Pada Minggu (5/2), budayawan Komunitas Lima Gunung Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, Sutanto, genap berusia 63 tahun. Dia sering disebut sebagai Tanto Mendut karena tinggalnya tak jauh dari Candi Mendut.

Sanak kadang di komunitas seniman petani gunung itu, sejak beberapa tahun terakhir sering bercanda dengan Tanto, dengan menyebutnya sebagai tokoh nasional, setelah bertahun-tahun lamanya disebut pula sebagai Presiden Lima Gunung. Penyebutan itu terkesan membanggakan mereka karena Tanto Mendut yang identik desa dan gunung, hadir di tataran nasional.

Tanto dengan komunitasnya sudah tak terhitung lagi menggelar pentas seni dan gerakan kebudayaan di daerah itu dan berbagai kota besar, termasuk di Jakarta, dalam berbagai kesempatan.

Dia juga salah satu di antara puluhan budayawan dari berbagai daerah di Indonesia yang beberapa waktu lalu hadir bertatap muka dengan Presiden Joko Widodo di Istana Negara. Jokowi kala itu terkesan dengan pertemuan dengan mereka, antara lain karena ada yang menyebutnya sebagai "Presiden Ndesa", yang maksudnya presiden berpribadi sederhana. Tidak disebutkan siapa di antara para budayawan itu yang memberikan sebutan tersebut.

Tahun lalu pula, Tanto yang bersama isterinya Mami Kato (perempuan asal Jepang), mengelola Studio Mendut itu, mendapatkan anugerah Gus Dur Award dari keluarga mantan Presiden RI Abdurrahman Wahid (Gus Dur), sedangkan pada 2014, dia mendapat Anugerah Kebudayaan dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.

Hingga saat ini, telah 15 tahun berturut-turut komunitas yang dipupuk dengan pemikiran inspiratifnya, menggelar hajatan Festival Lima Gunung. Festival berkekuatan seniman petani gunung itu kini telah bergaung mendunia. Ia menyebut angka tahun festival itu bukan ukuran kelahiran Komunitas Lima Gunung, karena bertahun-tahun sebelumnya, Tanto memastikan jalan merintis komunitasnya.

Mereka yang intensif berkumpul dalam Komunitas Lima Gunung, bagaikan duduk bersila, menjadi "santri" Tanto Mendut. Mereka dengan tekun dan gembira, bercanda, penuh gelak tawa, mendapatkan kucuran pemikiran kreatif, inspirasi, dan tak jarang sarat perenungan mendalam dari guru kehidupan, Tanto Mendut.

Perayaan ulang tahunnya pada 2017 digarap secara kultural. Acaranya bagai menahtakan Tanto Mendut itu berlangsung di tempat yang dianggap sebagai pusaka oleh komunitas seniman petani tersebut, yakni Padepokan Tjipto Boedojo Tutup Ngisor, Desa Sumber, Kecamatan Dukun, Kabupaten Magelang.

Padepokan yang berdiri sejak 1937 di kawasan Gunung Merapi itu, saat ini dipimpin Sitras Anjilin, yang juga salah satu pemimpin utama Komunitas Lima Gunung yang melingkupi kawasan Gunung Merapi, Merbabu, Andong, Sumbing, dan Menoreh.

Secara simbolik dengan sarat pemaknaan, penahtaan Tanto Mendut melalui pementasan wayang orang dengan lakon kontemporer "Wisuda Seleh Merdeka". "Seleh" maksudnya "meletakkan jabatan" atau lengser.

Hadir para pemimpin utama komunitas, antara lain keluarga padepokan, budayawan, seniman dari beberapa kota, dan mereka yang selama ini berjejaring dengan Komunitas Lima Gunung dalam menggerakkan dinamika kebudayaan, tradisi, dan kesenian.

Dalam pertunjukan yang sesungguhnya membawa hadirin dalam refleksi kehidupan itu, para tamu di pendopo padepokan mendapat suguhan kuliner tradisional, antara lain teh hangat, kacang rebus, pisang godok, dan "thiwul", serta santapan "nasi doa". Aneka makanan tersebut disuguhkan keluarga padepokan dengan mengenakan kostum berbagai tokoh wayang.

