para pendidik/pembelajar bahasa Indonesia.
Di sisi lain, konsistensi penggunaan lema/leksikon/istilah tentu yang berbeda dengan KBBI, menurut Fathur, justru akan mendorong media massa tertentu memiliki icon atau brand yang bersumber dari penggunaan kosakata tersebut.
Dari sisi masyarakat pengguna bahasa, lanjut dia, kasus perbedaan tersebut akan mendorong semangat belajar dan mengkaji mengenai perbedaan lema/leksikon/istilah yang terjadi di tengah masyarakat sehingga kompetensi masyarakat tutur bahasa Indonesia lama-kelamaan akan mengalami peningkatan.
"Dengan demikian, ketidaksesuaian antara media massa dan KBBI mengenai penggunaan kata-kata tertentu tidak perlu dirisaukan," kata Guru Besar Bidang Sosiolingustik Fakultas Bahasa dan Seni Unnes itu.
Menurut dia, yang jauh lebih penting, ada dasar yang akurat dan dapat dipertanggungjawabkan oleh media massa dalam penggunaan kata/leksikon/istilah. Tanpa hal ini, justru akan merusak tata bahasa yang sudah disepakati oleh seluruh masyarakat bahasa Indonesia.
Jika dikembalikan kepada hakikat bahasa yang bersifat konvensional, kata Fathur, penentu kosakata/lema/leksikon terletak pada kesepakatan masyarakat bahasa.
Fathur mengatakan bahwa kosakata/lema/leksikon dan lain-lain yang sudah terdaftar KBBI, bahkan dapat diganti atau ditambah dengan lema/kosakata/istilah yang berkembang di tengah masyarakat.
"Kenyataan itu tampak pada contoh pada kata sangkil dan mangkus. Kedua kata tersebut ternyata tergerus dengan kata efektif dan efisien. Banyak pengguna bahasa Indonesia lebih memilih efektif dan efisien," katanya.
Ia menekankan, "Jadi, penggunaan istilah/kosakata/lema/leksikon yang berbeda antara media massa dan KBBI sepenuhnya akan diserahkan kepada masyarakat."
"Yang penting di sini adalah lema/leksikon/istilah harus digunakan secara konsisten sehingga masyarakat bahasa Indonesia tidak bingung. Biarlah masyarakat bahasa kebebasan untuk memilih," kata Prof. Dr. Fathur Rokhman M.Hum. menjawab pertanyaan Antara di Semarang, Minggu.
Fathur yang juga Rektor Universitas Negeri Semarang menegaskan bahwa media massa merupakan media penyebarluasan informasi yang sangat efektif dan efisien. Oleh karena itu, perihal leksikon/istilah yang digunakan dalam media massa akan dijadikan salah satu sumber acuan bagi para pendidik/pembelajar bahasa Indonesia.
Di sisi lain, konsistensi penggunaan lema/leksikon/istilah tentu yang berbeda dengan KBBI, menurut Fathur, justru akan mendorong media massa tertentu memiliki icon atau brand yang bersumber dari penggunaan kosakata tersebut.
Dari sisi masyarakat pengguna bahasa, lanjut dia, kasus perbedaan tersebut akan mendorong semangat belajar dan mengkaji mengenai perbedaan lema/leksikon/istilah yang terjadi di tengah masyarakat sehingga kompetensi masyarakat tutur bahasa Indonesia lama-kelamaan akan mengalami peningkatan.
"Dengan demikian, ketidaksesuaian antara media massa dan KBBI mengenai penggunaan kata-kata tertentu tidak perlu dirisaukan," kata Guru Besar Bidang Sosiolingustik Fakultas Bahasa dan Seni Unnes itu.
Menurut dia, yang jauh lebih penting, ada dasar yang akurat dan dapat dipertanggungjawabkan oleh media massa dalam penggunaan kata/leksikon/istilah. Tanpa hal ini, justru akan merusak tata bahasa yang sudah disepakati oleh seluruh masyarakat bahasa Indonesia.
Jika dikembalikan kepada hakikat bahasa yang bersifat konvensional, kata Fathur, penentu kosakata/lema/leksikon terletak pada kesepakatan masyarakat bahasa.
Fathur mengatakan bahwa kosakata/lema/leksikon dan lain-lain yang sudah terdaftar KBBI, bahkan dapat diganti atau ditambah dengan lema/kosakata/istilah yang berkembang di tengah masyarakat.
"Kenyataan itu tampak pada contoh pada kata sangkil dan mangkus. Kedua kata tersebut ternyata tergerus dengan kata efektif dan efisien. Banyak pengguna bahasa Indonesia lebih memilih efektif dan efisien," katanya.
Ia menekankan, "Jadi, penggunaan istilah/kosakata/lema/leksikon yang berbeda antara media massa dan KBBI sepenuhnya akan diserahkan kepada masyarakat."