Magelang, Antara Jateng - Dalang Sih Agung Prasetya bercerita singkat kepada beberapa pegiat utama Komunitas Lima Gunung bahwa Kepala Desa Baleagung, Kabupaten Magelang, datang menyampaikan gembira karena salah satu dusunnya semarak oleh pesta desa yang diselenggarakan secara mandiri.
Cerita itu disampaikan Sih Agung pada Jumat (16/9) malam, sebelum puncak acara kebudayaan yang oleh komunitas seniman petani di kawasan Gunung Merapi, Merbabu, Andong, Sumbing, dan Menoreh itu, diberi nama pesta desa dengan tema "Wisudha Tumangkaring Wiji Tumuwuh (Kamajaya-Kamaratih)", Sabtu (17/9) siang.
Sesungguhnya acara di Dusun Sudimoro, Desa Baleagung, Kecamatan Grabag, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, di kawasan dekat Gunung Andong itu adalah perayaan syukuran atas pernikahan sang dalang berusia 30 tahun tersebut dengan gadis pilihannya, Dian Anggraeni (26).
Akan tetapi, Sih Agung dan Komunitas Lima Gunung dengan inspirator budayawan Sutanto Mendut mengarang perayaan pernikahan menjadi pesta desa yang kontemporer dengan tidak membatasi kehadiran siapa saja untuk menonton dan menikmati keramaian di dusun terpencil itu.
Kedua mempelai dan pihak keluarga juga berteguh tidak menerima sumbangan dari mereka yang hadir dalam bentuk apa pun. Sehari-hari, baik Sih Agung maupun Dian, bekerja sebagai guru di sekolah swasta di Kota Magelang, relatif cukup jauh dari dusun setempat.
"Kami ingin menjadikan pesta desa ini bukan untuk kami, melainkan untuk semua masyarakat desa," ujar Sih Agung.
Keramaian dusun dalam pesta desa tersebut tidak lepas dari sejumlah pementasan kesenian tradisional dan kontemporer, termasuk pentas musik ekslporatif, selama dua hari (16 s.d. 17 September 2016) di dusun yang juga tempat tinggal sang dalang.
Selain itu, petinggi komunitas Sujono memimpin masyarakat Sudimoro selama beberapa hari sebelumnya untuk menghiasi jalan-jalan utama dengan memasang berbagai instalasi berbahan baku bambu dan jerami. Wajah dusun setempat menjadi semarak.
Latar belakang panggung pementasan yang menempati lapangan voli, dipakai untuk pelaminan, dibuat dengan tatanan bambu dan dominasi anyaman daun kelapa, serta instalasi seni dari jerami.
Beberapa pentas kesenian, antara lain, musik eksplorasi oleh Kelompok Jodokemil Magelang, tarian Obros, Grasak, dan Ketoprak. Pada puncak acara, Sabtu (17/9) siang, setelah zuhur yang diawali dengan kirab budaya dan berbagai pidato para tamu dan tokoh yang hadir, sejumlah kesenian yang dipentaskan, antara lain, Soreng, Kuda Lumping, Topeng Ireng, Gohmuko, dan Kukilo Gunung.
Penyanyi tersohor saat ini dari Kota Solo, Endah Laras, juga hadir dengan menyuguhkan dua tembang berbahasa Jawa berjudul "Temanten Anyar" dan "Ayo Ngguyu" diringi petikan ukulele-nya.
Ia mengemas pementasannya sambil berdialog dan bergojek dengan pembawa acara yang memerankan tiga punakawan, yakni Bagong (Supadi Haryanto), Petruk (Timbul Prayitno), dan Gareng (Pangadi).
Penonton yang memadati arena pesta desa dibawa dalam suasana sendau gurau dan tertawa atas pementasan Endah Laras dengan tiga punakawan yang juga sejumlah pemimpin utama Komunitas Lima Gunung itu.
