Bagi mereka yang kenal Bambang Sadono, peluncuran buku dengan pertunjukan wayang orang tidaklah heran. Pasalnya, dia sejak kecil gemar wayangan.

"Mainan lain yang disukai adalah wayang orang yang diperankan oleh anak-anak, termasuk saya. Mas Bambang Sadono menjadi dalang, sutradara, pemain, sekaligus yang menyiapkan perlengkapannya," kata Endang Sri Hanani, dosen Fakultas Ilmu Keolahragaan Universitas Negeri Semarang.

Ketika Bambang Sadono sebagai Ketua DPD I Partai Golkar Jawa Tengah periode 2004 s.d. 2009, ia mengadakan pementasan wayang kulit selama 35 malam berturut-turut di 35 kabupaten/kota di Jateng. Museum Rekor Dunia Indonesia (MURI) pun memberi anugerah atas pementasan dalam rangka HUT Ke-42 Partai Golkar itu.

"Seakan tak pernah berhenti merenung, berpikir, dan berkiprah untuk Wayang Orang (WO) Ngesti Pandowo, itulah Dr. H. Bambang Sadono,S.H.,M.H.," kata Pangarso (Pemimpin) WO Ngesti Pandowo Djoko Muljono dalam buku BS "60 Tahun Bambang Sadono: Kenangan Sepanjang Jalan".

Dalam tulisannya berjudul "Tak Pernah Lelah untuk Ngesti Pandhowo", Djoko Muljono mengatakan bahwa BS (sapaan akrab Bambang Sadono) bukan sebagai pelaku langsung atau anak wayang.

Baginya, lebih dari seorang bapak yang terus memberi motivasi dan dorongan, terutama bagaimana melestarikan dan memajukan kehidupan kesenian tradisional, khususnya WO Ngesti Pandowo.

Djoko Muljono adalah salah satu di antara 60 penulis yang masuk dalam catatan generasi yang lebih senior atau usianya di atas BS (kelahiran Blora, 30 Januari 1957).

Tidak hanya Djoko Muljono, Sofyan Lubis (Ketua Umum PWI Pusat periode 1993 s.d. 1998) dalam buku BS berukuran 16 sentimeter x 21 cm dengan ketebalan buku 278 halaman plus xviii juga menyingung pewayangan.

"Kalau ada orang yang berani merogoh kantong jas Presiden, dia adalah wartawan. Hetami, wartawan Suara Merdeka Semarang," katanya mengawali tulisannya berjudul "Menodong Gubernur untuk Bayar Dalang".

Dalam tulisan berikutnya: "Nah, kalau ada orang yang berani `menodong` gubernur di depan umum, dia juga wartawan. Dia juga sama dari Suara Merdeka. Dialah Bambang Sadono."

"Kresna Duta"

Tampaknya kisah pewayangan dengan lakon "Kresna Duta" tidak sekadar menambah kenangan ketika BS meluncurkan dua bukunya di Gedung Kesenian Ki Narto Sabdo, kompleks Taman Budaya Raden Saleh, Semarang, Sabtu (18/3) malam.

Sri Kresna yang terkenal sebagai tokoh pewayangan yang baik, berbudi luhur, cerdas, cerdik, adil, bijaksana, dan mahasakti ini tampil sebagai utusan Pandawa ke Kerajaan Hastinapura untuk menemui Kurawa.

Kresna menyanggupi sebagai utusan Pandawa meski dia tahu akan mengalami kegagalan yang bakal berujung pada perang Bharatayuda. Disadari pula bahwa tugasnya itu merupakan rencana dewata.

Kresna pun berangkat dan menagih janji kepada Prabu Duryudana, Kurawa tertua, untuk mengembalikan negeri Amarta setelah Pandawa Lima menjalani masa hukuman.

"Terjadilah perselisihan. Di situlah muncul kepahlawanan Setyaki. Bagi yang kenal saya, mereka tahu bahwa Setyaki adalah idola, tokoh pejuang, mudah-mudahan ikhlas untuk berkorban tanpa melihat apa yang akan diperolehnya," kata Ketua Badan Pengkajian MPR RI Bambang Sadono ketika memberikan sambutannya pada acara perluncuran bukunya.

Di dalam buku BS berjudul "60 Tahun Bambang Sadono: Kenangan Sepanjang Jalan", Prof. Dr. Ir. Edi Noersasongko, M.Kom., Rektor Universitas Dian Nuswantoro Semarang, juga menyinggung tokoh pewayangan yang menjadi idola BS.

