Magelang, ANTARA JATENG - Dalang Komunitas Lima Gunung Sih Agung Prasetyo mengirim kabar melalui grup media sosial, Kamis (27/7) pagi ini, yang intinya telah lahir anak pertamanya, tadi malam, sekitar 2 jam sebelum pergantian hari.

Berita pendek itu secepat kilat direspons semarak kawan-kawannya dan mereka lainnya yang berjejaring dengan komunitas seniman petani Gunung Merapi, Merbabu, Andong, Sumbing, dan Menoreh Kabupaten Magelang, Jawa Tengah itu.

Ketika Sih Agung merayakan pernikahan dengan tambatan hatinya, Dian Anggraeni, sekitar pertengahan tahun lalu, perayaan kontemporer desa digarap oleh komunitas tersebut di kampungnya, di salah satu dusun di Kecamatan Grabag, dekat dengan Gunung Andong dan Telomoyo.

Pesta pernikahan pada tanggal 17 September 2016 itu oleh Komunitas Lima Gunung diberi tajuk "Wisudha Tumangkaring Wiji Tumuwuh (Kamajaya-Kamaratih)". Rumusan judul itu, kira-kira maksudnya sebagai pesta perkawinan, sedangkan Kamajaya-Kamaratih, pasangan dalam dunia pewayangan sebagai simbol suami-istri yang saling mencintai.

Kelahiran bayi putri, Sih Agung-Dian Anggraeni itu, di tengah semringah gairah warga Dusun Gejayan Desa Banyusidi, Kecamatan Pakis, Kabupaten Magelang, di kawasan Gunung Merbabu yang menjadi lokasi Festival Lima Gunung XVI/2017.

Dalam festival tersebut, Sih Agung mendapat daulat dari para petinggi Komunitas Lima Gunung untuk bersama aktris Annisa Hertami sebagai pembawa acara.

Festival tahunan tanpa sponsor oleh para seniman petani komunitas tersebut bakal berlangsung pada tanggal 28 s.d. 30 Juli 2017 dengan sedikitnya 60 kelompok kesenian akan pentas, baik dari kalangan komunitas itu maupun jaringannya di beberapa kota.

Seniman petani dusun setempat dengan bernaung di bawah Padepokan Warga Budaya Gejayan menjadi bagian dari Komunitas Lima Gunung sejak beberapa waktu terakhir memang mengasyikkan diri dengan persiapan festival.

Kesibukan mereka, antara lain, pembuatan panggung yang luas dengan instalasi burung garuda dan naga terbang raksasa di halaman rumah warga setempat, menghiasi jalan-jalan dusun dengan instalasi seni berbahan alam, pembuatan tempat-tempat untuk berjualan aneka makanan dan minuman.

Mereka juga merampungkan tahap akhir pembangunan masjid desa yang akan diresmikan pada hari Jumat (28/7) melalui pengajian, menghadirkan pemuka spiritual Komunitas Lima Gunung yang juga pengasuh Pondok Pesantren Asrama Perguruan Islam (API) Tegalrejo, Kabupaten Magelang, K.H. Muhammad Yusuf Chudlori (Gus Yusuf).

Selain itu, sedikitnya 40 rumah warga disiapkan untuk menginap dan transit para tamu dari beberapa kota yang telah mengonfirmasi kepada panitia festival tentang rencana kehadiran mereka.

Ungkapan gembira warga setempat juga tampak ketika pada hari Rabu (26/7) bakda magrib, panggung luas itu rampung mereka kerjakan, kemudian menguji coba tata lampu.

Anak-anak berlarian dan meloncat-loncat di atas panggung yang disinari lampu warna-warni. Sejumlah seniman dari Yogyakarta, malam itu, juga mencoba panggung tersebut untuk berlatih performa.

"`Padhang mbulan padhange koyo rina` (Sinar bulan begitu terang seperti siang hari, red.)," begitu terdengar sejumlah anak yang bermain-main di atas panggung malam itu menembangkan penggalan lagu dolanan anak berbahasa Jawa.

Inspirator utama Komunitas Lima Gunung yang juga budayawan Magelang Sutanto Mendut sejak sore hingga malam hari itu menunggui aktivitas warga Dusun Gejayan merampungkan pembuatan panggung.

Beberapa warga juga mengemukakan bahwa kabar festival berlokasi di desanya itu telah merambah sampai ke mana-mana. Apalagi, mereka juga bersukaria mengikuti perkembangan hiruk pikuk kabar festival yang beredar di jejaring media sosial. Di antara para pemuda setempat, juga memviralkan kabar tersebut.