Hadir pada acara di dusun dengan sekitar 300 jiwa yang umumnya bekerja sebagai buruh tani itu, antara lain, Kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Magelang Edy Susanto, Camat Grabag Purwanto, Kepala Desa Baleagung Irwan, pemimpin Pondok Pesantren Asrama Perguruan Islam Tegal Rejo Kabupaten Magelang K.H. Muhammad Yusuf Chudhlori, dan budayawan Sutanto Mendut.
Mereka memulai puncak pesta desa dengan kirab budaya dari tepi pemukiman dusun menuju ke tempat pementasan dipimpin salah satu petinggi Komunitas Lima Gunung, Sitras Anjilin. Sih Agung dan Dian Anggraeni yang masing-masing mengenakan pakaian adat Jawa diarak dengan menggunakan dua tandu dibuat oleh Sujono dengan bambu dan janur.
Ratusan orang lainnya, antara lain, anggota berbagai grup kesenian dan warga setempat yang mengenakan pakaian adat Jawa turut dalam kirab, sedangkan Kepala Dusun Sudimoro Daryo Sutopo menunggang kuda.
Sebagian warga lainnya dan pihak dari kedua keluarga pengantin berdiri di tepi jalan yang dilalui kirab dengan cucuk lampah tiga penari perempuan yang masing-masing membawa daun jati.
Pengurus Gereja Kristen Jawa Klasis Magelang Pendeta Pujo Kristanto pada kesempatan itu membacakan puisi doa berjudul "Konjuk Mring Paduka" (Bersembah kepada Tuhan), sedangkan penyair muda Komunitas Lima Gunung Atika mempersembahkan puisi karyanya berjudul "Karonsih".
Dalam pesta desa itu, kedua mempelai dipimpin Sitras Anjilin menjalani prosesi ritual kontemporer Komunitas Lima Gunung berjudul "Andha Tresna" (Tangga Cinta). Keduanya bergantian dengan dibimbing punakawan menapakkan kakinya menaiki tangga dari bambu yang diletakkan di tengah arena pesta desa.
Para tamu undangan, masyarakat, dan seniman yang melakukan pementasan mendapatkan suguhan berupa "pala kependhem", yakni berbagai hasil pertanian yang tumbuh di dalam tanah, seperti ketela pohon, umbi, kacang rebus, tales, dan gembili, sedangkan menu minumannya berupa teh hangat, dawet, dan es buah.
Puluhan pedagang kaki lima menggelar berbagai dagangan di tepi kanan dan kiri jalan dusun terpencil itu, antara lain, berupa mainan anak-anak, pakaian, berbagai menu makanan dan minuman, serta kerajinan rakyat.
Orang berdatangan ke dusun setempat tidak hanya warga dari berbagai desa di sekitar Gunung Andong tersebut, tetapi beberapa lainnya datang dari sejumlah kota besar.
"Sungguh acara ini membuat warga desa bangga kepada desanya, anak-anak muda mengenal kesenian dan kebudayaannya. Ini menggugah masyarakat untuk melestarikan kesenian," kata Kades Baleagung Irwan. Desa Baleagung meliputi 10 dusun (salah satunya Dusun Sudimoro) dan delapan pedukuhan dengan sekitar 6.000 jiwa.
Selain menjadi kesempatan masyarakat menikmati hiburan rakyat, pesta desa juga mewujudkan semangat kebersamaan dan gotong royong dalam menggelola acara kebudayaan.
Petinggi Komunitas Lima Gunung yang juga pemimpin Padepokan Warga Budaya Dusun Gejayan, Desa Banyusidi, Kecamatan Pakis, di kawasan Gunung Merbabu, Riyadi, menjelaskan tentang tema acara yang mewujudkan semangat kesetiaan sebagaimana pasangan suami dan istri dalam hidup berkeluarga.
