Magelang, Antara Jateng - Pasar Paingan bertepatan dengan pengajian Minggu Paing Masjid Agung Kauman Kota Magelang sejak penghujung Juli lalu ditutup, sedangkan pedagangnya direlokasi pemerintah setempat, demi penataan wajah kota kecil itu agar selalu tampak rapih, indah, dan bersih.
Para pedagang yang biasanya berjualan di sekitar trotoar alun-alun setempat di depan masjid tersebut hanya 35 hari sekali, diklaim Pemkot Magelang, Jawa Tengah, telah direlokasi ke Lapangan Resimen Induk Pendidikan Kodam IV/Diponegoro, sekitar satu kilometer dari tengah kota itu.
Surat edaran dari Dinas Pengelolaan Pasar Pemkot Magelang terkait dengan larangan berjualan di tempat itu dan relokasi, telah dikeluarkan sejak pertengahan April 2016.
Sejumlah kalangan yang tergabung dalam Forum Masyarakat Peduli Paingan dengan koordinator Danu Wiratmoko seakan meradang. Mereka selama beberapa bulan terakhir membangun gerakan kebudayaan menolak relokasi atas tradisi budaya sejak 1958 yang dirintis oleh para ulama berpengaruh di Magelang yang berasal dari sejumlah pondok pesantren setempat.
Alasan pegiat forum itu, aktivitas pedagang Pasar Paingan dengan pengajian Minggu Paing sebagai satu kesatuan, ibarat satu tarikan nafas, dan merupakan perjalanan sejarah masyarakat Magelang hingga menjadi tradisi yang dikenal luas, serta menjadi kekhasan suasana kehidupan kota dengan tiga kecamatan dan 17 kelurahan itu.
Mereka setuju jika pedagang Pasar Paingan ditata, namun bukan direlokasi dari kawasan alun-alun, apalagi dipindah ke Lapangan Rindam bertepatan dengan hari "Car Free Day" setiap Minggu.
Wali Kota Magelang Sigit Widyonindito menyatakan pemahamannya bahwa pengajian Minggu Paing dan aktivitas pedagang Pasar Paingan sebagai bagian dari suatu kebudayaan masyarakat.
"Saya tahu kalau itu bagian dari 'culture' yang sudah berjalan. Kita menghormati, paham," ucapnya usai menghadiri sidang paripurna DPRD setempat, Jumat (5/8)
Oleh karenanya, pemkot tidak mempermasalahkan puluhan pedagang yang biasanya menggelar dagangan di alun-alun setempat, memindahkan secara mandiri aktivitasnya ke sejumlah gang di selatan tembok Masjid Agung Kauman.
Ia menegaskan tentang tujuan relokasi pedagang Pasar Paingan itu yang bukan menggusur mereka akan tetapi usaha pemkot menata aktivitas pedagang, termasuk terkait dengan mata dagangan yang perlu disesuaikan dengan kegiatan pengajian, seperti buku-buku tuntunan shalat, mukena, dan pakaian muslim.
Berbagai macam dagangan yang digelar pedagang Pasar Paingan selama ini di trotoar alun-alun, antara lain aneka makanan, minuman, pakaian, sandal, produk kerajinan, dan mainan anak. Jumlah mereka tercatat sekitar 90 pedagang.
Ia menyebut program pemkot merelokasi pedagang Pasar Paingan sudah berjalan.
Namun, persoalan relokasi pedagang Pasar Paingan hingga saat ini terkesan masih menjadi perbincangan hangat masyarakat, termasuk menyangkut ketegangan antara Kepala Dinas Pengelolaan Pasar Pemkot Magelang Joko Budiono dengan salah satu pegiat forum tersebut, Bagus Priyana, saat hari penutupan pasar tiban.
Rekaman berdurasi singkat tentang ketegangan mereka di Alun-Alun Kota Magelang pada Minggu Paing (31/7) beredar di viral dan mendapatkan reaksi dari para pemakai media sosial.
Inspirasi Puisi
Proses pemisahan antara Pasar Paingan dengan pengajian Minggu Paing Masjid Agung Kauman, barangkali bakal menjadi kekuatan bagi kesadaran budaya masyarakat.
Peristiwa itu memberikan inspirasi sebagaimana ditorehkan oleh penyair yang juga pimpinan Padepokan Gunung Tidar Kota Magelang Es Wibowo, menjadi sejumlah karya puisi dan guritan.
"Paingan melahirkan inspirasi puisi tentang Paingan," ujarnya di sela pembacaan delapan karya sastranya di bawah bekas "Menara Bengung" di Kampung Potrosaran, Kelurahan Potrobangsan, Kecamatan Magelang Utara, Kota Magelang pada Jumat (5/8).