"`Wah opo meneh nek nang medsos, wis heboh, rame banget. Tangga-tangga desa yo podho ngaruhke` (Kabar di media sosial juga sudah ramai, para tetangga desa juga menyatakan akan datang, red.)," kata Parmadi Ma`arif, instalator Panggung Garuda Festival Lima Gunung 2017.

Karya panggung itu diluncurkan melalui praacara yang mereka beri judul "Pekan Swafoto Panggung Garuda Festival Lima Gunung XVI/2017), akhir pekan lalu, melalui ritual doa warga, peluncuran buku antologi puisi "Menari Bersama Hujan" (Eka Pradhaning), pidato kebudayaan, dan pelepasan 16 ekor burung merpati sebagai lambang pedamaian dan ketenteraman.

Suasana menjelang hari puncak festival telah dirasakan meriah. Festival bakal dimeriahkan, antara lain, dengan kirab budaya, pameran lukisan dan batik, pementasan kesenian tradisional dan kontemporer, pentas musik, performa seni, dan pidato kebudayaan.

Sebagaimana penyelenggaraan festival tersebut tahun-tahun sebelumnya di desa-desa yang menjadi basis kelompok-kelompok seniman petani Komunitas Lima Gunung Riyadi yang pemimpin Padepokan Warga Budaya Gejayan itu juga merasa optimistis bakal didatangi banyak warga.

"O yo pasti, tidak hanya sekitar panggung, tetapi desa kami ini akan penuh dengan orang yang berdatangan untuk menonton pentas maupun menikmati suasana festival," ujarnya.

Festival Lima Gunung disebutnya sebagai perayaan batin orang desa yang mengungah semangat kearifan kehidupan desa, menaburkan panji-panji penghargaan terhadap keragaman, termasuk keragaman hayati, dan menyemai dengan gemuruh semangat persaudaraan antarsesama.

Tampaknya memang hanya modal sosial kuat yang bisa mewujudkan agenda kebudayaan, sebagaimana Festival Lima Gunung, karena mereka bukan sekadar menggelar festival tahunan, melainkan juga menyangkut perjalanan bersama para seniman petani dalam menghidupi proses berkomunitas selama ini.

"Modal sosial dijaga oleh warga, antarkomunitas, maupun dengan relasi yang jauh dari desa. Karena modal sosial itu, gembira pun hadir dengan tulus," ucap Riyadi yang juga salah satu pemimpin utama Komunitas Lima Gunung itu.

Kelahiran anak pertama sang dalang komunitas dianggap oleh Ketua Komunitas Lima Gunung Supadi Haryanto sebagai penggandaan anugerah Tuhan Yang Mahakuasa kepada komunitas yang dipimpinnya.

"Rasanya seperti dilipatgandakan kegembiraan festival tahun ini. Semoga bisa memberikan inspirasi kebaikan dan kegembiraan kepada lebih banyak orang. Kegembiraan dari desa," kata Supadi yang juga pemimpin kelompok seniman petani Sanggar Andong Jinawi Dusun Mantran Wetan, Kecamatan Ngablak, Kabupaten Magelang, di kawasan Gunung Andong.

Tentang kelahiran bayi tersebut, Nungki Nur Cahyani, penari kelompok "Centhini Gunung" yang berbasis di Yogyakarta dan menjadi bagian jejaring Komunitas Lima Gunung juga menungkapkan proficiatnya sambil bergurau.

"Selamat datang adek (adik, red.) mungil. Iki (ini, red.) anggota Lima Gunung termuda," katanya.

Suasana bersendau-gurau, bahkan saling mengejek, menjadi warna kental relasi di kalangan para pegiat Komunitas Lima Gunung, baik saat pertemuan-pertemuan langsung mereka maupun komunikasi melalui media sosial.

Begitu pula, ungkapan bergurau Riyadi. Ia berujar, "Bar Festival Lima Gunung sesok njor festival tilik bayi (Setelah Festival Lima Gunung dilanjutkan festival menengok bayi, red.)."

Tak terelakkan kegembiraan batin Sih Agung karena kelahiran si kecilnya bersamaan dengan rangkaian kemeriahan festival komunitasnya.

Ia seakan hendak membawa bayinya itu hadir dalam kemeriahan festival melalui ungkapannya "Ikut menyambut gegap gempita Festival Lima Gunung".



Pewarta : Oleh M. Hari Atmoko
Editor :
Copyright © ANTARA 2025