"Hidup berkeluarga menjadi landasan hidup gembira di tengah masyarakat. Kehidupan manusia makin berkembang. 'Wisudha Tumangkaring Wiji Tumuwuh' sebagai perayaan gembira untuk makin berkembangnya benih-benih kehidupan manusia, menjadi keluarga yang bahagia dan masyarakat yang sejahtera dan gembira," katanya.
Seorang tokoh masyarakat Dusun Sudimoro, Asrofi, yang didaulat berpidato dengan didampingi sejumlah pemuka formal dan informal warga desa setempat lainnya, bercerita menggunakan bahasa Jawa tentang keadaan masyarakat dusun itu.
Disebutnya kehidupan sehari-hari sebagian besar masyarakat setempat yang sederhana atau bahkan dalam suasana kemiskinan tetapi tidak mengurangi kekuasaan mereka untuk menatap kebahagiaan dengan caranya.
"Begini keadaan masyarakat dusun, lemah ekonomi. Tidak bisa menyediakan tempat yang pantas karena keadaan. Meskipun demikian, dalangnya sering mengatakan bahwa Sudimoro 'gemah ripah loh jinawi, tulus kang sarwo tinandur' (subur, red.)," katanya.
Masyarakat setempat membuat pesta desa tanpa berpikir hal yang muluk-muluk. Akan tetapi, semangat guyup dan rukun sebagai ihwal yang mereka kedepankan.
"Kami tidak bisa membayangkan yang indah-indah, tetapi ini semua hasil persatuan masyarakat dan warga Komunitas Lima Gunung," katanya.
Kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Magelang Edy Susanto mengapresiasi pesta desa di Dusun Sudimoro yang membuat banyak orang datang untuk berkumpul, menyaksikan, dan menikmati tontonan tersebut.
Sesungguhnya acara itu telah menjadi karya kreatif yang membuat warga berwisata antardesa dan antarkota.
"Siapa pun boleh menikmati, seniman datang ke sini memeriahkan acara. Inilah namanya pariwisata, membuat orang datang dengan gembira hati. Kemajuan desa terjadi karena warganya kreatif," katanya.
Mereka yang berduyun-duyun hadir dalam pesta itu tampak menikmati kekuasaan dusun dalam mengemas bahagia warganya melalui agenda budaya kontemporer desa.
Cerita itu disampaikan Sih Agung pada Jumat (16/9) malam, sebelum puncak acara kebudayaan yang oleh komunitas seniman petani di kawasan Gunung Merapi, Merbabu, Andong, Sumbing, dan Menoreh itu, diberi nama pesta desa dengan tema "Wisudha Tumangkaring Wiji Tumuwuh (Kamajaya-Kamaratih)", Sabtu (17/9) siang.
Sesungguhnya acara di Dusun Sudimoro, Desa Baleagung, Kecamatan Grabag, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, di kawasan dekat Gunung Andong itu adalah perayaan syukuran atas pernikahan sang dalang berusia 30 tahun tersebut dengan gadis pilihannya, Dian Anggraeni (26).
Akan tetapi, Sih Agung dan Komunitas Lima Gunung dengan inspirator budayawan Sutanto Mendut mengarang perayaan pernikahan menjadi pesta desa yang kontemporer dengan tidak membatasi kehadiran siapa saja untuk menonton dan menikmati keramaian di dusun terpencil itu.
Kedua mempelai dan pihak keluarga juga berteguh tidak menerima sumbangan dari mereka yang hadir dalam bentuk apa pun. Sehari-hari, baik Sih Agung maupun Dian, bekerja sebagai guru di sekolah swasta di Kota Magelang, relatif cukup jauh dari dusun setempat.
"Kami ingin menjadikan pesta desa ini bukan untuk kami, melainkan untuk semua masyarakat desa," ujar Sih Agung.
Keramaian dusun dalam pesta desa tersebut tidak lepas dari sejumlah pementasan kesenian tradisional dan kontemporer, termasuk pentas musik ekslporatif, selama dua hari (16 s.d. 17 September 2016) di dusun yang juga tempat tinggal sang dalang.
