Jakarta, ANTARA JATENG - Sejak dikeluarkan Pepres Pembentukan Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN), Mei lalu, hingga sekarang BSSN masih belum memiliki strukturnya. Padahal, ancaman siber sepanjang 2017 sangat memprihatinkan, mulai dari wannacry hingga nopetya yang efeknya sangat memprihatinkan.

Hal ini disampaikan oleh pakar keamanan siber Pratama Persadha, dalam seminar nasional Joint Statement Forum yang diadakan Himpunan Mahasiswa Hubungan Internasional Universitas Pembangunan Nasional Veteran Jakarta di Auditorium Bhineka Tunggal Ika, Jakarta, Senin (23/10).

Dalam seminar nasional bertajuk "Peningkatan Pertahanan Nasional Indonesia dalam Sektor Siber" yang dihadiri mahasiswa hubungan internasional se-Indonesia, Pratama mengatakan bahwa masyarakat awam kini mulai merasakan ancaman cybercrime, bahkan di banyak negara yang pernah menjadi target perang siber, masyarakatnya menjadi pihak paling dirugikan.

"ATM mati, listrik mati, bahkan gas sebagai penghangat ruangan juga tidak berfungsi," kata Ketua Lembaga Riset Keamanan Siber dan Komunikasi (CISSReC) Pratama Persadha.

Selain regulasi dan infrastruktur, kata Pratama, keamanan dunia siber juga perlu didukung dari sisi pemerintah selaku pemegang kekuasaan. Pembentukan BSSN melalui Perpres Nomor 53 Tahun 2017 merupakan langkah awal pemerintah dalam menyikapi isu strategis ini.

Namun, sayangnya hingga kini BSSN belum resmi disahkan akibat struktur organisasi dan susunan tugas pokok dan fungsi yang belum rampung.

"Di tengah makin tingginya ketergantungan manusia akan teknologi informasi, keamanan siber tentu harus menjadi prioritas utama negara, sebelum kerugian yang lebih besar menimpa Indonesia," kata pria asal Cepu Jawa Tengah ini.

Potensi ancaman siber pada tahun 2018 jelas akan bertambah besar jika BSSN masih belum efektif berjalan. Sepanjang 2016 saja, biaya kerugian akibat cybercrime secara global mencapai 450 miliar dolar AS.

"Angka tersebut bisa terus naik bila para netizen, khususnya di kota besar yang banyak terkait dengan dunia usaha dan pemerintah, masih mempunyai kesadaran siber yang rendah. Kelalaian sederhana bisa berakibat fatal," ucapnya.

Berdasarkan survei, tingkat kesadaran siber pengguna internet di Indonesia memang masih tergolong rendah. Pada kasus Wannacry, misalnya, masyarakat cenderung abai terhadap imbauan pemerintah untuk melakukan setting pada PC atau laptop bersistem operasi Windows.

"Dengan data tersebut ditambah BSSN yang belum berjalan, tentu akan memperbesar peluang serangan siber. Ini juga akan menjadi pertimbangan negatif investor ke Tanah Air," katanya.

Kasus peretasan website Telkomsel dan tiket.com merupakan sebagian kecil contoh rendahnya tingkat keamanan siber di Indonesia. Seharusnya dari kedua kasus itu dapat dijadikan pelajaran sekaligus peringatan bahwa ancaman cybercrime di Indonesia sudah di depan mata.

"Kerugian tak ternilai bisa terjadi bila peretasan berhasil menarget dan melumpuhkan objek kritis sebuah negara, meliputi sistem layanan pemerintahan, layanan gawat darurat, cadangan minyak dan gas, keuangan dan perbankan, transportasi, telekomunikasi, energi listrik, dan sistem pengairan," kata Pratama.

Bukan hanya itu, menurut Pratama, ancaman keamanan siber yang sebelumnya hanya dirasakan oleh negara dan dunia usaha, kini dirasakan mulai meluas oleh individu di tengah masyarakat, baik karena serangan siber maupun adanya celah keamanan pada sistem.

Pewarta : Rilis CISSReC
Editor :
Copyright © ANTARA 2024