Tata cara penyuguhan menu kuliner yang diiringi tabuhan gamelan itu, secara spontan dikatakan Tanto sebagai menghadirkan suasana "luar biasa" atas kekayaan desa karena sepengetahuannya selama ini tidak ada penyaji jamuan makan mengenakan beragam pakaian wayang orang. Wayang orang memang menjadi basis kesenian Padepokan Tjipto Boedojo.

Gagasan tentang lakon wayang orang dalam acara itu melalui pembicaraan mendalam para petinggi utama komunitas dengan Tanto Mendut yang kemudian dirumuskan dengan cermat oleh Sitras Anjilin bersama keluarga padepokannya, sebagai "Wisuda Seleh Merdeka".

Lakon "Wisuda Seleh Merdeka" tentang Puntadewa (Eka Pradaning) dinobatkan sebagai Raja Indraprasta atau Amarta dalam upacara yang dihadiri 100 raja dari berbagai belahan dunia. Marno yang mengenakan kostum Bagong bertindak sebagai dalang, sedangkan Sitras yang mengenakan pakaian Baladewa bertindak sebagai pembawa acara dalam penobatan, dan pengiring tabuhan gamelan dari perunggu milik padepokan itu dipimpin oleh pengendang, Darmawan.

Penobatan Puntadewa sebagai raja ditandai dengan dirinya membaca guritan "Mangreh Lakuning Sepi" tentang kepemimpinan yang tawaduk.

Guritan karya Eka Pradaning itu, antara lain berbunyi "Sedyaku angandarake rasa pangrasa tumrap sedya kang ndak babar. Yaiku tan miguh mring pakewuh, tan melu mosiking laku, tan gumun kang golek misuwur, tan keli klawan goreh lan sumuking ati. Awit sedyaku mung tansah amengku sakabehe mitra dadi kadang, ambirat prentuling sikara mangreh lakuning sepi".

Kira-kira maksudnya, bahwa pemimpin melangkah secara teguh, tak terpengeruh situasi mengharu-biru, tidak mencari kemasyhuran nama, memegang prinsip kebaikan dan kebenaran. Pemimpin menjalankan darma kehidupan dengan mementingkan persaudaraan, menyingkirkan niat buruk, dan mengendalikan jiwa agar memperoleh keheningan.

Dalam pementasan, juga dikisahkan Prabu Kresna (Muhammad Fahrudin) memaparkan tentang kepemimpinan yang berlandaskan nilai-nilai "hastabrata", yakni pemimpin bagaikan surya atau matahari (mengayomi), candra atau rembulan (menerangi), lintang (membangun keindahan), wahyu (memberikan anugerah), air (empati kepada rakyat kecil), api (menyemangati), angin (melengkapi kekurangan masyarakat), dan bumi (bersikap terbuka).

Dialog antartokoh sengaja dibiarkan campur aduk menggunakan bahasa Jawa dan bahasa Indonesia. Suasana pementasan terkesan cair karena sesekali para penonton yang terutama pegiat Komunitas Lima Gunung dari kursi masing-masing berceloteh "nyenggaki" (memperkuat) pementasan.

Humor dan canda tawa pun memecah pembicaraan antartokoh wayang. Mereka yang hadir bergembira dalam rengkuhan refleksi pemaknaan lakon yang hendak membawa Tanto Mendut menyatakan diri lengser sebagai Presiden Lima Gunung.

Rangkaian acara dilanjutkan di panggung terbuka Studio Mendut hingga petang dengan berbagai pementasan kesenian, termasuk prosesi ritual "Ondo Jiwo" dengan musik madya pitutur, tarian kuda lumping dan jaran kepang, soreng holic, lenggasor, gohmuko, pameran foto, lukisan, topeng, dan wayang gunung, serta performa seni lainnya oleh kelompok Centhini Gunung.

Malam harinya di Pondok Pesantren Pabelan, bersama budayawan Emha Ainun Nadjib (Cak Nun) yang juga sahabat Tanto Mendut selama 41 tahun terakhir, Komunitas Lima Gunung juga menggelar pentas dalam pengajian yang berlangsung semarak diprakarsai salah satu jejaringnya, Komunitas Maneges Qudroh Kabupaten Magelang.