Selain itu, petinggi komunitas Sujono memimpin masyarakat Sudimoro selama beberapa hari sebelumnya untuk menghiasi jalan-jalan utama dengan memasang berbagai instalasi berbahan baku bambu dan jerami. Wajah dusun setempat menjadi semarak.
Latar belakang panggung pementasan yang menempati lapangan voli, dipakai untuk pelaminan, dibuat dengan tatanan bambu dan dominasi anyaman daun kelapa, serta instalasi seni dari jerami.
Beberapa pentas kesenian, antara lain, musik eksplorasi oleh Kelompok Jodokemil Magelang, tarian Obros, Grasak, dan Ketoprak. Pada puncak acara, Sabtu (17/9) siang, setelah zuhur yang diawali dengan kirab budaya dan berbagai pidato para tamu dan tokoh yang hadir, sejumlah kesenian yang dipentaskan, antara lain, Soreng, Kuda Lumping, Topeng Ireng, Gohmuko, dan Kukilo Gunung.
Penyanyi tersohor saat ini dari Kota Solo, Endah Laras, juga hadir dengan menyuguhkan dua tembang berbahasa Jawa berjudul "Temanten Anyar" dan "Ayo Ngguyu" diringi petikan ukulele-nya.
Ia mengemas pementasannya sambil berdialog dan bergojek dengan pembawa acara yang memerankan tiga punakawan, yakni Bagong (Supadi Haryanto), Petruk (Timbul Prayitno), dan Gareng (Pangadi).
Penonton yang memadati arena pesta desa dibawa dalam suasana sendau gurau dan tertawa atas pementasan Endah Laras dengan tiga punakawan yang juga sejumlah pemimpin utama Komunitas Lima Gunung itu.
Hadir pada acara di dusun dengan sekitar 300 jiwa yang umumnya bekerja sebagai buruh tani itu, antara lain, Kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Magelang Edy Susanto, Camat Grabag Purwanto, Kepala Desa Baleagung Irwan, pemimpin Pondok Pesantren Asrama Perguruan Islam Tegal Rejo Kabupaten Magelang K.H. Muhammad Yusuf Chudhlori, dan budayawan Sutanto Mendut.
Mereka memulai puncak pesta desa dengan kirab budaya dari tepi pemukiman dusun menuju ke tempat pementasan dipimpin salah satu petinggi Komunitas Lima Gunung, Sitras Anjilin. Sih Agung dan Dian Anggraeni yang masing-masing mengenakan pakaian adat Jawa diarak dengan menggunakan dua tandu dibuat oleh Sujono dengan bambu dan janur.
Ratusan orang lainnya, antara lain, anggota berbagai grup kesenian dan warga setempat yang mengenakan pakaian adat Jawa turut dalam kirab, sedangkan Kepala Dusun Sudimoro Daryo Sutopo menunggang kuda.
Sebagian warga lainnya dan pihak dari kedua keluarga pengantin berdiri di tepi jalan yang dilalui kirab dengan cucuk lampah tiga penari perempuan yang masing-masing membawa daun jati.
Pengurus Gereja Kristen Jawa Klasis Magelang Pendeta Pujo Kristanto pada kesempatan itu membacakan puisi doa berjudul "Konjuk Mring Paduka" (Bersembah kepada Tuhan), sedangkan penyair muda Komunitas Lima Gunung Atika mempersembahkan puisi karyanya berjudul "Karonsih".
Dalam pesta desa itu, kedua mempelai dipimpin Sitras Anjilin menjalani prosesi ritual kontemporer Komunitas Lima Gunung berjudul "Andha Tresna" (Tangga Cinta). Keduanya bergantian dengan dibimbing punakawan menapakkan kakinya menaiki tangga dari bambu yang diletakkan di tengah arena pesta desa.