Karakter setiap wayang sangat dikenalnya. Dari sekian tokoh pewayangan, kata Edi Noersasongko, tampaknya tokoh Raden Aryo Setyakilah yang sangat berkesan di hatinya.

Setyaki dalam perang Bharatayudha berpihak pada Pandawa ini dikenal mempunyai karakter pemberani, patuh, setia kawan, dan cinta tanah air. "Boleh jadi Mas Bambang mencoba merepresentasikan karakter Setyaki dalam kiprahnya selama ini," katanya.

Peningkatan Peran DPD

Jika melihat sepak terjangnya sebagai anggota Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD) belakangan ini, BS tengah memperjuangkan peningkatan peran DPD RI.

Menurut BS, ada sejumlah pilihan apakah kewenangan itu secara merata, baik di bidang legislasi, penganggaran, maupun pengawasan, atau ada pilihan baru. Misalnya, legislasi diserahkan sepenuhnya kepada DPR RI, tetapi pengawasan diserahkan kepada DPD.

"Hal ini juga pilihan-pilihan supaya ada keseimbangan peran," kata BS pada dialog publik "Urgensi Penataan Sistem Ketatanegaraan Indonesia Melalui Perubahan UUD 1945" yang digelar Badan Pengembangan Kapasitas Kelembagaan (BPKK) DPD di Semarang, Senin (13/3).

BS menyadari bahwa gagasan amendemen Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD NRI) 1945 bakal mengalami kesulitan.

Celah mengarah ke sana (amendemen UUD NKRI 1945) tampaknya sudah terbuka dengan adanya kesepakatan semua fraksi di MPR RI, khususnya mengenai Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN). Namun, sayangnya hal yang menyangkut kewenangan DPD RI tampaknya pintu belum terbuka lebar.

Pasalnya, masih ada beberapa fraksi yang mengusulkan bahwa amendemen UUD NRI 1945 hanya menyangkut GBHN, atau tidak ada agenda lain, termasuk peningkatan peran DPD RI.

"Kalau melihat peta seperti itu, DPD RI tidak mungkin akan mendapat sokongan dari PDI Perjuangan, NasDem, PAN, PPP, dan PKB karena mereka menginginkan amendemen terbatas," kata BS.

Sejumlah fraksi lainnya, misalnya, Partai Demokrat menyatakan tidak mau amendemen, tetapi GBHN diatur dalam undang-undang saja.

"Partai Golkar masih kanan kiri oke. Artinya, amendemen oke, Ketetapan MPR RI oke, dan UU juga oke," kata BS.

Sementara itu, Fraksi Gerindra tidak mempermasalahkan perubahan UUD NRI 1945, bahkan mengusulkan amendemen menyeluruh saja. Fraksi ini mengusulkan kembali ke UUD 1945 sebelum mengamendemen konstitusi itu.

Dalam sambutannya pada peluncuram buku BS, Sabtu (18/3) malam, Wakil Ketua DPD RI Prof. Dr. Farouk Muhammad mempertegas tulisannya berjudul "Gelisah karena Memudarnya Pancasila" (vide halaman 76) yang menyinggung pula topik amendemen UUD NRI 1945.

Tampilnya sejumlah politikus dalam buku tersebut turut mewarnai perjalanan hidup BS selama 60 tahun terakhir ini.

Pembaca tidak hanya tahu kegigihan BS dalam memperjuangan kesenian dan bahasa daerah, tetapi juga kiprahnya sebagai wakil rakyat, pendidik, dan jurnalis.

Jika PT Citra Almamater Baru akan mencetak ulang buku tersebut, alangkah baiknya mengedit kembali, kemudian menyesuaikannya dengan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 50 Tahun 2015 tentang Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia. Misalnya, singkatan "sampai dengan" di halaman ii adalah s.d., bukan s/d.

Begitu pula, dalam penulisan gelar yang diikuti nama diri. Jika memilih huruf kapital, semuanya menggunakan huruf besar. Misalnya, DOKTOR LINTANG RATRI RAHMIAJI, bukan Dr. LINTANG RATRI RAHMIAJI. Sebaliknya, kalau memilih huruf kecil, semuanya mengunakan huruf kecil, misalnya doktor lintang ratri rahmiaji.

Pewarta : Kliwon
Editor :
Copyright © ANTARA 2024