Semarang, ANTARA JATENG - Enkripsi bisa mengurangi tingkat perompakan di Samudra Hindia karena para perompak (bajak laut) juga menguasai teknologi, setidaknya mereka memiliki scanner radio untuk memonitoring percakapan antarkapal yang melintas, kata pakar keamanan siber Doktor Pratama Persadha.

Usai tampil sebagai narasumber sekaligus panelis yang mewakili Indonesia pada forum internasional Indian Ocean Dialogue IV, Abu Dhabi, 9 s.d. 10 Oktober 2017, Pratama melalui surelnya kepada Antara di Semarang, Rabu pagi, menegaskan bahwa masalah perompakan di kawasan itu menjadi pekerjaan rumah yang serius.

Pratama yang juga Ketua Lembaga Riset Keamanan Siber dan Komunikasi (Communication and Information System Security Research Center/CISSReC) itu, memandang perlu melengkapi kapal-kapal tersebut dengan teknologi enkripsi pada radio agar perompak kesulitan memantau komunikasi mereka.

Perompak itu, lanjut dia, tidak bekerja sendiri, tetapi ada pihak-pihak yang membantu menyuplai informasi. Mereka mengerti teknologi, bahkan peretasan bisa dilakukan bila memang diperlukan data yang penting, yang tidak dimuat bebas di internet.

Selama ini, kapal tanker adalah salah satu objek yang paling sering disasar oleh perompak.

Dengan adanya enkripsi dan penguatan pertahanan siber di setiap negara, dia berharap bisa mempersempit dan mempersulit perompak untuk mendapatkan informasi.

Menyinggung soal Indian Ocean Dialogue 2017, Pratama menjelaskan bahwa penyelenggara forum internasional itu adalah Indian Ocean Rim Association (IORA). Organisasi internasional itu terdiri atas negara-negara pesisir yang berbatasan langsung dengan Samudra Hindia.

IORA adalah forum regional bersifat tripartit, menghimpun perwakilan dari negara, bisnis, dan akademi untuk mempromosikan kerja sama dan interaksi erat di antara mereka. Selain diwakili para akademisi dan praktisi terkait, turut hadir pula Kementerian Luar Negeri sebagai perwakilan pemerintah.

Bangun Kekuatan Siber

Pada forum internasional itu, Pratama menjelaskan pentingnya negara-negara di kawasan Samudra Hindia membangun kekuatan siber bersama-sama.

Apalagi, kawasan yang dihuni banyak negara Asia dan Afrika itu, mempunyai potensi konflik cukup besar. Konflik itu bisa disulut dengan berbagai hal, salah satunya konflik antara Saudi dan Qatar yang diawali dengan isu peretasan pada Qatar News Agency.

Konflik dan perompakan di kawasan tersebut, menurut Pratama, tidak bisa lepas dari masalah keamanan siber di masing-masing negara. Pasalnya, standar keamanan siber yang masih belum tercapai dengan baik, memudahkan adanya upaya spionase, perusakan, dan pencurian infomasi.

Ia mengutarakan bahwa potensi konflik yang sudah besar di kawasan Samudra Hindia akan bertambah besar bila negara-negara di daerah itu tidak menyamakan persepsi tentang pentingnya keamanan siber.

"Setiap negara perlu mempunyai badan siber dan juga pusat operasinya, bisa berupa security operation center (SOC) yang berfungsi mendeteksi, menganalisis, dan juga memperkuat pertahanan siber setiap negara. Jadi, tidak hanya bereaksi saat ada peretasan saja," katanya.

Pratama yang pernah sebagai Pelaksana Tugas Direktur Pengamanan Sinyal Lembaga Sandi Negara (Lemsaneg) itu, menilai perhatian pada keamanan siber belum terlalu besar di negara-negara kawasan Samudra Hindia, buktinya negara sebesar Indonesia saja baru membentuk badan siber pada 2017.

Bila setiap negara sudah ada badan siber dan SOC, kata Pratama, bisa dilakukan kerja sama. Sistem peringatan dini (early warning system) bisa dibangun bersama bila ada serangan di satu negara, negara lain bisa langsung waspada, bahkan tidak menutup kemungkinan untuk ikut membantu.

"Jadi, ada sharing information yang nanti bisa ditentukan bersama apa saja yang boleh dan tidak boleh di-share," kata pria asal Cepu, Kabupaten Blora, Jawa Tengah itu.

Pewarta : Kliwon
Editor :
Copyright © ANTARA 2024