Tanto mengaku merasa kaya berada di tengah komunitas dengan orang-orang yang sederhana dan tulus, pekerja keras dan tekun dalam mengolah alam gunung, dengan segala problematik serta tantangannya.

Orang-orang itu, disebutnya sebagai selalu membangun semangat menerima apa adanya atas liyan dan menghidupi semangat kekeluargaan dengan gotong-royong. Hal itu sebagaimana para tokoh wayang yang bukan saja sekadar dipahami terkotak-kotak sebagai sifat-sifat dikotomi antara keluarga Pandawa dan Kurawa.

Komunitas Lima Gunung ini, katanya, menerima kehadiran siapa saja untuk "berjodoh" sebagai sesama manusia, dengan segala kekurangan dan kelebihan masing-masing, karena kehidupan ini disadari sebagai hal yang komplit, sebagaimana desa yang dicukupi oleh alam.

"Di Jawa ada 'kasunyatan' (realitas). Hidup itu ada bohong, khayalan, takhayul. Hidup itu sungguh nyata. Ternyata hidup tidak sekadar jujur, sederhana, adil. Tapi ada bijaksana. Orang desa bijaksana menghadapi 'kasuyatan'," katanya.

Dalam berbagai pertemuan dengan pegiat komunitasnya, ia selalu mengingatkan mereka agar tidak terbuai dengan sebutan seniman dan pujian atas pementasan, karena mereka juga harus bergumul dengan bercocok tanam, bergaul dengan banyak pihak, dan membangun kehidupan bersama di desa, menjadi warga negara yang baik, serta memperhatikan masa depan anak-anak.

"Kalau anda tetap 'bening', anda tetap berguna. Anda bebas melakukan apa saja, yang penting bertanggung jawab. Jangan mau dicuci otak oleh media sosial, tetapi anda memanfaatkan medsos untuk kebaikan," ujarnya terkait dengan keputusan "seleh" sebagai Presiden Lima Gunung.

Ketua Komunitas Lima Gunung Supadi Haryanto mengakui tentang tidak gampang memahami secara seketika atas pemikiran dan inspirasi yang ditebarkan Tanto Mendut kepada para pegiat komunitas.

Akan tetapi, katanya, waktu membawa mereka menemukan nilai pendidikan kehidupan dan tujuan gerakan kebudayaan yang dibangun oleh gurunya itu, antara lain menyangkut kepercayaan diri sebagai petani, kesadaran akan keelokan alam desa dan gunung yang melingkupi kehidupannya, serta spirit tradisi berkesenian yang membuat mereka percaya diri, yang harus terus dihidupi.

Cak Nun menyebut Komunitas Lima Gunung bersyukur memiliki Tanto Mendut karena mereka diajak untuk tidak mengeksploitasi kehidupan dan alamnya akan tetapi mensyukuri ciptaan Tuhan.

"Subjeknya bukan dunia, tetapi seluruh dunia ini alam semesta adalah alat yang dilimpahkan kepada kita agar kita menikmati. Mas Tanto bukan hidup di dunia ini, tetapi dunia hidup pada dirinya," katanya.

Oleh karenanya, Cak Nun menyatakan tidak percaya kalau Tanto Mendut "seleh" dari peranan di Komunitas Lima Gunung.

"Justru hari ini 'jumenengan e' (penahtaannya) Tanto. Pemimpin ya seperti itu. Hari ini kita junjung lebih tinggi, kita resmikan dalam kalbu tentang contoh yang sejati," katanya.

Menurut Can Nun, Tanto telah membuat orang-orang Lima Gunung bersyukur atas nikmat Allah.

"Mereka orang-orang yang saling mencintai karena mensyukuri nikmat Allah. Mereka bersaudara yang lekat padahal tidak punya hubungan darah, mereka saling percaya padahal tidak mendapat apa-apa, namun tetap memberi," katanya.

Pewarta : M. Hari Atmoko
Editor : Mahmudah
Copyright © ANTARA 2024