"Menara Bengung" sebutan akrab warga setempat untuk menara tempat bekas sirine tanda bahaya dan jam malam bagi masyarakat yang dibangun zaman penjajahan Belanda di sodetan Kali Manggis. Sodetan sungai itu kemudian diberi nama "Kali Kota" karena aliran airnya membelah Kota Magelang.
Dalam salah satu karya puisi yang dibacanya tanpa penonton di bawah "Menara Bengung", berjudul "Pahingan Diungsikan", seakan Es Wibowo mewakili masyarakat yang sedang meratapi lenyapnya tradisi mereka.
"'Setelah tradisi dipaksa mengungsi. Ke tangsi garnizun. Rakyat lunglai menangisi alun-alun. Kemudian hidup seperti Mantyasih yang membisu. Karena kota kehilangan adat istiadat masa lalu. Dhung sudah lewat. Pahingan sekarat. Sekarang ke mana selapanan bunga indah itu? Kepadamu Diponegoro, kami mengadu. Tempo dulu telah rubuh di tangan amanah berhati batu'," begitu puisi dua bait itu.
Mantyasih adalah tempat ditemukan prasasti yang kemudian menjadi rujukan hari lahir Kota Magelang (Pada 2016 Kota Magelang berusia 1110 tahun), sedangkan "Dhung" adalah tradisi masyarakat masa lalu menyulut petasan raksasa setiap menjelang buka puasa Ramadhan.
Kesedihan atas hilangnya tradisi Pasar Paingan yang bagi Forum Masyarakat Peduli Paingan dipandang bukan sekadar aktivitas jual-beli barang, namun bagian dari masyarakat "ngalap" (mengharap) berkah dari pengajian Minggu Paing, nampaknya juga dituangkan Sang Penyair melalui karya guritan bertajuk "Pahing Wahing".
"'Wengi iki Magelang nangis. Kelingan kelangan tradisi Pahing. Luhe dleweran kaya gerimis. Dene panguwasane mung padha wahing. Wis menenga, cah bagus. Punakawan lagi laku ing pinggir kali. Yen alun-alun sliliden kacang rebus. Aja njur bakule dikongkon ngungsi. Apa iki sing diarani lali. Paribasan kacang ninggal lanjaran. Wingi sundhul langit ngobral janji. Saiki gundhul lung-lit njerit kelaran'," begitu tiga bait guritan itu.
Kira-kira terjemahan bebas guritan itu, "Malam ini Magelang menangis. Teringat kehilangan tradisi Paingan. Air mata bercucuran bagaikan gerimis. Sedangkan penguasa hanya bersin. Diamlah Nak. Punakawan berjalan di pinggir kali. Kalau alun-alun kemasukan sisa kacang rebus. Jangan pedagang disuruh mengungsi. Apa ini namanya lupa. Kemarin berjanji selangit. Kini gundul dan kurus kering kesakitan".
Sejumlah puisi dan guritan lain Es Wibowo yang pada 2015 mengumpulkan 122 karyanya selama bertahun-tahun dalam buku berjudul "Jagad Batin" itu, terkesan tidak lepas dari kritiknya secara budaya terhadap keputusan pemkot merelokasi pedagang Pasar Paingan.
"Kritik terhadap relokasi melalui puisi ini justru karena kami setia, mengasihi, dan tanpa pamrih sebagaimana punakawan. Kritik itu sebagai nasihat bijak untuk kebaikan. Keputusan penguasa (Merelokasi pedagang Pasar Paingan, red.) kurang bijak, tidak populis," ujar Es Wibowo yang satu angkatan dengan Sigit Widyonindito sewaktu era 1980-an kuliah di Universitas Tidar Magelang.
Ia terkesan ingin menyentuh nurani Sang Wali Kota melalui goresan karya-karya sastranya dengan harapan relokasi pedagang Pasar Paingan dipertimbangkan lagi, menjadi penataan yang lebih baik, menarik, dan daya hidup atas aktivitas alun-alun setempat.
"'Menawi tradisi. Dipun bedhol oyotipun. Naminipun kitab jebol ayatipun'. (Kalau tradisi dicabut akarnya. Namanya kitab jebol ayatnya, red.)," begitu salah satu bait guritan lainnya, berjudul "Mbedhol Oyot".
Kalau toh penguasa kota itu tetap pada pendirian merelokasi pedagang Pasar Paingan ke Lapangan Rindam, Sang Penyair dengan kekuasaan kata-katanya juga merelokasi mereka ke dalam puisi, dengan harapan menjadi catatan sejarah budaya masyarakat dan inspirasi generasi mendatang tentang kecintaan terhadap tradisi.