Para tamu undangan, masyarakat, dan seniman yang melakukan pementasan mendapatkan suguhan berupa "pala kependhem", yakni berbagai hasil pertanian yang tumbuh di dalam tanah, seperti ketela pohon, umbi, kacang rebus, tales, dan gembili, sedangkan menu minumannya berupa teh hangat, dawet, dan es buah.
Puluhan pedagang kaki lima menggelar berbagai dagangan di tepi kanan dan kiri jalan dusun terpencil itu, antara lain, berupa mainan anak-anak, pakaian, berbagai menu makanan dan minuman, serta kerajinan rakyat.
Orang berdatangan ke dusun setempat tidak hanya warga dari berbagai desa di sekitar Gunung Andong tersebut, tetapi beberapa lainnya datang dari sejumlah kota besar.
"Sungguh acara ini membuat warga desa bangga kepada desanya, anak-anak muda mengenal kesenian dan kebudayaannya. Ini menggugah masyarakat untuk melestarikan kesenian," kata Kades Baleagung Irwan. Desa Baleagung meliputi 10 dusun (salah satunya Dusun Sudimoro) dan delapan pedukuhan dengan sekitar 6.000 jiwa.
Selain menjadi kesempatan masyarakat menikmati hiburan rakyat, pesta desa juga mewujudkan semangat kebersamaan dan gotong royong dalam menggelola acara kebudayaan.
Petinggi Komunitas Lima Gunung yang juga pemimpin Padepokan Warga Budaya Dusun Gejayan, Desa Banyusidi, Kecamatan Pakis, di kawasan Gunung Merbabu, Riyadi, menjelaskan tentang tema acara yang mewujudkan semangat kesetiaan sebagaimana pasangan suami dan istri dalam hidup berkeluarga.
"Hidup berkeluarga menjadi landasan hidup gembira di tengah masyarakat. Kehidupan manusia makin berkembang. 'Wisudha Tumangkaring Wiji Tumuwuh' sebagai perayaan gembira untuk makin berkembangnya benih-benih kehidupan manusia, menjadi keluarga yang bahagia dan masyarakat yang sejahtera dan gembira," katanya.
Seorang tokoh masyarakat Dusun Sudimoro, Asrofi, yang didaulat berpidato dengan didampingi sejumlah pemuka formal dan informal warga desa setempat lainnya, bercerita menggunakan bahasa Jawa tentang keadaan masyarakat dusun itu.
Disebutnya kehidupan sehari-hari sebagian besar masyarakat setempat yang sederhana atau bahkan dalam suasana kemiskinan tetapi tidak mengurangi kekuasaan mereka untuk menatap kebahagiaan dengan caranya.
"Begini keadaan masyarakat dusun, lemah ekonomi. Tidak bisa menyediakan tempat yang pantas karena keadaan. Meskipun demikian, dalangnya sering mengatakan bahwa Sudimoro 'gemah ripah loh jinawi, tulus kang sarwo tinandur' (subur, red.)," katanya.
Masyarakat setempat membuat pesta desa tanpa berpikir hal yang muluk-muluk. Akan tetapi, semangat guyup dan rukun sebagai ihwal yang mereka kedepankan.
"Kami tidak bisa membayangkan yang indah-indah, tetapi ini semua hasil persatuan masyarakat dan warga Komunitas Lima Gunung," katanya.
Kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Magelang Edy Susanto mengapresiasi pesta desa di Dusun Sudimoro yang membuat banyak orang datang untuk berkumpul, menyaksikan, dan menikmati tontonan tersebut.
Sesungguhnya acara itu telah menjadi karya kreatif yang membuat warga berwisata antardesa dan antarkota.
"Siapa pun boleh menikmati, seniman datang ke sini memeriahkan acara. Inilah namanya pariwisata, membuat orang datang dengan gembira hati. Kemajuan desa terjadi karena warganya kreatif," katanya.
Mereka yang berduyun-duyun hadir dalam pesta itu tampak menikmati kekuasaan dusun dalam mengemas bahagia warganya melalui agenda budaya kontemporer desa.