Para pedagang yang biasanya berjualan di sekitar trotoar alun-alun setempat di depan masjid tersebut hanya 35 hari sekali, diklaim Pemkot Magelang, Jawa Tengah, telah direlokasi ke Lapangan Resimen Induk Pendidikan Kodam IV/Diponegoro, sekitar satu kilometer dari tengah kota itu.
Surat edaran dari Dinas Pengelolaan Pasar Pemkot Magelang terkait dengan larangan berjualan di tempat itu dan relokasi, telah dikeluarkan sejak pertengahan April 2016.
Sejumlah kalangan yang tergabung dalam Forum Masyarakat Peduli Paingan dengan koordinator Danu Wiratmoko seakan meradang. Mereka selama beberapa bulan terakhir membangun gerakan kebudayaan menolak relokasi atas tradisi budaya sejak 1958 yang dirintis oleh para ulama berpengaruh di Magelang yang berasal dari sejumlah pondok pesantren setempat.
Alasan pegiat forum itu, aktivitas pedagang Pasar Paingan dengan pengajian Minggu Paing sebagai satu kesatuan, ibarat satu tarikan nafas, dan merupakan perjalanan sejarah masyarakat Magelang hingga menjadi tradisi yang dikenal luas, serta menjadi kekhasan suasana kehidupan kota dengan tiga kecamatan dan 17 kelurahan itu.
Mereka setuju jika pedagang Pasar Paingan ditata, namun bukan direlokasi dari kawasan alun-alun, apalagi dipindah ke Lapangan Rindam bertepatan dengan hari "Car Free Day" setiap Minggu.
Wali Kota Magelang Sigit Widyonindito menyatakan pemahamannya bahwa pengajian Minggu Paing dan aktivitas pedagang Pasar Paingan sebagai bagian dari suatu kebudayaan masyarakat.
"Saya tahu kalau itu bagian dari 'culture' yang sudah berjalan. Kita menghormati, paham," ucapnya usai menghadiri sidang paripurna DPRD setempat, Jumat (5/8)
Oleh karenanya, pemkot tidak mempermasalahkan puluhan pedagang yang biasanya menggelar dagangan di alun-alun setempat, memindahkan secara mandiri aktivitasnya ke sejumlah gang di selatan tembok Masjid Agung Kauman.
Ia menegaskan tentang tujuan relokasi pedagang Pasar Paingan itu yang bukan menggusur mereka akan tetapi usaha pemkot menata aktivitas pedagang, termasuk terkait dengan mata dagangan yang perlu disesuaikan dengan kegiatan pengajian, seperti buku-buku tuntunan shalat, mukena, dan pakaian muslim.
Berbagai macam dagangan yang digelar pedagang Pasar Paingan selama ini di trotoar alun-alun, antara lain aneka makanan, minuman, pakaian, sandal, produk kerajinan, dan mainan anak. Jumlah mereka tercatat sekitar 90 pedagang.
Ia menyebut program pemkot merelokasi pedagang Pasar Paingan sudah berjalan.
Namun, persoalan relokasi pedagang Pasar Paingan hingga saat ini terkesan masih menjadi perbincangan hangat masyarakat, termasuk menyangkut ketegangan antara Kepala Dinas Pengelolaan Pasar Pemkot Magelang Joko Budiono dengan salah satu pegiat forum tersebut, Bagus Priyana, saat hari penutupan pasar tiban.
Rekaman berdurasi singkat tentang ketegangan mereka di Alun-Alun Kota Magelang pada Minggu Paing (31/7) beredar di viral dan mendapatkan reaksi dari para pemakai media sosial.
Inspirasi Puisi
Proses pemisahan antara Pasar Paingan dengan pengajian Minggu Paing Masjid Agung Kauman, barangkali bakal menjadi kekuatan bagi kesadaran budaya masyarakat.
Peristiwa itu memberikan inspirasi sebagaimana ditorehkan oleh penyair yang juga pimpinan Padepokan Gunung Tidar Kota Magelang Es Wibowo, menjadi sejumlah karya puisi dan guritan.
"Paingan melahirkan inspirasi puisi tentang Paingan," ujarnya di sela pembacaan delapan karya sastranya di bawah bekas "Menara Bengung" di Kampung Potrosaran, Kelurahan Potrobangsan, Kecamatan Magelang Utara, Kota Magelang pada Jumat (5/8).
"Menara Bengung" sebutan akrab warga setempat untuk menara tempat bekas sirine tanda bahaya dan jam malam bagi masyarakat yang dibangun zaman penjajahan Belanda di sodetan Kali Manggis. Sodetan sungai itu kemudian diberi nama "Kali Kota" karena aliran airnya membelah Kota Magelang.
Dalam salah satu karya puisi yang dibacanya tanpa penonton di bawah "Menara Bengung", berjudul "Pahingan Diungsikan", seakan Es Wibowo mewakili masyarakat yang sedang meratapi lenyapnya tradisi mereka.
"'Setelah tradisi dipaksa mengungsi. Ke tangsi garnizun. Rakyat lunglai menangisi alun-alun. Kemudian hidup seperti Mantyasih yang membisu. Karena kota kehilangan adat istiadat masa lalu. Dhung sudah lewat. Pahingan sekarat. Sekarang ke mana selapanan bunga indah itu? Kepadamu Diponegoro, kami mengadu. Tempo dulu telah rubuh di tangan amanah berhati batu'," begitu puisi dua bait itu.
Mantyasih adalah tempat ditemukan prasasti yang kemudian menjadi rujukan hari lahir Kota Magelang (Pada 2016 Kota Magelang berusia 1110 tahun), sedangkan "Dhung" adalah tradisi masyarakat masa lalu menyulut petasan raksasa setiap menjelang buka puasa Ramadhan.
Kesedihan atas hilangnya tradisi Pasar Paingan yang bagi Forum Masyarakat Peduli Paingan dipandang bukan sekadar aktivitas jual-beli barang, namun bagian dari masyarakat "ngalap" (mengharap) berkah dari pengajian Minggu Paing, nampaknya juga dituangkan Sang Penyair melalui karya guritan bertajuk "Pahing Wahing".
"'Wengi iki Magelang nangis. Kelingan kelangan tradisi Pahing. Luhe dleweran kaya gerimis. Dene panguwasane mung padha wahing. Wis menenga, cah bagus. Punakawan lagi laku ing pinggir kali. Yen alun-alun sliliden kacang rebus. Aja njur bakule dikongkon ngungsi. Apa iki sing diarani lali. Paribasan kacang ninggal lanjaran. Wingi sundhul langit ngobral janji. Saiki gundhul lung-lit njerit kelaran'," begitu tiga bait guritan itu.
Kira-kira terjemahan bebas guritan itu, "Malam ini Magelang menangis. Teringat kehilangan tradisi Paingan. Air mata bercucuran bagaikan gerimis. Sedangkan penguasa hanya bersin. Diamlah Nak. Punakawan berjalan di pinggir kali. Kalau alun-alun kemasukan sisa kacang rebus. Jangan pedagang disuruh mengungsi. Apa ini namanya lupa. Kemarin berjanji selangit. Kini gundul dan kurus kering kesakitan".
Sejumlah puisi dan guritan lain Es Wibowo yang pada 2015 mengumpulkan 122 karyanya selama bertahun-tahun dalam buku berjudul "Jagad Batin" itu, terkesan tidak lepas dari kritiknya secara budaya terhadap keputusan pemkot merelokasi pedagang Pasar Paingan.
"Kritik terhadap relokasi melalui puisi ini justru karena kami setia, mengasihi, dan tanpa pamrih sebagaimana punakawan. Kritik itu sebagai nasihat bijak untuk kebaikan. Keputusan penguasa (Merelokasi pedagang Pasar Paingan, red.) kurang bijak, tidak populis," ujar Es Wibowo yang satu angkatan dengan Sigit Widyonindito sewaktu era 1980-an kuliah di Universitas Tidar Magelang.
Ia terkesan ingin menyentuh nurani Sang Wali Kota melalui goresan karya-karya sastranya dengan harapan relokasi pedagang Pasar Paingan dipertimbangkan lagi, menjadi penataan yang lebih baik, menarik, dan daya hidup atas aktivitas alun-alun setempat.
"'Menawi tradisi. Dipun bedhol oyotipun. Naminipun kitab jebol ayatipun'. (Kalau tradisi dicabut akarnya. Namanya kitab jebol ayatnya, red.)," begitu salah satu bait guritan lainnya, berjudul "Mbedhol Oyot".
Kalau toh penguasa kota itu tetap pada pendirian merelokasi pedagang Pasar Paingan ke Lapangan Rindam, Sang Penyair dengan kekuasaan kata-katanya juga merelokasi mereka ke dalam puisi, dengan harapan menjadi catatan sejarah budaya masyarakat dan inspirasi generasi mendatang tentang kecintaan terhadap tradisi.